Rabu, 23 Mei 2012

RENUNGAN KEMATIAN BUDDHIS

RENUNGAN KEMATIAN

Siang malam bergeser, usia pun kian lama kian bersisa sedikit.
Usia habis berlalu mengikuti siang dan malam.
Usia senantiasa berkurang terus setiap kejapan mata.

Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, demikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.

Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.

Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring
kehidupan setiap makhluk.

Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka,
terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang
tak dapat dicari keabadian dan kekekalannya.

Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan
lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena
sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.

Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh
daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian,
keangkuhan dan penglecehan.

Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di
tanah bagaikan sebatang kayu yang tak berguna.

Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung dara.
Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim rontok.
Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?

Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa
yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah
meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.

Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari
beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihat pada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak lagi.

Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu dikhawatirkan
akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.


Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana seseorang dapat menghindarkan diri dari kematian.

Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.

Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak keluarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat sapi yang akan dijagal, digiring seekor.

Dengan berbagai cara makhluk yang terlahirkan berusaha menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demikianlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.

Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selanjutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan. Jika telah meraih kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.

Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lampau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Setelah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran dan ketuaan.

Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai oleh Raja Kematian.

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah mati.

Sumber: http://www.indoforum.org/showthread.php?t=25131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar