Rabu, 16 Maret 2011

HAKIKAT MANUSIA


Oleh:
Bhikkhu Saddhanyano Mahathera


Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahatto Samma Sambuddhassa 

Bapak ibu dan saudara sekalian yang berbahagia.  
Sebelum saya menyampaikan ceramah pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin sampaikan salam “namo buddhaya”.

Senang sekali bisa mendapat kesempatan untuk yang kedua kalinya saya bisa hadir di visma bahagia. Mudah-mudahan bapak ibu bahagia sebagaimana tempat ini dibuat.
Bapak ibu saudara sekalian

Saya akan bicara tentang hakikat manusia. Kita ini manusia tapi hakikatnya seperti apa, banyak yang belum tahu. Oleh karena itu, saya ingin mengupas ini mudah-mudahan anda semua semakin mengerti. Di tempat lain mungkin anda sudah pernah mendengar, namun bagi sebagian masih ada yang belum, oleh karenanya saya ingin membahas ini supaya anda semua makin mengerti dan memerankan kemanusiaan kita sebagai manusia.
Bapak ibu dan saudara sekalian. 

Ternyata manusia itu merupakan istilah yang berasal dari bahasa pali yaitu manussa. Manussa berasal dari kata manno dan ussa. Mano artinya pikiran dan ussa artinya luhur. Jadi manusia adalah makhluk yang memiliki batin atau pikiran yang luhur. Jadi yang disebut manusia adalah sebuah makhluk yang memiliki batin yang luhur dan ini yang membedakan kita dengan makhluk-makhluk lain, ini ditinjau dari asal katanya. 

Kalau ditinjau dari struktur pembentukannya, apa maksudnya? Manusia merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang disebut panca skandha atau lima kelompok kehidupan. Panca skandha ini terdiri dua unsur penting yang disebut nama dan rupa atau batin dan jasmani. Kalau kita urai lagi, ternyata di dalam tubuh manusia yang terdiri dari nama dan rupa tadi di dalam nama atau batin ada unsur lain, yaitu kesadaran, perasaan, pikiran dan pencerapan. Setiap manusia mempunyai empat unsur ini. Kenapa ibu bisa sedih, senang, stress, karena anda punya pikiran. Jadi manusia itu dari sisi batin ada kesadaran, perasaan, pikiran, pencerapan. Pada saat anda melihat, anda cerap, anda rasakan, anda pikiran anda tampung di gudang kesadaran. Kalau itu enak buat anda happy, kalau itu tidak enak membuat anda sedih. 

Kemudian unsur kedua adalah rupa. Wujud kita dan fisik kita, sebelum ilmu kedokteran mengurai Buddha sudah menjelaskan ini. Jadi manusia terdiri ada empat unsur, sang disebut unsure tanah yaitu tulang, daging, kulit. 

Oleh karenanya manusia terdiri dari unsur tanah, maka banyak orang mengatakan bahwa manusia berasal dari tanah, ini tidak salah karena memang betul manusia terdiri dari unsur tanah. Tetapi yang menjadi masalah adalah penggambaran mereka tidak sesuai dengan apa yang sang Buddha jelaskan. Kalau orangtua jaman dahulu, atau dongeng cerita kalau manusia itu dibuat dari tanah. Seperti pengerajin tanah liat membuat patung, pot, dikasih tangan dikasih kaki, walaupun tidak dikasih baju, lalu ditiup dan akhirnya hidup, tetapi tidak seperti itu. Yang dimaksud manusia berasal dari tanah adalah ada unsure tanag yang mewakili disana, maka disebut manusia berasal dari tanah. 

Dalam Aganna Sutta, dijelaskan dengan gamblang pada mulanya manusia tidak terbentuk seperti sekarang ini, dulu bentuknya gak jelas, karena memakan sari tanah dan sangat lama. Evolusi terjadi manusia semakin jelas wujudnya akhirnya seperti sekarang ini. 

Theory Darwin mengatakan bahwa manusia itu berasal dari monyet, itu hukum evolusi. Kalau  kita percaya pada teori evolusi tetapi tidak sama dengan teori Darwin. Nah ini manusia ada unsur tanah. 

Kemudian ada unsur api ada di badan kita yaitu panas. Unsur angin yaitu nafas. Unsur air ada darah, lender, nanah dan sebagainya. Ini menyatu yang disebut jasmani. Antara perpaduan batin dan jasmani ini disebut manusia. Jadi yang menggerakkan kita ya unsur-unsur tadi, kalau saudara sakit karena saudara punya tangan, kulit, dan anda punya perasaan. Kalau anda senang anda juga karnea punya perasaan dan pikiran dan anda cocok dengan suasana itu, jadi bukan karena hal-hal lain. Jadi kalau anda merasa kenyang, karena anda punya perut. Anda haus anda perlu air, kita memerlukan itu. 

Jadi bapak ibu saudara sekalian, jelaslah bahwa manusia itu adalah perpaduan dari berbagai unsur yang mana kelima unsur ini tidak ada yang kekal. Oleh karenanya tidak selamanya orang sedih-dan tidak selamanya orang senang, tidak selamanya orang stres-tidak selamanya orang sehat. Dari sinilah kita semakin jelas untuk memaknai hakikat manusia baik secara asal kata maupun secara struktur pembentukannya. 

Lantas apa yang kita bicarakan lagi, kita akan membicarakan bahwa seperti yang dikatakan tadi bahwa manusia berasal dari kata mano dan ussa batin yang luhur. 

Ternyata tidak semua manusia bisa menjaga dan memelihara kualitas batin tadi sehingga membentuk banyak kualitas dan kelas manusia. Oleh karenanya, antara manusia yang satu dengan yang lain tidak sama. Nah disini dijelaskan, dalam Tribumi sebuah kitab bahasa Thai yang diadopsi dari bahasa pali juga. Dijelaskan bahwa manusia terbentuk menjadi empat kelas. Terbentuknya manusia menjadi empat kelas ini karena satu sama lain tidak sama dalam usaha menjaganya. Ada sebagian yang menjaga memelihara sifat-sifat kemuliaannya, kasihnya, sifat luhurnya sementara yang lain tidak. Yang lain setia dengan kebenaran, kebajikan dan yang lain tidak. Oleh karenanya sebagian manusia itu hanyut ke dalam sifat-sifat yang jelek (kebencian, keserakahan dan kebodohan) membuat mereka berbeda dengan yang lain. 

