Selasa, 08 Maret 2011

YANG ARIYA MAHA KASSAPA


(Unggul dalam menjalankan latihan keras)

Y.A.Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa orangtuanya menyuruhnya menikah, Pipphali menolak dengan berkata, “selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian.” Karena orangtuanya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan ia akan menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisan itu. Banyak orang yang dikirim untuk mencari gadis seperti yang ada dilukisan itu. Di kota Sagala mereka bertemu Bhadda Kapilani, gadis yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah dan hidup bersama sampai orangtua Pipphali meninggal dunia.

Setelah kematian orangtuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk meninggalkan kehidupan keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena tidak pantas berjalan bersama-sama, maka mereka memutuskan untuk berpisah di persimpangan jalan. Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke arah kanan.

Dalam perjalanan, Piphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta memohon diterima sebagai murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan memberikan tiga nasihat.

O Kassapa, engkau harus selalu ingat, bahwa engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada bhikkhu yang lebih tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau mendengarkan Dharma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus menyadari dan memperhatikan tubuhmu sebagai obyek meditasi.”

Pada perjalanan kembali, Kassapa memohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Duthanga (tinggal di hutan). Delapan hari kemudian ia mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Dia tinggal disana selama 6 tahun. Kemudian setelah Maha Prajapati Gotami diijnkan untuk menerima penahbisan sebagai bhikkhuni. Tak lama kemudian, ia mencapai Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka diantara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan lampau.

Y.A.Kassapa sering dijadikan suri tauladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus maya), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat yang ramai, dan terkenal sangat rajin.

Y.A.Kassapa merupakan salah satu siswa utama Sang Buddha yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang dihormati karena kesungguhannya dalam melakukan pelatihan yang keras. Selain itu, beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tanda dari 32 tanda manusia agung yang dimiliki Sang Buddha dan mencapai parinibbhana (meninggal dunia) pada usia 120 tahun.  

 RIWAYAT PARA ARIYA:

ARAHAT MAHA KASSAPA
pada waktu perabuan Sang Buddha-Sarira di Citakadhara, Makuta Bandhara Cetiya terjadi suatu kejadian aneh, yaitu pada waktu jenasah Sang Buddha hendak diperabukan, dimana segala sesuatu telah siap, akan tetapi upacara perabuan harus ditunda untuk sementara waktu sambil menunggu kedatangan Yang Mulia Maha Kassapa yang berusia tua, yang sedang dalam perjalanan dari kota Pava ke Kusinara, untuk memberi kesempatan kepada Beliau terlebih dahulu untuk memberi penghormatan terakhir pada Sang Buddha.

Setelah upacara perabuan selesai, Yang Mulia Kassapa mengumpulkan para Arahat yang hadir dalam upacara tersebut untuk mengadakan pesamuan (Sanggayana) secepat mungkin demi mencegah perpecahan dalam agama dan kecemasan para siswa yang bisa terjadi setelah Sang Buddha wafat; juga untuk memperkuat prinsip dasar agama dalam sistem yang diteruskan oleh para bhikkhu Sangha sebagai wakil dari Mahaguru Sang Buddha untuk masa selanjutnya.

Mahathera tertua itu adalah yang mulia Kassapa, yang akan kita pelajari riwayat hidupnya serta aktivitas beliau.

Kehidupan orang biasa
Nama asli Yang Mulia Kassapa adalah Pipphali, seorang putra dari seorang brahmana bernama Kapila keturunan Kassapa. Kassapa lahir di desa Mahatittha, dekat kota Rajagraha di Propinsi Magadha, Jambudipa.

Pipphali lahir sebelum Buddhis era ±100 tahun. Beliau sangat disayangi oleh ayah dan ibunya.

Dalam suatu selang waktu, Pipphali terlahir di saat belum ada Buddha Sasana. Kebanyakan penduduk Jambudipa beragama Brahma, suatu doktrin yang mengajarkan bahwa Sang Brahmana menciptakan dunia dan segala isinya, juga yang membuat supaya manusia memperoleh kesengsaraan atau kebahagiaan; ini dinamakan :Brahma Likita.

Siapa saja yang menginginkan Sang Brahma memberi apa saja kepadanya, atau menginginkan sengsara, seharusnya melaksanakan upacara Pujayanna. Pada saat yang bersamaan ada orang yang meninggalkan keduniawian untuk menjadi rahib guna mencari kebebasan dari dukkha, dan banyak lagi yang menjadikan dirinya sebagai guru yang mengajarkan tentang doktrin di desa Uruvela yang tidak begitu jauh dari desa Maha Tittha, juga ada asrama para mahaguru yang berdampingan di tepi Sungai Neranjara. Mereka itu sering mengakui dirinya sebagai orang penting, seorang Arahanta dan merupakan orang yang mengetahui doktrin-doktrin yang lebih penting dari doktrin lainnya.

Pipphali di samping mendapat pelajaran tentang pengetahuan, mata pencaharian yang sesuai dengan yang dilakukan nenek moyang, juga mendapat bimbingan tentang ajaran doktrin supaya yakin terhadap doktrin Brahmana dan senantiasa mempraktikkan doktrin tersebut secara tekun.

Pada waktu ia berumur 20 tahun, pemuda Pipphali menikah dengan Bhaddakapilani, seorang putri keturunan Brahmana yang berusia 16 tahun. Mereka hidup harmonis dan setelah orang tuanya meninggal, ia menjadi pewaris yang menurunkan keturunan yang baik, menjadi orang yang kaya dan dihargai oleh para keluarga serta kawan-kawannya.

Pada saat menjelang tua, ia belum dikaruniai anak. Dengan demikian ia berunding dengan isterinya tentang kehidupan dan aktivitasnya. Akhirnya mereka berpendapat bahwa kekayaan dan keturunan telah diurus dan diteruskan dengan baik, sesuai dengan kewajiban penerus yang baik. Mata pencaharian telah berkembang maju sehingga bertambah banyak. Tetapi tidak ada gunanya mengumpulkan harta yang akan menjadi beban bagi orang lain dikemudian hari. Kini seharusnya mengatur harta dan pekerjaan, memberi wewenang kepada mereka yang patut menerimanya, dan setelah itu masing-masing akan meninggalkan keduniawian untuk mencari kebebasan dari dukkha sesuai dengan tradisi Brahmana. Harta yang ada dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk orang lain, dan diri sendiri akan memperoleh perdamaian batin pada akhir kehidupan.

Akhirnya Pipphali dan isterinya melaksanakan apa yang telah dirundingkan yaitu mengatur harta dan kemudian mereka berpisah untuk menjadi rahib yang mencari perdamaian dan kebahagiaan sesuai dengan doktrin Brahmana pada waktu itu.

Bertemu dengan Sang Guru
Pipphali yang sekarang menjadi rahib sebenarnya belum saatnya untuk dibimbing dan dididik oleh seorang guru, sebab ia masih ragu apakah doktrin-doktrin tersebut dapat membawa dirinya terbebas dari dukkha yang sesungguhnya. Ia hanya mempunyai cita-cita akan menjadi seorang rahib dan menyerahkan hidupnya kepada Sang Arahanta yang sebenarnya, dan apabila Sang Arahanta itu ada di dunia ini, kemanapun juga ia akan mencarinya sampai bertemu.

Pada suatu hari, pada waktu beliau sedang berjalan dari kota Nalanda ke kota Rajagraha, ibukota dari Magadha, beliau bertemu dengan Sang Buddha yang sedang duduk di bawah pohon beringin yang besar, yang dikenal dengan nama Bahuputtanigrodha, yang terletak di sebuah desa diantara perbatasan ibukota Rajagraha dan kota Nalanda. Rahib Pipphali melihat Sang Buddha yang berwajah cerah sekali dan memiliki sikap tenang yang patut untuk dihormati. Kemudian beliau menghadap ke arah dimana Sang Buddha duduk.

Disitulah Sang Buddha menyambut rahib Pipphali yang tua, yang berasal dari golongan lain. Ketika mendengar pokok Sacca Dharma yang diutarakan oleh Sang Bhagava, muncullah keyakinan terhadap Sang Buddha, ia yakin akan terbebas dari dukkha yang sebenarnya. Kemudian ia menyatakan dirinya menjadi pemeluk Buddhasasana pada saat itu juga.

Sang Buddha menerima rahib Pipphala sebagai Buddha Mamaka dan pada suatu kesempatan Sang Buddha memanggil Pipphali dengan nama keturunan (Kassapa) untuk kepentingan nama yang lama kepada Pipphali. Oleh karena itu maka para Bhikkhu Sangha dan para umat memanggil beliau dengan nama “Kassapa”, sesuai dengan panggilan dari Sang Buddha.

Pada waktu selanjutnya, ada juga bhikkhu lain yang bernama Kassapa. Karena inilah maka semua orang kemudian memanggil rahib Pipphali dengan nama “Maha Kassapa”. Dengan demikian nama yang terdahulu tidak dipakai lagi.

Penahbisan dan pencapaian Arahat
Rahib Maha Kassapa tidak membuang waktu sia-sia setelah Sang Buddha menerimanya sebagai Buddhasasanika (pemeluk agama Buddha). Ia memohon untuk Upasampada (pentahbisan menjadi Bhikkhu) menjadi seorang bhikkhu dalam Agama Buddha pada saat itu.

Pentahbisan menjadi bhikkhu pada waktu itu belum diijinkan oleh Sang Buddha untuk dilakukan secara pesamuan Sangha dengan mengadakan Sanghakamma (kegiatan para bhikkhu yang sesuai dengan vinaya). Pentahbisan pada saat itu hanya dengan satu cara, yaitu Sang Buddha mengijinkan seseorang menjadi bhikkhu yang disebut ehi bhikkhu upasampada. Tetapi dalam memberikan upasampada kepada Maha Kassapa ini, Sang Buddha menggunakan metode lain dimana Maha Kassapa menerima nasihat Sang Buddha. Cara ini disebut Ovadapatiggahana-Upasampada. Sang Buddha menggunakan metode ini karena Maha Kassapa telah berusia lanjut dan juga telah menjadi rahib dari ajaran lain.

Dalam pentahbisan menjadi seorang bhikkhu dalam Buddha Sasana, Maha Kassapa harus mengendalikan dan menyesuaikan diri misalnya harus menghormati bhikkhu yang lebih dahulu ditahbiskan walaupun bhikkhu itu lebih muda usianya. Disamping itu metode untuk melatih pikiran menurut Ajaran Sang Buddha berbeda dengan ajaran lain.

Dengan demikian Sang Buddha memberikan upasampada dengan tiga nasihat sebagai berikut:
“Duhai Kassapa, setelah engkau ditahbiskan dengan tiga nasihat sebagai berikut:
  1. harus merasa malu dan segan terhadap para bhikkhu lain, baik yang lebih senior, yang sederajat, maupun yang lebih muda.
  2. harus memperhatikan sewaktu menerima ajaran dan menganalisa maksud serta pokok ajaran dengan penuh hormat.
  3. harus menganalisa Sankhara (badan jasmani/pancakhanda) dari dirimu.”

Maha Kassapa menerima nasihat dari Sang Buddha dengan rasa hormat. Setelah Sang Buddha berpisah dengannya, ia berusaha melaksanakan nasihat itu dengan sungguh-sungguh, yaitu: melepaskan Ditthi-mana (tinggi hati, kesombongan) dan tidak merendahkan orang lain, siap untuk menerima nasihat dari para bhikkhu lain walaupun mereka lebih muda; ia harus berusaha keras untuk melatih pikiran dengan sungguh-sungguh. Dan pada hari kedelapan sejak hari upasampada Beliau mencapai Arahat, yaitu kesucian tertinggi yang terbebas dari semua kilesa (kekotoran batin).

 
MAHA KASYAPA
Diantara pembentukan kitab suci dan pencerahan di luar kitab suci

Setiap pribadi orang itu memang unik, masing-masing punya kekayaan pengalaman hidupnya sendiri. Begitulah kalau kita membaca dan menyimak kehidupan sebagai tokoh bodhi, siswa-siswa Hyang Buddha. Membaca kisah hidup mereka, terutama pengalaman pencapaian kesucian dan pencerahannya, sungguh akan memperkaya pengalaman rohani kita. Banyak peristiwa kehidupannya yang menarik dan mengesankan, dimana kita dapat menimba percikan-percikan penderahannya.

Mereka juga mungkin bisa kita jadikan teladan atau idola. Tetapi justru karena kita mengerti setiap orang itu unik, kitapun menjadi sadar bahwa bagaimanapun kita berteladan kepadanya, kita bukanlah duplikat darinya. Sang Buddha memang memberikan jalan, namun kita sendirilah yang harus menjalaninya.

Proses pencerahan kebodhian itu tidak pernah persis sama, karena diri kita masing-masing memiliki keunikannya. Banyak peristiwa yang tampaknya kontradiktif yang terjadi yang justru memperkaya kehidupan seseorang. Maha Kasyapa adalah satu diantara sekian banyak siswa-siswa Hyang Buddha yang memiliki pengalaman dan peristiwa kehidupan yang menarik dan mengagumkan itu.

Pemimpin Sidang Agung

Maha Kasyapa semula dikenal sebagai pertapa yang bernama Pipphali. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kasyapa yang bernama Kapila. Ayahnya beristerikan Sumanadevi yang berasal dari desa Mahattha di negara Magadha.

Pipphali bertemu dengan Sang Buddha ketika Sang Buddha beristirahat di bawah pohon beringin bahuputtaka, perbatasan antara Rajagraha dan Nalanda. Pipphali menghampiri Sang Buddha, dan setelah mengetahui yang diajak berbicara adalah seorang Buddha, ia pun kemudian memohon untuk diterima menjadi murid.

Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasihat: ”Oh Kasyapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang lebih tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dharma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi”.

Setelah ditahbiskan, Kasyapa mohon menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanannya menuju Rajagraha.

Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kasyapa kemudian dengan tekun melaksanakan meditasi Dhutanga. Dikatakan bahwa pada hari kedelapan ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kasyapa sering dijadikan suri tauladan tentang sikap yang baik dari seseorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi Bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kasyapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat); merasa puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.

Ketika ditanya, mengapa ia menjalani kehidupan keras, Maha Kasyapa mengatakan bahwa ia berbuat semua itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain kelak di kemudian hari.

Maha Kasyapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha Kasyapa (Kasyapa Agung).

Tiga bulan setelah Sang Buddha parinibbana, Maha Kasyapa mengetuai sidang agung (Sanghasamaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapani, kota Rajagraha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan selama 45 tahun ditempat-tempat berlainan dan kepada orang-orang yang berlainan.

Himpunan semua tata tertib dan khotbah Sang Buddha itu kemudian dibakukan menjadi kitab suci Agama Buddha yang terkelompok dalam Vinaya dan Sutta Pitaka. Bisa di katakan Maha Kasyapa yang memimpin sidang agung itu adalah tokoh yang berperan besar bagi terbakukannya kitab suci. Maha Kasyapa meninggal pada usia 120 tahun.

Di luar kitab suci

Ironisnya, nama yang sama ini sering disebut-sebut sebagai tokoh yang mengawali timbulnya Chan Buddhisme atau Zen Buddhisme, suatu aliran Buddhis yang mengajarkan bahwa Dharma itu mengatasi kata-kata, menitik beratkan pencapaian pencerahan secara intuitif spontan, dan transmisi pencerahan yang di luar kitab suci.

Chan Buddhism atau Zen Buddhisme yang termasuk dalam Mazhab Mahayana ini seakan-akan meniadakan hubungan dengan ajaran-ajaran Buddha yang kemudian hari menjadi teks, terbakulah menjadi kitab suci yang sidangnya dipimpin oleh Maha Kasyapa itu. Dalam Chan Buddhism, ajaran Sang Buddha selama 45 tahun mengajar dan dicatat dalam kitab suci (Tri Pitaka) yang tak terbatas itu tidak memiliki hubungan awal mula dengan Chan, yang justru bermunculanChan ini bermula karena Maha Kasyapa.

Menurut kisahnya, suatu hariketika Sang Buddha sedang mengajar di puncak burung hering, Grdhrakuta, daerah Rajagraha, sedang menaiki tahtanya. Beliau memetik setangkai bungan (bunga kumbala), dan menunjukkan kepada yang hadir tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Peristiwa ini tidak ada seorang pun yang memahami maknanya, kecuali Maha Kasyapa yang menanggapinya dengan senyum.

Melihat Maha Kasyapa tersenyum, Sang Buddha kemudian berkata, “Aku memiliki mata Dharma dari doktrin yang benar dan pikiran yang indah akan nirvana. Bentuk yang sejati sebenarnya adalah kekosongan dan pintu Dharma yang halus. Semua ini telah aku wariskan kepada Maha Kasyapa.” Kejadian ini dianggap sebagai awal mula dari tumbuhnya aliran Chan.

Pewarisan pencerahan dalam Chan terjadi tanpa menggunakan bahasa lisan atau tertulis, tetapi diteruskan langsung dari pikiran ke pikiran. Istilah Chan sendiri adalah bentuk ringkas dalam bahasa China untuk istilah Dhyana yang berarti meditasi atau bisa diterjemahkan sebagai perenungan yang hening.

Pada beberapa aliran Agama Buddha bergantung pada bantuan luar untuk mencapai tingkat kebuddhaan, seperti pada teks-teks ajaran atau kitab suci. Ada sebuah syair yang ditulis pada masa dinasti Tang di Cina, entah siapa penulisnya, yang kiranya mencerminkan tentang intisari ajaran Chan itu.

“Sebuah warisan di luar kitab-kitab suci. Tak tergantung pada kata-kata dan aksara. Langsung mengarah pada pikiran (manusia). Mengerti hakikat dirinya sendiri dan menyadari kebuddhaan.”

di dalam Chan justru sebaliknya, benar-benar hanya tergantung pada diri sendiri. Para guru Chan percaya bahwa melihat sifat diri dan mencapai tingkat Kebuddhaan adalah masalah pribadi perorangan. Tidaklah mungkin untuk menyadari dalan tanpa bergantung pada yang lain.

Jaminan terbaik adalah bertanggung jawab pada diri sendiri dan berusaha sendiri. Seseorang tidak dapat menemukan Dharma di luar pikirannya. Setiap orang dibekali dengan sifat diri. Jika seseorang mencarinya dari dalam, ia akan segera sadar, segera bangkit. Itulah jalan Dharma, dan dalam Chan itulah kehidupan!.


****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar