SEJARAH
Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah
agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup
dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya,
kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit.
Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.
Sekitar tahun 423 M Bhiksu Gunawarman datang ke
negri Cho-Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia memperoleh
perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya menyebar luaskan ajaran
Buddha berjalan lancar. semua ini tercatat di dalambuku Gunawarman dan jika di
dasarkan pada buku ini maka kemungkinan besar ia adalah seorang perintid
pengembangan agama Buddha di Indonesia pada zaman tersebut.
Berdasarkan catatan dari kerajaan Tang di Tiongkok, pada
pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang menganut
agama Buddha namanya Kaling. Di Tiongkok nama itu lebih dikenal dengan sebutan
Ho Ling. Kerajaan ini sangatalah tertib dan tentram walaupun dipimpin oleh
seorang wanita tangan besi yang bernama ratu Sima. Ho ling saat itu menjadi
pusat ilmu pengetahuan agama Buddha, dan tidak sedikit orang Tionghoa dari
dataran Cina datang ke negri tersebut untuk belajar agama Buddha, walaupun pada
zaman dinasti Tang agama Buddha telah menjadi agama resmi di negri Cina..
Dalam abad ke-7 dan ke-8 antara India dan Cina terjalin
hubungan yang ramai. Hungan tersebut tidak semata-mata di Bidang perdagangan,
melainkan juga dalam ilmu pengetahuna dan agama Buddha. Antara tahun 618 hingga
907 Cina diperintah oleh Dinasti Tang, sedang di India dalam abad ke-7 berkuasa
raja Harcha yang bersikap toleran terhadap agama Buddha. Maka pada zaman itu
banyak musafir dan Bhiksu dari Cina yang berziarah ke tempat-tempat suci agama
Buddha di India.
Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, urat nadi
lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini
memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh dikatakan pusat perdagangan dan pusat
agama Buddha di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah
agama Buddha aliran Mahayana dengan memahami bahasa Sansekerta.
Antara tahun 850 hingga awal abad-13, kerajaan Sriwijaya
diperintah oleh keluarga Syailendra yang pernah berkuasa di Mataram, Jawa
Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di Mataram, keluarga
Syailendra banyak mendirikan bangunan suci Buddhist berupa candi seperti
Candi Kalasan, Plaosan, Sari, Borobudur, Pawon dan Mendut. Sriwijaya kemudian
meluaskan kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut
Suratani dan Pattani. Candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya di sana antara
lain Vihara Mahadhata di Jaiya dan Vihara Mahadhata di Nakorn Sitnamart yang
sampai sekarang masih ada dan bentuk bangunan, arca-arca Buddha serta
Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa.
Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari Tibet yang
membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatra dan
tinggal di sana dari tahun 1011 - 1023. Ia belajar di bawah bimbingan
Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi
Attisa yang di tulis di Tibet, Sumatra adalah pusat utama agama Buddha, sedang
Bhiksu Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.
Kedatangan para dharmaduta ke Indonesia mendorong
banyak orang pergi berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan
pusat-pusat agama Buddha seperti Universitas Nalanda dan lain-lain. Setelah
kembali ke Indonesia mereka mendirikan candi-candi dengan berbagai bentuk dan
ukuran.
Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan
Sumatra adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh Bhiksu Gunawarman.
Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia
setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan
berdirinya candi Kalasan yang dipersemabahkan untuk Dewi Arya Tara
(personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama
Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. . Dari catatan epigraphic diketahui bahwa
salah satu dari raja Syailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari
negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong
berkembangnya agama Buddha Mahayana.
Kehidupan agama Buddha pada masa kerajaan Mataram -
I bisa dilihat dari prasasti Conggol, sebelah Barat-daya Magelang, yang dikeluarkan
oleh Raja Sanjaya. Pasasti tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 654 Saka (732
M) hari senin tanggal 13 terang bulan Kartika, Raja Sanjaya mendirikan sebuah
lingga yang merupakan lambang dari dewa Siwa yang dipuja oleh raja dan
rakyatnya. Sanjaya sendiri putera Saimaha, saudara perempuan Raja Sanna yang
memerintah sebelum Sanjaya.
Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran tahun 775,
dinasti Syailendra mulai berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan sehingga
kekuasaan dinasti Sanjaya terdesak ke utara Jawa Tengah, yakni sekitar dataran
tinggi Dieng. Di sana Sanjaya mendirikan beberapa candi, antara laincandi Bimo,
Arjuno, Semar dan Argopuro.
Raja-raja yang berkuasa pada zaman dinasti Syailendra
ialah Bhanu (752-775), Wisnu (775-782), Indra (782-812), Samarottungga
(812-833) dan Balaputradewa (833-856). Prasasti-prasasti Syailendra ialah
prasasti Kalasan pada tahun 778, dengan menggunakan huruf pranagari dan bahasa
Sansekerta; prasasti Kelurak dekat Yogya tahun 782, juga memakai huruf
pra-nagari dan bahasa Sansekerta; prasasti Karang Tengah dekat Temanggung pada
tahun 824 dengan memakai bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno dan prasasti
Kahulunan, Kedu, pada tahun 842 yang ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno.
Selama pemerintahan Syailendra, banyak bangunan candi
yang didirikan sebagaimana telah disinggung di atas. Satu diantara candi-candi
yang tersohor adalah Borobudur yang didirikan pada masa Raja Samarottungga.
Candi Sajiwan dan Plaosan dibangun pada masa pemerintahan suami-isteri Rakai
Pikatan-Pramodawardhani (puteri Samarottungga). Nampaknya pengaruh
Pramodawardhani sangat besar, sehingga yang dibangun adalah candi bercorak
Buddha. Raja Rakai Pikatan sendiri beragama Siwa (Hindu). Jelas pada masa itu
terdapat rasa toleransi agama yang besar.
Perkawinan Rakai Pikatan yang beragama Siwa dan
Pramodawardhani yang beragama Buddha bersifat politis untuk menghadapi
Balaputra yang sedang berkuasa, selain untuk mencapai kerukunan antara dua
dinasti yang sedang bersaing dan bahkan saling bertentangan. Balaputra dan
saudaranya, Pramodawardhani bersaing untuk menduduki jabatan Raja Mataram
setelah ayah mereka, Samarottungga meninggal dunia. Balaputra berhasil naik
tahta antara tahun 833 - 856, tetapi akhirnya benteng pertahanan Balaputra
dirobohkan juga oleh persekutuan Rakai Pikatan Pramodawardhani, dengan
demikian maka hanculah benteng terakhir dinasti Syailendra di Jawa Tengah
sebelah Selatan desa Prambanan.
Sejak pemerintahan Rakai Pikatan, dan kemudian disusul
oleh Rakai Kayuwangi (856-886), Rakai Watukumalang (886-898), Balitung
(898-910), Daksa, Tulodong dan Wawa, pemerintahan dinasti Sanjaya semakin
berkembang. Pada masa Raja Wawa, pusat kekuasaan Mataram dipindahkan ke Jawa
Timur, sehingga peranan Jawa Timur selama dua abad kemudian berhasil
menggantikan kedudukan Jawa Tengah.
Ada dua pendapat tentang apa sebabnya pusat pemerintahan
kerajaan Mataram dipindahkan yang ditandai juga dengan perpindahan massal
rakyat ke Jawa Timur. Pertama,mereka yang berpendapat perpindahan itu akibat
meletusnya gunung Merapi yang banyak menimbulkan bencana dan korban. Menurut
kepercayaan rakyat, meletusnya gunung Merapi menunjukkan kemarahan para dewa.
Pendapat ke-dua, karena tarikan faktor ekonomi di Jawa Timur yang semakin
besar, di mana perdagangan dan pelayaran laut dan sungai kian rarnai.
Babak pertama pemerintahan Mataram di Jawa Timur dipegang
oleh dinasti Isana, nama yang diambil dari nama Sri Maharaja Rake Hino Sri
Isana Wikramadjarmotunggadewa, gelar Mpu Sendok. Bagaimana Mpu Sendok naik
tahta kurang dutetahui. Namun diduga melalui perkawinannya de putri Wawa. Dari
prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, ternyata Mpu Sendok banyak menaruh
perhatian pada perdagangan dan pelayaran di kali Brantas selain pertanian. Mpu
Sendok juga dikenal Raja yang memerintah dengan lebih demokratis dan menaruh
minat pada soal-soal hukum serta kesusastraan· Pada masa pemerintahan Mpu
Sendok-lah di
Mpu Sendok sendiri penganut agama Hindu, sehingga timbul
kesan adanya toleransi agama yang sangat kuat di masa itu. Nampaknya antara
agama Hindu yang dianut di Kutai, Taruma dan Mataram pada satu pihak dan agama
Buddha yang dianut Sriwijaya dan Mataram (masa dinasti Syailendra) di lain
pihak pernah terjadi persaingan dan perbenturan. Narnun kemudian terjadi
toleransi yang diawali oleh perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Hal
mana dilanjutkan pada masa pemerintahan Isana dan kemudian terjadi
"pembauran" antara Hindu dan Buddha sehingga batas kedua agama itu
semakin kabur pada masa Singosari dan Majapahit. Pembauran kedua agama ini masih
dapat disaksikan di Jawa dan Bali.
Diantara raja-raja keturunan Mpu Sendok, yang paling
berhasil adalah Airlangga. la adalah seorang raja yang ditaati oleh rakyatnya
yang rela menyerahkan segala milik mereka demi kepentingan pemerintahaan
Airlangga. Airlangga berhasil membawa kerajaan Mataram pada puncaknya; tapi
Airlangga pula yang meruntuhkan kerajaan itu.
Runtuhnya kerajaan Mataram sudah berada di ambang pintu
tatkala Sanggramatunggadewi, orang kedua yang pantas menduduki tahta sesudah
Airlangga, menolak jabatan besar tersebut. la lebih suka memilih hidup suci
sebagai petapa di Pucangan, gunung Penanggungan, dengan nama Kili Suci. Maka,
Airlangga terpaksa minta bantuan Mpu Bharada yang sakti untuk membagi
kerajaannya kepada kedua putranya, Jenggala (Singasari) di bagian Timur dan
Kediri di bagian Barat pada tahun 1041. Airlangga sendiri menjadi petapa pada
tahun 1042 dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan
dimakarnkan di Tirtha, tempat permandian Jalatunda dekat desa Belahan di
sebelah Timur gunung Penanggungan.
Airlangga sebagai penjelmaan Wishnu diwujudkan dalam
bentuk Wishnu sedang naik seekor burung Garuda.
Kerajaan Majapahit adalah Negara Kesatuan Indonesia kedua
setelah Sriwijaya yang dibangun oleh umat Buddha dan Hindu. Umat Buddha dan
Hindu dalam zaman keprabuan Majapahit, berhasil mengantarkan bangsa Indonesia
memasuki zaman keemasannya. Kejayaan keprabuan Majapahit dapat terwujud antara
lain disebabkan karena adanya kerukunan intern umat Buddha dan kerukunan intern
umat Hindu serta adanya kerukunan hidup antara umat Buddha dan umat Hindu pada
zaman itu. Maharaja Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya didampingi
oleh penasehat agung dalam keagamaan yakni Dharmadhyaksa Ring Kasongatan dan
golongan Buddha dan Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Hindu. Kerukunan
hidup umat beragama pada zaman Majapahit dirintis dan dipelopori oleh Pujangga
Buddhis yang agung, Mpu Tantular. Dalam bait syair yang ada di dalam buku yang
ditulisnya yakni kitab "SUTASOMA" pujangga besar Mpu Tantular menulis:
"Siwa Buddha Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa". Kalimat
sakti yang dapat mempersatukan umat beragama dan rakyat Majapahit pada waktu
itu, yakni Bhinneka Tunggal lka, sekarang merupakan kalimat sakti pemersatu
bangsa Indonesia dan ditulis dalam lambang negara Garuda Pancasila.
Setelah keprabuan Majapahit mengalami zaman
keemasan, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya Gajah Mada
yang beragama Buddha, akhirnya mengalami keruntuhan karena kerukunan hidup umat
beragama serta persatuan kesatuan rakyat". Majapahit tidak dapat lagi
dipertahankan. Terjadinya perpecahan dan pertentangan yang tidak henti-hentinya
akhirnya membawa Majapahit sirna dari muka bumi ini. Bersama dengan itu agama
Buddha juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya, kemusnahannya semakin
nyata dalam zaman penjajahan Belanda. Narnun demildan, dalam zaman penjajahan
Belanda pula agama Buddha mulai dipelajari dan dihayati oleh generasi muda yang
terhimpun dalam Perhimpunan Theosofi Indonesia dan Sam Kauw.
Agama Buddha Dalam Zaman
Penjajahan
Pada zaman penjajahan Belanda, di Indonesia hanya dikenal
adanya tiga agama yakni agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan
agama Buddha tidak disebut-sebut. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah
Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian agama Buddha dapat dikatakan sudah
sima di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam hati nurani bangsa
Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta
didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari
Theosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan
inti persaudaraan yang universal. Theosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari
agama Buddha, di mana seluruh anggota Thesofi tanpa memandang perbedaan agama,
juga mempelajari agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi agama Buddha
yang diberikan di Loji Theosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta,
Surabaya dan sebagainya, agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati.