Saya akan menjelaskan satu persatu;
Yang pertama manusia neraka; seperti apa?, sebetulnya sama sepertikita punya hidung, bukan berarti makhluk neraka telinganya ada tiga, bukan ya. Sama seperti kita, kakinya juga sama ada 2 dan bisa ngomong juga. Jadi yang jadi masalah adalah itu manusia neraka yang membedakan dengan kita adalah karena perilakunya. 

Jadi manusia neraka disini adalah mereka yang wujudnya manusia tapi perilakunya seperti makhluk neraka yaitu perilakunya, penuh dengan kebencian, kejam, tidak ada belas kasih, termasuk teroris punya kasihan. Ada manusa yang kelasnya seperti ini. Ternyata memang manusia itu berkelas-kelas bukan karena ada yang menciptakan, ada yang membentuk, bukan. Tetapi karena kondisi dari kualitas batin kita ini, ada yang perduli dari sifat luhurnya ada yang tidak. Jadi modalnya sama yaitu sifat luhur, tapi ada yang memelihara ada yang tidak. Nah ini yang membedakan kita.

Yang kedua adalah manusia peta; peta artinya setan. Jadi wujudnya manusia tapi prilakunya tidak seperti manusia. Manusia yang diliputi perasaan serakah atau lobha, mereka yang suka  menindas orang lain, yang tamak, yang mau menang sendiri dan yang senang menginjak martabat otang lain, orang seperti ini sering digolongkan sebagai manusia peta. Oleh karena ya kadang-kadang orangtua yang sedang emosi dan marah sama anaknya kadang-kadang sering berkata; kamu ini manusia atau setan sih, tidak ada kasihannya sama adik kamu. Kadang-kadang kita sering mendengar orang tua seperti itu karena saking keselnya. Dalam kenyataan ada manusia seperti itu, tidak mau mengalah. 

Yang ketiga adalah manusia Tiracchana; yaitu manusia yang wujudnya manusia tetapi perilakunya seperti binatang. Kenapa dikatakan seperti binatang? Karena dia tidak punya etika ,tidak punya susila tidak ada aturan. Apa yang dikatakan sering menyakiti oranglain, sering membuat orang susah, sembrono, tidak ada rasa hormat kepada orangtua, orang suci dan sebagainya. Jadi kehidupannya dikendalikan oleh kekuatan moha atau kebodohan. Sehingga apa yang dilakukannya itu tidak benar. Bahkan yang lebih parah sudah salah masih dilakukan inilah yang membuat manusia ini kelasnya seperti tiracchana atau binatang. 

Kita sering melihat di masyarakat kita  ada manusia-manusia sekelas ini, jadi kehadirannya bikin orang takut. Kalau anda lewat disebuah jalan trus ada orang mabuk, bawa botol dipecah, ada bawa golok kira-kira nyaman gak? Hawanya tidak enak, panas ya. Coba anda pergi kesuatu tempat, dimana disitu banyak orang bijaksana, yang kalo ngomong menyenangkan, hatinya baik. Kita tidak ditolong lewat didepannya saja rasanya nyaman, ketemu lihat mukanya saja kita senang, jangankan kita ditolong. Inilah yang membedakan, ada manusia yang kelas nya seperti ini yang disebut manusa-manuso.  

Yang ke empat adalah; manusa=manuso adalah manusia yang hatinya mulia. Yaitu orang yang mempunyai rasa malu dan takut untuk berbuat jahat. Bukan takut kepada hantu, setan, hal-hal yang lain. Tapi takut pada hiri dan otappa. Tapi tidak masalah, karena sesungguhnyapun kalau ketemu tidak usah takut karena hati kita penuh kasih. Dia akan luluh dengan kekuatan kasih itu. Kalau hantu lagi tidur dibangunin ya bisa ganggu, makanya jangan macam-mcam. 

Ada manusia manuso manusia yang hatinya luhur dan murah hati serta pemaaf. Kita harus mencontoh Manussa manuso ini. Kalau bapak ibu melihat orang yang sudah salah dia tahu dia tahu kesalahan itu, akan tersiksa kalau anda tidak memaafkan. Maka penting sekali menjadi pemaaf. Mengapa? Dengan memaafkan membuat orang lain menjadi lebih nyaman, melihat orang bahagia saudara akan lebih bahagia, dan senang. Pikiran semacam ini akan muncul pada manusia sekelas manussa-manusso. Dan orang seperti ini biasanya tidak gampang menyerah, kita umat Buddha harus setia kepada kebenaran. Jangan karena masalah sepele, karena tidak dapat nomer langsung merasa buddhanya tidak manjur dan pindah agama. Baru dikhianiati pasangannya nyalahin Buddha. Setiap orang punya masalah, justru kita harus setia pada kebenaran. Apapun yang kita lakukan kalau niatnya baik akan menghasilkan kebahagiaan. Cuma yang jadi masalah; apa yang kita lakukan tidak selalu berbuah saat itu juga. Tergantung anda nanam dimana dan kualitasnya seperti apa. 

Kalau anda misalnya seperti petani; yang ditanam benih unggul, ditanam di tempat yang subur, dirawat dan dijaga dia akan cepat masak. tetapi kalau sudah nanam bibitnya jelek dan tumbuh di pasir maka tumbuhnya akan lama, kadang-kadang belum berbuah sudah dimakan kambing. Sama seperti saudara, yang membuat kebajikan kita ini tidak cepat tumbuh, bisa jadi tidak disertai dengan niat yang tulus, tidak disaat yang tepat. Kalau musim banjir saudara menanam padi saya rasa anda tidak akan panen. Tapi yang penting adalah; Bagaimana saudara setia kepada kebenaran, karena saudara tahu siapapun yang berbuat baik dia akan memetik buahnya. Jadi tidak mungkin anda hanya menunggu oranglain panen baru mendapatkan, ya kalau orang lain panen ingat kalian, kalau tidak kita tidak akan kebagian. kalau ingin bahagia saudara harus menanam. 

Kemudian saudara sekalian
Kita perlu meniru dari manusa manuso karena banyak positifnya. Manusa manuso adalah manusia yang banyak keberuntungan dalam hidupnya. Mempunyai filsafat hidup setiap saat adalah saat yang baik. Oleh karenanya orang semacam ini selalu beruntung. Ketemu masalah  dia tidak lari, tapi hidupnya bukan mencari masalah. Ketemu yang jelek diterima. Ketemu yang baik diterima. Jadi manusa-manuso ini pandangannya luas. 

Kita pernah ketemu seorang Bhiksu, cinta kasihnya pandangannya, kebetulan bukan bhikkhu Indonesia. Asalnya orang Birma tapi tinggalnya di Amerika, namanya YA. Usilananda ahli meditasi. Luar biasa cinta kasihnya, kehadirannya bikin orang senang dan nyaman, betul-betul kita merasakan. Kalau beliau datang orang rasanya adem, emosinya turun jadi kalau ketemu beliau rasanya indah sekali. Yang lebih luar biasa lagi adalah beliau memperlakukan umat dengan bijaksana, yang bawa sedan diterima, yang jalan kaki diterima. Yang jalan kaki bawa buah diterima,  tidak bawa buah pun diterima. 

Yah, bante ini luar bisa. Setiap orang bisa seperti itu,  tinggal mau melatih atau tidak. Inilah yang membedakan manusia yang kelasnya manusia manusso ini bapak ibu sekalian. Kita belajar dari sana. Kenapa? Dengan cara seperti ini  saudara akan memudahkan jalan hidup saudara. Cara hidup kita menjadi mudah atau tidak sangat juga erat kaitannya dengan cara berpikir kita dalam melihat kehidupan. Dan biasanya orang seperti ini akan menerangi seperti pelita, dan kehadirannya membuat terang dan pelita yang sama di mata orang lain, memiliki makna beda namun fungsi sama.

Lilin apabila dinyalakan saat valentine jadi romantic. Apabila lilin dinyalakan pada saat orang meninggal tidak romantic lagi tetapi menguatkan kekuatan sakral. Kalau orang sedang ulang tahun ceria, tapi semuanya menerangi, kehadiran kita membuat orang menjadi terang, bukan tambah gelap. Anda terlalu banyak nonton sinetron jadi hawa provokator itu kuat, kalau ketemu orang yang sedang sebel ditambahin, oh iya kemarin aja baru ngomongin saya, ditambahin, dan saudara sedih kalau tidak kepancing. 

Lilin walaupun kecil dia tetap menerangi, walaupun bentuknya tidak bagus dia tetap fungsinya menerangi. Sama seperti kita; fisik kita boleh beda, muka beda, umur beda, tapi yang penting selama kita, selama kita hidup, selama kita masih ada nafas, mudah-mudahan kehadiran kita bisa menerangi. Anda sebagai kepala keluar bisa keluarga, anda sebagai bos bisa menerangi pegawai, anda sebagai guru bisa menerangi murid, dan sebagainya. 

Mudah-mudahan itu yang bisa kita lakukan, dan kita sebagai bagian dari masyarakat bisa menerangi orang lain. Oleh karena itu, saya sering mendukung umat Buddha yang tengah melakukan aktifitas social. Karena disinilah makna kita hidup, berbagi dan saling peduli itu yang penting. Kita semua saudara, oleh karena kita harus berbagi dan saling peduli. Kenapa? Sebab  dengan cara seperti ini saudara bisa membuat hidup ini menjadi lebih hidup. Orang lain kalau kita lakukan sebagai saudara, dia kepada kita lebih hormat dan lebih respek, dan tidak akan kurang ajar. Dengan penuh kasih kita dengarkan keluhannya, kita dengarkan kesedihannya, mungkin kita tidak membantu menyelesaikan paling tidak membantu orang itu stresnya tidak berat karena ada yang mendengarkan. Kita sendiri merasa kalau kita stress semua orang tidak mau percaya. Kemudian saling peduli; bahwa nasib orang lain yang buruk tadi itu akan bisa diatasi kalau kita peduli. 

Oleh karenanya saudara sekalian.
Kalau betul kita menghargai dharma, kita adalah siswa sang Buddha mari kita ikuti jejak beliau. Jangan biarkan orangtua menjadi makin sedih, terpuruk karena tidak punya tempat tinggal. Jangan biarkan anak-anak terlantar tidak punya pekerjaan tidak punya orangtua, ini adalah tugas kita bagaimana membantu mereka agar mereka sedikit bisa menikmati indahnya hidup. Dan tidak ada ruginya kalau saudara sekalian bisa berbagai dan saling perduli dengan mereka.  

Kemudian yang penting lagi bapak ibu sekalian; Manusia manuso akan mudah melayani dimana dia berada, dia punya motto dia akan melayani. Ketemu orangtua dia akan melayani, sebaliknya anda akan menjadi orang yang mudah dilayani. Yaitu tidak ngerepoti orang. Kalau anda menjadi tamu anda akan mudah dilayani, dan sebagainya. Dan orang sekelas manusa manuso ini dia akan menjadi orang yang sederhana, rendah hati. Karena sederhana dan rendah hati hidupnya menjadi mudah, tidak menciptakan masalah. Dengan demikian kemanapun pergi dia akan bahagia. 

Saudara sekalian
Kita perlu meniru ini karena biasanya orang yang bahagia, orang yang selamat adalah orang-orang yang mempunyai pandangan benar seperti ini. Dalam kesulitan bagi orang biajksana, dia akan anggap sebagai guru. Setiap kesulitan dia akan lihat dengan benar, sehingga batinnya menjadi matang. 

Sebagaimana tukang kayu yang ahli, melihat jenis-jenis kayu dia akan tahu persis. Bagi seorang yang ahli tidak ada kayu yang elek. Kalau ada kayu jati dia bikin lemari, kalau kayu mahoni dibuat untuk paket-paket atau kandang burung mungkin. Tapi tidak ada kayu yang jelek semuanya bagus. Semuanya punya fungsi, oleh karenanya dia tidak pernah ada masalah karena semua yang hadir didepan dia itu akan berguna. Sama seperti saudara, kalau semua mau jadi manajer semua siapa yang jadi kuli. Yang bodoh punya tempat dan pintar ada tempatnya juga tinggal anda harus pandai mengatur. Jadi tidak ada yang jelek. Kalau tidak ada yang bodoh maka tidak ada yang jadi korban. Biasanya kalau kita kumpul-kumpul orang yang bodoh jadi bahan ketawaan, semua ada fungsi. Yang pasti melihat hidup ini dengan bijaksana, belajar agar kita memiliki kualitas seperti manussa-manusso. 

Kemudian manusa manuso juga memiliki nilai lebih yang lain, dia memandang dunia ini sebagai tempat latihan. Kesempatan untuk melatih, oleh karenanya hal-hal mengkhawatirkan bagi menakutkan orang, membuat cemas oranglain, dianggap sebagai tempat latihan dan dan semua diterima dengan penuh kesadaran.  

Ada sebuah cerita Zen, yang menggambarkan bahwa kita harus menerima segala keadaan itu sebagaimana mestinya supaya anda tidak takut menjalani hidup. Tua, sakit dan mati adalah resiko kehidupan, dan dia tidak bisa diwakilkan. Kalau tua, sakit adan mati adalah resiko setiap orang yang lahir. Secinta-cintanya orangtua kepada anak, dia tidak bisa mewakili sakitnya anak, tuanya anak, tidak bisa. Ini yang harus dipahami.   

Ada sebuah cerita; Cerita kodok dan ular. Suatu ketika kodok sedang senang-senang sudah lama tidak ada hujan. Begitu sampai dikolam ada hujan dan air ia senang sekali. Begitu berenang kesenangannya semakin bertambah tiba-tiba ada nyamuk datang, ditangkap dan  dimakan aduh senang sekali. Wah ini nyamuk datang untuk kita. Kemudian muncul ditangkap. Wah capung datang untuk kita, hujan lebat datang untuk kita. Kita berpikir sama seperti anak kodok selalu berpikir yang enak-enak saja. Begitu ada ular datang semua takut, hei ular datang jangan bilang itu untuk kita. Sama seperti kita kalau tua datang, sakit datang, kita tidak bisa menghindari dan kita tidak boleh bilang sakit tidak untuk kita, tapi harus bilang sakit memang untuk kita, tua memang untuk kita.  Sakit memang untuk kita, tua untuk kita. 

Sama seperti ibu kodok bilang ularpun datang untuk kita, bukan cuma capung, air, nyamuk, ular pun datang untuk kita. Kalau tidak ada ular kodok semakin berkembang biak memenuhi bumi ini maka kodokpun akan bermasalah. Sama seperti kita saudara, penyakit, usia tua semua untuk kita, karena sifat dari jasmani kita tidak kekal. Kalau semuanya tidak ada yang tua nanti keliru mana menantu mana engkongnya. Jadi nanti malah repot, jadi semua itu untuk kita.

Jadi dari sinilah bapak ibu saudara sekalian, kita semakin jelas bahwa ada tugas mulia buat kita yaitu bagaimana menghargai hidup, kesempatan kita menjadi manusia kita hargai.

Mudah-mudahan anda semua bisa menjadi manussa manusso, seperti yang dicontohkan oleh Buddha sediri. Tapi ada tugas yang lebih berat untuk kita semua bahwa untuk menjadi manusa-manuso setiap orang harus menghancurkan sifat-sifat buruk dan memelihara sifat baik. Cinta kasih dan kasih sayang kita pelihara. Keserahakan, kebodohan, kebencian kita buang. Tugas kita sama, sebab kalau tidak seperti itu kita tidak akan pernah bisa happy. Seperti bapak-bapak kalau menebang pohon; Kita sering di Jakarta suka tebang pohon, hari ini ditebang seminggu lagi tumbuh lagi. Kenapa? karena ditebang tidak lewat akarnya. Kita manusia akan terus menderita kalau tidak menebang akar daripada penderitaan. Memotong keserakahan, kebencian dan kebodohan, itulah tugas yang harus kita lakukan. Anda sebagai orang biasa mempunyai tugas yang sama seperti saya sebagai bikkhu. Tujuan kita sama yaitu hidup bahagia tapi caranya yang berbeda. 

Seperti bebek dan ayam. Bebek beda dalam mengatasi rasa dinginnya. Dua-dua ingin hangat. Kalau bebek ingin hangat pada saat kedinginan ia akan mengepakkan sayapnya dan menyelam ke dalam air, maka dia akan mendapatkan kehangatan. Tapi kalau ayam tidak akan menyelam ke dalam air, dia akan naik ke pohon bertengger, berkokok dan mengepakkan sayap. Saudara sebagai umat punya cara tersendiri mengatasi penderitaan itu, sudah ditunjukkan oleh Buddha. Dan kita sebagai bhikkhu mempunyai cara sendiri dan masing-masing punya tugas yang sama dengan cara yang berbeda. 

Itulah yang saya sampaikan, mudah-mudahan setelah kita mengerti hakikat sebagai manusia, kita semakin bisa menghargai dan melakukan yang terbaik demi kebahagiaan semua makhluk. 

Semoga semua berbahagia. 

Namo buddhaya.


Read More...

TATACARA DAN SIKAP YANG BENAR DALAM MELAKSANAKAN PUJA BHAKTI



Sebelum mulai membahas topik diatas, kami akan mengemukakan komentar, yaitu :
Dari komentator ternama, Prof.Mukti Ali: pernah menuliskan satu buku yang menerangkan bahwa sesungguhnya Buddha Dharma dan agama itu berbeda. Letak perbedaan ya adalah, apapun juga yang namanya agama termasuk agama Buddha, berangkar dari tradisi dan kebudayaan, berbahasa dogma, kadang-kadang berlaku lokal. Sedangkan kalau Buddha Dharma, itu berangkat dari pikiran jernih, akal sehat, dan pengalaman lugas yang universal, sehingga di dalam Buddha Dharma, bebas berpikir, akal berfungsi, dan bisa ditembus oleh pribadi-pribadi secara total.
”Budaya memuja, tradisi sesaji, kepulan asap putih yang menyesakkan, bergelantungan asesoris sebagai simbolistis, kata manis mengandung misteri abadi, menghibur manusia yang ketakutan akan kegagalan dan segala kengerian hidup, merupakan kerangka dasar suatu agama, ”kata Friedrick Nietzche dalam bukunya ”The Will ti power” kehendak untuk berkuasa. Kekuatan mantra terletak bukan pada suara ucapannya melainkan hati batin si pengucap.
Dari dua sitiran tersebut diterangkan bahwa yang namanya agama-agama apapun juga berangkat di warnai oleh tradisi dan kebudayaan, termasuk agama Buddha. Namun kalau berbicara tentang Buddha Dharma; itu lepas dari tradisi dan kebudayaan karena Buddha Dharma ini berangkat dari pikiran jernih, akal sehat dan pengalaman lugas yang universal. Karena bersifa universal, ia berlaku di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja, sejak dahulu, sekarang dan yang akan datang, selalu sama. Karena kalau Buddha Dharma, hukumnya tidak dibuat manusia, tetapi hukup yang tanpa awal datanpa akhir (yang mutlak). Pilar-pilar Buddha Dharma adalah : Triratna, catur Ariya Sacca, Ariya Atthangika Magga, Tilakkhana, Kamma & Punabbhava, Paticca samuppada dan Nibbana. Tetapi kalau agama, pilar-pilarnya adalah tradisi dan kebudayaan.

Karena itu usah terkejut bila kita berbicara tentang tradisi & kebudayaan (agama), kita harus berhadapan dengan citra, warna, rasa, tradisi, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam satu agama, satu pedoman kitab suci, mungkin juga satu nabi, itu pun mempunyai tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda, karena ini berlaku lokal. Karena itu, hendaknya kita bisa memperhatikan antara bagian tradisi & kebudayaan atau agama di satu pihak, dan Buddha Dharma di lain pihak. Kalau tradisi dan kebudayaan, memang akan selalu berbeda-beda, tetapi kalau Buddha Dharma adalah satu.pihak, dan Buddha Dharma di lain pihak. Kalau tradisi dan kebudayaaan, memang akan selalu berbeda-beda, tetapi akalau Buddha Dharma adalah satu.
TATALAKSANA UPACARA
Disini kita akan berbicara maslaah tradisi dan kebudayaan yang ada kaitannya dengan tata laksana upacara menurut tradisi Buddhis. Tentunya kalau berbicara tradisi & kebudayaan menurut tradisi Buddhis, maka kita melakukan tatacara penghormatan yang kita tujukan kepada Sang Buddha, Sangh Dharma dan Sangh Sangha.
Kata upacara terdiri dari atas dua suku kata, yaitu: upa dan cara. Upa artinya dekat dan  cara artinya aturan. Intinya yaitu tindakan yang dilakukan sebagai penghormatan. Kalau dilakukan secara perorangan, itu disebut sebagai penghormatan, tetapi kalau dilakukan secara berkelompok dengan satu aturan tertentu, ini disebut sebagai upacara. Kalau kita menghormat kepada Sang Buddha sendirian, kita cukup memperhatikan diri sendiri, tetapi kalau secara berkelompok kita harus mempertimbangkan perhitungan sekitar kita agar kita bisa mendapatkan suatu kerapian dan kebersamaan yang baik.
Pada hakikatnya, memang Sang Buddha tidak mengajarkan tata upacara yang khusus untuk menghormat Beliau, atau menghormat Triratna. Tetapi mengenai penghormatan, Sang Buddha mengajarkan ada 2 cara menghormat, yaitu menghormat dengan materi (amisa puja) dan menghormat dengan suatu tindakan (patipatti puja). Kalau kita menghormat atau memuja kepada siapapun juga yang patut dihormat dengan materi (amisa puja), misalnya kita memberikan minuman, makanan, dsb. Tetapi kalau kita melakukan atau mempraktikkan nasihat-nasihat baiknya, itu dikatakan kita menghormatinya secara praktik/tindakan )patipatti puja).
            Pada intinya orang melakukan penghormatan atau puja ini mempunyai satu tujuan utama yaitu mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak bisa datang dengan gratis atau tiba-tiba. Semua itu harus diusahakan melalui suatu perjuangan. Salah satu perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu apapbila kita berani berkorban, minimal melakukan penghormatan.
            Dalam menghormat, ada dua aspek, yaitu yang pertama secara keagamaan yang kedua secara kemanusiaan. Secara keagamaan sebagai umat Buddha, maka obyeknya adalah Triratna. Secara kemanusiaan menurut Sang Buddha, adalah kepada ibu, ayah, guru agama, guru biasa dan raja/pemerintah. Inilah lapangan-lapangan yang subur yang bisa dijadikan obyek penghormatan, demi mendapatkan kebahagiaan.
            Tentu ada satu alasan mengapa kita melakukan penghormatan kepada orang tua (ortu) atau kepada Triratna. Kpeada ortu secara kemanusiaan adalah karena ortu adalah orang-orang yang berjasa langsung kepada kita. Seorang ibu berkorban untuk anak-anaknya sejak masih dalam kandungan. Sang ibu harus berpantang, tidak makan ini-itu, menghentikan tindakan ini-itu, dan sebagainya, sampai saat melahirkan, si ibu berjuang antara hidup dan mati, demi anak yang dilahirkannya. Itulah sebabnya seorang ibu berhak mendapatkan penghormatan dari anak-anaknya. Demikian pula dengan ayah, yang mencari nafkah atau penghodupan untuk membiayai dan membesarkan anak-anaknya. Juga guru rohani atau guru agama, para bhikkhu dan guru-guru di sekolah. Kepada raja/pemerintah yang secara tidak langsung memberikan perlindungan kepada masyarakat, perlu kita berikan penghormatan dengan cara yang tepat.
            Di dalam Aggabodhi Sutta, Sang Buddha menyatakan kalau seseorang menghormat kepada guru biasa, kreditnya satu. Kepada guru agama, kreditnya 10 kali, kepada ayahkreditnya 100 kali, kepada ibu kreditnya 1000 kali lipat dari menghormat guru buasa. Maka beruntunglah ibu-ibu yang mengajarkan Dharma pasti akan menghormati orang tuanya dengan tepat, sebab dia tahu bagaimana harga/jasanya orangtua.
            Kepada raja/pemerintah, misalnya penghormatan yang dilakukan bersama-sama dalma suatu upacara, seperti pada bendera dikantor-kantor, upacara pada hari-hari nasional, upacara kenegaraan, dan lain-lainya, semua itu pada intinya adalah memberikan penghormatan yang dilakukan secara berkelompok.
            Sang Buddha sendiri menurut suatu penghormatan secara praktik/tindakan (Patipatti Puja). Sesaat menjelang Sang Buddha parinibbana, pohon Sala mendadak berbunga dan menjatuhkan bunga-bunga. Sang Buddha masih sempat menasehati: bukan cara itu menghormatiku yang baik. Tetapi apabila engkau sekalian mau melaksanakan Dharma dengan benar, itulah cara menghormatiku yang baik. Memang kalau kita menghormat secara materi, nilai atau harganya adalah seharga materi tersebut dan terbatas. Tetapi kalau secara tindakan, itu harganya lebih tinggi sebab tidak terbatas.
PATIPATTI PUJA
            Ada dua cra dalam melakukan penghormatan secara tindakan (patipatti puja), yaitu:
1.     Secara Keagamaan (ritual),
2.     Dan kemasyarakatan (Dhammacariya)

Penjelasan:
Ad. 1. Secara keagamaan (ritual)
Secara ritual, yaitu dengan melakukan puja bhakti (kebaktian). Kita berpuja bhakti, membaca paritta, ini merupakan penghormatan yang kita lakukan kepada Buddha, Dharma, Sangha. Seperti kalau kita membaca paritta Buddhanussati, Dhammanusati, Sanghanusati, maka secara tidak langsung kita telah melakukan perenungan kepada Buddha, Dhamma, Sangha. Manfaat yang didapat adalah selain kita mengingat sifat-sifat luhur Sang Buddha, kita mendapatkan sisi lain dari membaca paritta yaitu kekuatan. Kalau membaca mantra itu dibaca dengan sungguh-sungguh, dengan cara yang benar, nien cing akan mempunyai kekuatan, daya, mukjizat.
Paritta (bhs.Pali), Mantra (bhs.Sansekerta), Mantra (bhs.Kawi kuno), ini merupakan suatu kekuatan. Dari sekian banyak sutra yang ada, sutra mana yang perlu dibaca? Saudara bisa mendapatkan petunjuk di dalam buku Paritta suci yang sudah disusun. Disana selain jenis-jenis paritta yang bisa dibaca, juga ada petunjuk penggunanya. Misalnya ada paritta-paritta untuk membuka toko baru, mendiami rumah baru, potong rambut, perkawinan, kelahiran, kematian, dlsb. Kadang-kadang terlihat masih banyak umat yang tidak mengerti atau tidak memperdulikan pembacaan paritta ini, hal ini disebabkan oleh karena mereka belum sampai pada keyakinan yang berkaki tiga (Tahu, mengerti dan mengalami). Tetapi bagi mereka yang benar-benar telah mempunyai keyakinan berkaki tiga karena mambaca salah satu paritta  itu bermanfaat, berguna, maka dia tidak akan melewatkan, dia akan selalu membacanya dengan sungguh-sungguh.
IRAMA PARITTA
Bagaimana sebenarnya cara membaca sutra?
Dalam pembacaan paritta, hendaknya dengan suara atau nada irama yang sama. Jangan sampai ada yang tinggi dan rendah, atau keras-keras, tetapi malah salah. Karena itu perlu diperhatikan irama disekitar kita. Kalau mau baik, pakailah suara dalam, bukan suara luar. Paritta yang dibaca dengan irama yang benar dan suar yang baik itu akan mempunyai kekuatan dan pengaruh.
Mungkin akan dijumpai beraneka ragam irama orang membaca paritta. Irama yang disepakati untuk membawakan pembacaan paritta ini ada 3 jenis. Pertama, dibawakan dengan irama Sarabannya, kedua dengan irama Samyoga, dan yang ketiga adalah Irama Magadha. Kalau irama secara Magadha itu yang dibaca sepotong-sepotong. Juga dalam pembacaan paritta itu ada tanda-tanda bacanya, mana yang harus dibaca panjang dan mana yang pendek, tekanan suaranya, dan sebagainya. Kalau kita ktia bisa mendapatkan cara yang benar, selain artinya yang berubah, maka kita akan mendapatkan suasana yang enak, nafas yang cukup (tidak terengah-engah), tekanan udara yang baik, pikiran yang bersih. Ini semua akan memberikan pengaruh yang baik bagi diri sendiri dan kepada lingkungan, yaitu akan mengantarkan suasana menjadi tenang.

Sarana puja bakti
Di dalam pelaksanaan pujabakti, maka kita membutuhkan adanya sarana. Sarana-sarana tersebut adalah:
a.     Vihara
Bila kita pergi ke vihara, maka akan bertemu dengan Triratna. Bagi mereka yang telah mengerti harga dan manfaatnya perbuatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, pergi ke vihara bukan karena di dorong oleh lingkungan atau mendapatkan popularitas, tetapi untuk mendapatkan kebahagiaan secara murni bagi pribadinya. Maka dari itu mereka tidak pernah bosan pergi ke vihara, walaupun tidak ada teman atau yang diajak, tidak menjadi penghalang, ia tetap pergi ke vihara untuk melakukan penghormatan kepada Triratna.

Di dalam vihara-vihara itu ada bagian-bagian yaitu:Uposathagara (tempat kegiatan/upacara kebhikkhuan), Dhammasala (tempat untuk kebaktian umum), Kuti (tempat tinggal para bhikkhu), dan pohon Bodhi. Pohon Bodhi juga merupakan obyek pemujaan. Kita menghormat kepada pohon Bodhi berarti juga kita menghormat kepada Triratna, karena pertapa Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi. Karena itu di Negara-negara Buddhis seperti Srilanka, Thailand, pohon Bodhi ini dihormati dengan suatu penghormatan yang tinggi sekali. Pohon bodhi itu selalu ditanam di suatu tempat yang dikeramatkan.
b.     Cetiya
Setiya sesunguhnya adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang ada hubungannya dengan Sang Buddha, atau peninggalan dari Sang Buddha. Cetiya dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu:
·        Dhatu cetiya, yaitu tempat penyimpanan relic. Relic artinya sisa-sisa jasmani Sang Buddha, karena ketika Sang Buddha Parinibbana dan dikremasikan, jasmani Beliau tidak habis menjadi abu, tetapi tulang-tulangnya mengkristal menjadi relic. Relic itu bentuknya seperti mutiara. Biasanya relic ini disimpan didalam stupa. Jadi, cetiya, stupa, itu merupakan sarana penghormatan atau pemujaan kepada Sang Buddha atau Triratna. Borobudur yang berbentuk stupa, juga merupakan sarana menghormat/memuja Triratna.
·        Paribhoga Cetiya
Yaitu seperti kalau kita pergi ke Taman Lumbini (tempat kelahiran Pangeran Siddharta), ke Bodhgaya (tempat pencapaian penerangan sempurna), ke Benares (tempat pembabaran Dharma pertama kali), ke kusinara (tempat Parinibbana Sang Buddha), ini berarti juga kita menghormat Sang Buddha, Sang Triratna.
·        Dhamma Cetiya
Kalau kita punya satu set kitab suci Tipitaka, ini disebut Dhamma Cetiya, dan ini merupakan sarana penghormatan juga.
·        Udesika Cetiya
Misalnya Buddha Rupang(patung Buddha), Gambar Sang Buddha, Lambang Dhammacakkha, Siripada (tapak kaki mulia Sang Buddha), pohon Bodhi, itu semua juga sarana penghormatan kepada Sang Triratna.
·        Stupa
Adalah semacam monument yang dibuat/dibangun sebagai tempat peringatan dan penghormatan kepada Sang Buddha. Stupa melambangkan tempat Buddha. Stupa biasanya dipakai sebagai tempat menyimpan relik.
Ad2. Secara Kemasyarakatan(Dhammacariya)
Tindakan penghormatan secara kemasyarakatan, adalah:
·        Dana, yaitu sifat mulia yang diwujudkan dalam praktik dapat member dan siap menolong mereka yang perlu dibantu.
·        Piyavaca, yaitu sifat yang diwujudkan dalam praktik ramah-tamah dalam ucapan terhadap orang lain.
·        Atthacariya, yaitu sifat mulia yang diwujudkan dalam suatu perbuatan yang berguna bagi kepentingan orang banyak (masyarakat).
·        Samanattata, yaitu sifat mulia yang berwujud keseimbangan batin dan tidak bersikap sombong serta membeda-bedakan orang lain, memiliki kebijaksanaan sehingga dapat mengendalikan diri.
SIKAP MENGHORMAT
Membahas tentang sikap menghormat, akan erat sekali hubungannya dengan estetika dan etika. Estetika adalah seni budaya, sedangkan etika adalah sopan santun. Jadi kita menghormat, melakukan suatu tindakan yang mengandung makna atau misi seni, agar bisa menjadi lebih baik. Dan orang itu dinilai punya etika kalau orang tersebut mengenal sopan santun.
Atika di dalam masyarakat Buddhis ini ditanamkan dan diberikan dengan sama. Di Jawa kuno, orang banyak mendapatkan etika-etika yang ditanamkan sejak zaman Sang Buddha. Kalau kita berbicara tentang etika, manusia Siddharta adalah orang yang mempunyai etika tinggi. Karena beliau sebagai pangeran yang semula disiapkan untuk menggantikan kedudukan raja Suddhodana, ayahnya sudah diajar dan dibekali dengan etika, tentang sopan santun yang tinggi sekali, juga tentang seni (estetika). Sebab seorang raja itu adalah figure yang menjadi suri tauladan oleh rakyatnya. Kalau rajanya tidak mempunya etika dan jiwa seni yang tinggi, nanti masyarakatnya seperti apa?
Etika ini sudah ada sejak dulu sekali, sejak agama Buddha berkembang dan jaya di bumi nusantara ini. Karena agama Buddha ini pernah tinggal di nusantara selama seribu tahun, maka bukan mustahil kalau tradisi, kebudayaan, watak, jiwa, dan kepribadian masyarakat nusantara banyak dipengaruhi oleh kebudayaan atau tradisi Buddhis.
Etika ini akan sama dimana saja. Dari sekian banyak etika yang ada, tentu sulit dilakukan oleh masyarakat/umat awam secara utuh. Tetapi kalau seorang bhikkhu atau samanera, dituntut untuk bisa  melakukannya semaksimal mungkin. Karena itu, untuk orang biasa, sikap menghormat atau etika yang paling dasar ini diberikan secara umum, selain juga berlaku untuk para bhikkhu dan samanera. Dan ini akan mempunyai suatu kesamaan bagi seluruh umat Buddha dimana saja berada.
ETIKA DASAR
Etika yang paling dasar dari sikap menghormat yang benar adalah:
1.     Anjali
2.     Namaskhara
3.     Pradaksina/padakkhina
4.     Utthana
5.     Samicikamma
Inilah sikap menghormat secara tindakan yang paling dasar. Jadi kita memberikan penghormatan, apakah kepada Triratna, kepada ayah-ibu, guru, pejabat pemerintah yang sekarang juga sudah memakai sikap dasar tradisi Buddhis ini, dengan cara beranjali. Hanya saja kadang-kadang masih ada yang melakukannya dengan kurang tepat. Padahal ini perlu sekali ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Dengan melakukan hal itu, akan mendapatkan nilai tambah. Seseorang itu bisa dikatakan baik atau tidak baik, pertama-tama dapat dilihat dari tindakannya secara lahiriah. Dalam Vasala Sutta, Sang Buddha berkata, seseorang itu dikatakan Vasala (sampah masyarakat) bukan karena kelahiran. Sebaliknya, seseorang bisa dikatakan brahmana (tingkatan luhur) juga bukan hanya karena kelahiran, tetapi seseorang dikatakan Vasala atau brahmana itu karena pikiran, ucapan dan perbuatannya. Ini menurut Sang Buddha di dalam Vasala sutta.
ANJALI
Anjali yaitu merapatkan kedua belah telapak tangan di ulu hati (didada), telapak tangan berbentuk cekung sehingga kalau ditelungkupkan akan membentuk kuncup bunga teratai. Dengan dapat bersikap anjali bila berjumpa dengan sesama umat Buddha, ini sudah menunjukkan bahwa kita adalah umat Buddha. Karena anjali ini prinsip dasarnya adalah untuk memberikan penghormatan, maka di dalam memberikan penghormatan ini juga bertingkat. Bagaimana tingkatan dari anjali ini? Ada lima tingkatan anjali:
1.     Kalau kita menghormat kepada Triratna dengan membaca paritta, maka anjali di ulu hati. Jadi selama pembacaan paritta, mulai dari vandana, tisanarana, buddhanussati, sampai selesai anjalinya di ulu hati.
2.     Kalau menghormat sesama teman yang sebaya umurnya, anjali di ujung dagu.
3.     Kalau kepada orang yang lebih tua, anjali di ujung hidung.
4.     Kepada guru/bhikkhu, dilekuk hidung sambil menunduk sedikit.
5.     Kepada Buddha, Dharma dan Sangha (Triratna) baru dikening mata (di dahi), bukan di ubun-ubun. Jadi ada lima tempat yaitu; di dada, ujung dagu, ujung hidung, lekuk hidung, dan kening mata/dahi. Dalam bersikap anjali, siku adalah menempel dibadan, tidak terbuka lebar. Dengan anjali walau beberapa detik ini, disamping kita mendapat nilai etika secara lahiriah, kita juga telah sempat membuat pikiran menjadi bersih, sebab tak mungkin pikiran ini dapat melakukan 2 hal pada satu titik di satu waktu. Jadi pikiran pada saat itu tidak sempat membuat bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik
NAMASKARA/NAMAKHARA
Sikap menghormat yang lebih tingi lagi, yaitu Namaskara. Namaskara ini lebih sulit dari anjali. Dalam namaskara, ada 5 anggota tubuh yang harus menyentuh lantai, dan ada hitungan atau tahapannya.
PRADAKSINA /PADAKKHINA
Yaitu suatu penghormatan kepada Triratna dengan cara mengelilingi tempat-tempat tertentu di sebelah kanan kita. Ini biasanya dilakukan pada saat upacara Waisak atau kebaktian di VIhara. Mengelilingi Dharmasala, pohon Bodhi, atau stupa, dengan membawa bunga, dupa, lilin:sebanyak 3 kali. Putaran pertama kepada Buddha, kedua kepada Dhamma dan ketiga kepada Sangha. Selama berputar itu kita merenungkan sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma dan Sangha. Bisa juga dengan menyanyikan Buddha Jaya Manggala Gatha, yaitu perenungan/penghormatan atas kedelapan kemenangan Sang Buddha; atau menyenandungkan lagu “aku berlindung” itu pun baik.
UTTHANA
Yaitu sikap penghormatan dengan cara berdiri. Utthana ini bisa dilakukan secara umum, tidak hanya di lingkup keagamaan. Misalnya sebagai tuan rumah kalau menerima tamu, kita berdiri untuk menyambutnya, syukur bisa dengan anjali. Ini berarti bahwa kita menghormati tamu, senang dengan kunjungannya. Akhir-akhir ini, saya lihat etika ini sudah luntur. Misalnya anak-anak, ada orangtuanya masuk atau lewat, dia acuh saja, tidak perduli. Enak-enak merokok, asyik nonton TV, atau baca Koran. Tetapi kalau anak-anak yang mengerti etika, meskipun baca Koran, belajar, atau mengerjakan sesuatu, kalau ada ortu yang masuk, dia harus berdiri, memberikan hormat atau mempersilahkan lewat duduk misalnya. Sebagai orang yang mengenal etika, semestinya kita dapat mempraktikkan hal ini. Kebiasaan seperti ini terlihat sekali di Negara-negara Buddhis. Penjaga-penjaga Vihara atau penjaga museum, begitu ada tamu datang, mereka mesti berdiri dan memberikan penghormatan. Begitulah tuan rumah yang baik.
SAMICIKAMMA
Yaitu: penghormatan secara tindakan atau perbuatan yang patut dilakukan. Misalnya ada teman di vihara yang menggelar tikar atau menata kursi, meskipun tidak diminta, ya kita bantu menggelar tikar atau menata kursi dan sebagainya. Itu juga suatu penghormatan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Yang mendapatkan kebaikan itu bukan orang yang terhormat, tetapi orang yang menghormat. Yang dihormat tidak mendapatkan apa-apa, yang menghormat itu yang mendapatkan nilai tambah. Inilah yang pelu kita perhatikan di dalam melakukan penghormatan.
Demikianlah secara umum uraian tentang tatacara dan sikap yang benar dalam melakukan penghormatan.



Read More...