Dari sini lahirlah penganut agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia
merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.
Dalam zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula
usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Khong Hucu dan Lautse dan usaha
mana kemudian lahir Organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari
ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula kemudian lahir
penganut agama Buddha, yang dalam zaman kemerdekaan agama Buddha bangkit dan
berkembang.
Dalam tahun 1932 di Jakarta telah berdiri International
Buddhist Mission Bagian Jawa dengan Yosias van Dienst sebagai Deputy Director
Generalnya. Tahun 1934 telah diangkat A. van der Velde di Bogor dan J. W. de
Wilt di Jakarta masing-masing sebagai Asistant Director yang membantu Yosias
van Dienst.
Setahun sebelum berdirinya International Buddhis Mission
Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dhamia yang
dipimpin oleh Kwee Tek Hoay. Majalah Mustika Dharma mernuat tentang pelajaran
Theosofi, tentang agama Islam, tentang sari pelajaran dan Yesus, ajaran
Krisnamurti, terutama mengenai ajaran agama Buddha (Buddha Dhamia), Khonghucu
dan Lautse. Majalah Mustika Dharma besar jasanya dalam menyebar luaskan kembali
agama Buddha, sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati dan
diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay kemudian lahir
organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelapori kebangkitan agama Buddha
disamping Perhimpunan Theosofi Indonesia, dan Pemuda Theosofi Indonesia,
setelah Indonesia Merdeka.
Narada Thera
Tanggal 4 Maret 1934 Narada Thera menginjakkan kakinya di
pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa Hin Hoay dan
beberapa umat Buddha. Narada Thera adalah bikhhu yang pertama datang dari luar
negeri setelah berselang kira-kira lima ratus tahun. Narada Thera telah
memberikan ceramah agama Buddha di loji-loji Theosofi dan di Klenteng-klenteng
di Bogor, Jakarta, Yogya, Solo dan Bandung. Di Candi Borobudur pada tanggal 10
Maret 1934 Narada Thera turut hadir dalam upacara penanaman pohon bodhi yang
cangkokannya dibawa oleh lr. Meertenas dari Buddhagaya, India. Pohon bodhi yang
telah tumbuh besar di Candi Borobudur itu kemudian dimatikan, karena merusak
bangunan candi. Duta Besar Srilangka menyerahkan lagi cangkokan pohon. Pohon
bodhi tersebut ditanam di kawasan luar Candi Borobudur disaksikan oleh Gubernur
Supardjo Rustam. Pohon bodhi dari Duta Besar Srilangka itu adalah cangkokan
dari pohon bodhi yang sampai sekarang masih tumbuh di Anuradhapura di Srilangka
yang dahulu dibawa oleh Raja Mahinda ke Srilangka.
Java Buddhist Association yang telah menerbitkan majalah
Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda telah banyak menarik perhatian dan minat
orang-orang Cina, yang pada waktu itu telah banyak menganut agama lain, dan
telah mengganti tradisi serta adat istiadat leluhurnya dengan kebiasaan Barat.
Kemudian tahun 1932 Kwee Tek Hoay membentuk Sam Kauw Hwee yang anggotanya
terdiri dari penganut agama Buddha, Khonghucu dan Laocu. Sam Kauw Hwee
menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia. Setelah Indonesia
merdeka, Sam Kauw Hwee kehilangan Ketuanya dengan meninggalnya Kwee Tek Hoay
tahun 1952. Sam Kauw Hwee lalu diorganisir kembali dengan masuknya beberapa
organisasi kedalamnya, antara lain Tian Lie Hwee dibawah pimpinan Ong Tiang
Biauw yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta. Sam Kauw Hwee kemudian menjadi
Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) dengan Ketuanya yang pertama adalah The Boan
An, yang sekarang dikenal sebagai Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera.
Dalarn tahun 1962 dibawah pimpinan Drs. Khoe Soe Khiam, GSKI dirubah namanya
menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia dengan majalahnya bemama Tri Budaya.
Perkembangan Agama Buddha
Sejak Kemerdekaan R.I.
Perhimpunan Theosofi yang bertujuan untuk membina
persaudaraan universal melalui penghayatan pengetahuan tentang semua agama
termasuk agama Buddha, telah menarik perhatian dan minat orang-orang Indonesia
terpelajar. Dari mempelajari agama Buddha kemudian timbullah dorongan untuk
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Buddha.
Dari sinilah bermulanya orang-orang Indonesia terpelajar
mengenal agama Buddha sampai akhirnya menjadi penganut Buddha Dharma.
Orang-orang Indonesia terpelajar yang kemudian menjadi umat Buddha melalui
Theosofi antara lain M.S. Mangunkawatja, Ida Bagus Jelanti, The Boan An, Drs.
Khoe Soe Khiam, Sadono, R.A. Parwati, Ananda Suyono, I Ketut
Tangkas, Slamet Pudjono, Satyadharma, lbu Jamhir, Ny. Tjoa Hm Hoey, Oka
Diputhera dan lain-lainnya. Meskipun theosofi tidak bertujuan untuk
membangkitkan kembali agama Buddha narnun dari theosofi ini lahir penganut
agama Buddha yang kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi pelopor
kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia. Karena itu baik Perhimpunan
Theosofi Indonesia maupun Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia secara tidak
langsung mempunyai andil yang besar dalam kebangkitan kembali agama Buddha di
Indonesia.
The Boan An yang menjadi pimpinan GSKI dan Perhimpunan
Pemuda Theosofi Indonesia, kemudian ditahbiskan menjadi Bhikkhu di Burma dengan
nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sejak 2500 tahun Buddha Jayanti, tepatnya
tahun 1956 saat kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Indonesia, Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita-lah yang memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke
seluruh lndonesia. Karena itu Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai
Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Dari bhikkhu
Ashin Jinarakkhita lahir tokoh-tokoh umat Buddha di Indonesia seperti Sariputra
Sadono, K. Karbono, Soemantri MS, Suraji Ariakertawijaya, Oka Diputhera, I
Ketut Tangkas, Ida Bagus Gin dan pimpinan Buddha lainnya yang sampai sekarang
masih aktif dalam organisasi Buddhis dan ada pula di antaranya telah menjadi
Bhikkhu seperti Ida Bagus Gin vane
sekarang dikenal dengan nama Bhikkhu Girirakkhito.
Jadi dari Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Perhimpunan
Theosofi Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia lahir
penganut-penganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita mempelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam
tahun kebangkitannya yakni tahun 1956. Nama-nama yang mendampingi Bhikkhu Ashin
Jmarakkhita dalam mempelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam era 2500
tahun Buddha Jayanti tahun 1956 antara lain M.S. Mangunkawatja, Sariputra
Sadono, Sasanasobhana, Sosro Utomo, I Ketut Tangkas, Ananda Suyono, R.A.
Parwati, Satyadharma, lbu Jayadevi Djamhir, Pannasiri Go Eng Djan, Ida Bagus
Giri, Drs. Khoe Soe Khiam, Ny. Tjoa Hin Hoey, Harsa Swabodhi, Krishnaputra, Oka
Diputhera dan sebagainya.
Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali
agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission Bagian Jawa
dibawah pimpinan Yosias van Dienst, yang banyak mendapat bantuan dari
Perhimpunan Theosofi dan Gabungan Sam Kauw.
Organisasi Buddhis yang mempelopori kebangkitan
danperkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh Sariputra
Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS, Oka Diputhera (Sek. Jen) sampai
kemudian berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI)
yang kemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Yang
membentuk PUUI adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam tahun 1954, sebagai
pembantunya dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia.
Kemudian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya
Perhimpunan Buddhis Indonesia tahun 1958 dengan Ketua Urnunanya Sariputra Sodono
dan Sek. Jen. Sasana Sobhana. Kemudian Ketua Umum PERBUDHI adalah Soemantri MS
dengan Sek. Jen. Oka Diputhera. Perbudhi kemudian dilebur menjadi Budhi
bersama-sama dengan organisasi Buddhis lainnya.
Dalam tahun 1958 berdiri Sangha Suci Indonesia yang kemudian
ganti nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia kemudian pecah
melahirkan Sangha Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat dua Sangha
yakiri Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia
dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia dipimpin oleh
Bhikkhu Girirakkhito.
Tahun 1974 atas prakarsa Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan perternuan antara
Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Hasil dan perternuan tersebut
melahirkan Sangha Agung Indonesia yakni gabungan dari Maha Sangha Indonesia dan
Sangha Indonesia. Sebagai Maha Nyaka Sangha Agung Indonesia terpilih Sthavira.
Ashin Jinarakkhita.
Kemudian setelah Kongres Umat Buddha Indonesia di
Yogyakarta, di Indonesia terdapat tiga kelompok Sangha, yakni Sangha Agung
Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia yang
sernuanya tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar