Senin, 07 Maret 2011

SEJARAH BUDDHAYANA


 


Apa yang dinamakan agama biasanya menunjuk kepada kelembagaan kebaktian dalam aspeknya yang formal, ajaran termasuk tafsir kitab-kitab suci, peraturan atau hukum-hukumnya, dan keseluruhan perangkat organisasi yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Dalam tulisan ini yang dibicarakan terutama adalah sejarah penganutan dan perkembangan kelembagaan atau organisasi. 

Pengetahuan kita mengenai agama Buddha di Indonesia sebelum abad ini sangat terbatas. Agama Buddha pernah menghantarkan Nusantara menjadi negara kesatuan yang besar (Sriwijaya dan Majapahit), tetapi sekitar lima abad kemudian bagaikan tertidur, sebelum bangkit kembali setelah terbentuknya negara kesatuan RI. Sumber-sumber yang mengungkapkan sejarah tersebut antara lain berita dari luar negeri, khususnya catatan perjalanan biksu-biksu Tionghoa, prasasti, candi-candi, dan beberapa kitab berbahasa Kawi. 

Sejarah mencatat peran penguasa dalam melindungi penyebaran suatu agama. Bahkan agama menyatu dengan kekuasaan negara. Mungkin agama menggunakan negara atau agama dipergunakan oleh negara. Agama dapat menjadi sarana dominasi negara atas warganya. Tidak mesti hanya satu agama negara, seperti yang ditemukan di Jawa zaman kerajaan (Singasari dan Majapahit). Di abad ini perkembangan agama Buddha dalam arti penyiaran tidak melalui pengaruh penguasa. Tetapi pembinaan umat, khususnya kelembagaan, selama Orde Baru sangat dipengaruhi oleh campur tangan oknum pemerintah.

Penganutan di zaman kerajaan
Di Jawa, pada tahun 418, Biksu Fa-hien hanya melihat sedikit saja penganut agama Buddha. Gunawarman yang berasal dari Kashmir, setelah menjadi biku, pergi ke Sri Lanka, kemudian ke Jawa (She-po), mengembangkan agama Buddha pada tahun 423. Biksu Hwi-ning pada tahun 664 tinggal selama 3 tahun di Kaling (Holing), menerjemahkan kitab-kitab Hinayana dengan bantuan biksu lokal, Jnanabhadra.

Di zaman Mataram Kuno (abad ke-8 – 10), raja-rajanya ada yang beragama Buddha, ada yang beragama Siwa (Hindu). Dinasti Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan banyak candi di sekitar Magelang dan Yogyakarta sekarang, seperti Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, Candi Plaosan, Candi Sari, dan lain-lain. Menurut prasasti, pada tahun 778 Raja Rakai Panangkaran (wangsa Sanjaya) mendirikan candi Kalasan bagi Dewi Tara dan sebuah biara, serta menghadiahkan sebuah desa kepada Sanggha. Candi yang paling besar, Borobudur, yang dibangun oleh Raja Samaratungga mulai tahun 824, mencerminkan bagaimana ajaran Therawada, Mahayana, dan Wajrayana menyatu secara harmonis. Wangsa Syailendra dapat disebut sebagai penganut Buddhayana, sebagaimana tertulis dalam Negarakretabhumi karya Pangeran Wangsakerta. Kehidupan beragama Buddha pada zaman itu telah membawa bangsa yang menganutnya bukan hanya maju secara spiritual, tetapi juga maju di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mustahil mereka dapat membangun karya-karya yang monumental tanpa adanya kemakmuran dan kesejahteraan. Sejarah juga menunjukkan bagaimana agama Buddha dan Hindu berkembang berdampingan secara rukun dan damai.

Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7–13) diperkirakan berpusat di sekitar Palembang. Peninggalan berupa candi tidak banyak yang ditemukan di Sumatra. Ada kelompok Candi Muara Takus di Riau dan kelompok Candi Gunung Tua di Tapanuli Selatan yang bercorak Mahayana. Di Palembang, tepatnya di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertulisan “siddhayatra”, maksudnya perjalanan suci yang berhasil, dan di Bukit Seguntang didapatkan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali, karya abad ke-6. Agaknya sebagai negara maritim, segala potensi kerajaan diarahkan ke arah teknologi membangun kapal untuk armada perdagangan dan kapal perang untuk melindungi armada itu. Bangunan yang mereka dirikan kebanyakan terbuat dari kayu sehingga tidak meninggalkan bekas ditelan zaman.

Catatan perjalanan I-tsing mengungkapkan bahwa Raja Sriwijaya dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut agama Buddha. Di ibukota yang dikelilingi benteng terdapat beribu-ribu biksu yang belajar dan praktik seperti halnya di Madhyadesa (India). Di antaranya banyak pula orang asing. Biksu I-tsing yang berangkat dari Kanton, Tiongkok, pada tahun 671 singgah di Sriwijaya selama 6 bulan untuk belajar bahasa Sanskerta, kemudian singgah di Melayu selama 2 bulan. Melayu kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya. Setelah tinggal di India selama 10 tahun, ia kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 untuk menerjemahkan kitab suci selama 4 tahun. Ia pulang ke Kanton mencari pembantu, dan kembali lagi ke Sriwijaya hingga tahun 695.
Di Sriwijaya mulanya terdapat mazhab-mazhab Hinayana, namun selanjutnya Mahayana yang lebih berkembang. Guru yang terkenal antara lain Dharmapala dan Sakyakirti. Pada abad ke-11, Atisa Dipankara dari India Selatan menimba ilmu di Sriwijaya dengan bimbingan Biksu Dharmakirti, selanjutnya ia diundang oleh Raja Tibet memurnikan agama Buddha dengan ajaran Mahayana dari Javadvipa. Atissa membawa 9 kitab dari Sriwijaya yang sekarang terhimpun dalam Tripitaka Tibet (Kanjur). 

Akulturasi kebudayaan menghasilkan percampuran yang mengaburkan bentuk asal dan ekspresi agama Buddha. Jika bersifat peleburan, disebut sinkretisme, contohnya fenomena Siwa Buddha di Bali yang masih dapat ditemukan hingga sekarang ini. Ketika pusat kerajaan dari Jawa Tengah pindah ke Jawa Timur, bentuk-bentuk sinkretisme semakin mengental. Raja Wisnuwardhana yang meninggal tahun1268 dipuja sebagai Siwa di Candi Waleri dan sebagai Buddha Amoghapaca di Candi Jago. Kertanegara dimuliakan sebagai Siwa dan Buddha di Candi Jawi, di Sagala bersama permaisurinya sebagai Jina (Wairocana) dan Locana, dan di Candi Singosari sebagai Bhairawa. Kertanagara terbunuh pada saat minum bermabuk-mabukan ketika menjalani ritus Tantra yang menyimpang di tahun 1292. Dalam kitab Pararaton ia dinamakan Siwa Buddha. Rassers melihat Siwa ataupun Buddha merupakan salah satu aspek saja dari satu agama yang tunggal, yang bersifat Jawa (sehingga tidak bersaing). Ia menunjuk pada cerita Jawa kuna Bubuksah yang ditemukan terukir di candi Panataran.

Kitab peninggalan masa lalu, khususnya Namasangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan Sanghyang Kamahayanikan dari zaman pemerintahan Mpu Sindok, menunjukkan bahwa umat memuja Adi Buddha. Secara visual candi Borobudur (bagai sebuah ensiklopedi) agaknya mencoba mengungkapkan hal yang sama. Kitab-kitab lain menunjukkan adanya sinkretisme. Percampuran itu terjadi karena pengaruh Tantrayana. Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (menyimpang dari Sutasoma Jataka) menyatakan Buddha tak lain dari Brahma-Wisnu-Iswara, Trimurti Hindu. Pada hakikatnya Siwa dan Buddha yang berbeda itu adalah satu: Siwa Buddha bhinneka tunggal ika tan hana Dharmma mangrwa. Pernyataan Bhinneka Tunggal Ika ini kini menjadi kalimat sakti pemersatu bangsa Indonesia yang ditulis di lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Garuda Pancasila. Kitab Arjunawijaya menceritakan para biksu mengakui bahwa semua Buddha yang dibedakan menurut penjuru alam adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Kitab Kunjarakarna menyebutkan tiada seorang pun, apakah ia pengikut Siwa atau pengikut Buddha, yang bisa mencapai kesempurnaan jika ia memisahkan Siwa Buddha yang sebenarnya satu. 

Di zaman Majapahit (1293-1429) yang memiliki semangat Bhinneka Tunggal Ika, Siwa Buddha tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya, sehingga lebih tepat dinamakan paralelisme atau coalition. Menurut kitab Negarakretagama keduanya tetap terpisah, berbeda ajaran, berbeda pendeta dan tempat peribadatan. Bahkan daerah binaan pun diatur. Pendeta penganut Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa, karena penghuninya bukan penganut ajaran Buddha. Terdapat pejabat yang mengurus agama Buddha (Kasogatan) dan agama Siwa (Kasiwan). Mahapatih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa adalah penganut agama Buddha.

Secara formal agama Buddha di Nusantara lenyap bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu (1429) karena perang saudara dan munculnya kerajaan Islam. Kita tidak mempunyai sumber yang bisa mengungkapkan kehidupan rakyat yang beragama Buddha di bawah kekuasaan Islam. Catatan sejarah selama ini hanya mengenai penguasa. Pengaruh agama Buddha agaknya masih bertahan, paling tidak dalam bentuk sikap hidup, perilaku, kepercayaan, kebatinan, kegemaran semadi dan bertapa, yang dikenal sebagai kejawen.

Penganutan di zaman penjajahan
Sekalipun di zaman penjajahan tidak ada pengakuan terhadap agama Buddha, orang-orang Tionghoa mendirikan klenteng di mana-mana, khususnya di tempat yang disebut sebagai Pecinan. Di kebanyakan kota, kehadiran agama Buddha terutama dapat ditelusuri dari pertumbuhan klenteng. Menurut Cl. Salmon, sebutan klenteng berasal dari kata Kuan-yin teng (kuil Kuan Yin). Kuan-yin adalah Bodhisattwa Awalokiteswara, manifestasi Dia Yang Maha Melihat dan Mendengar. Sebagai contoh, Klenteng Jin-de yuan (sekarang Wihara Dharma Bhakti) yang tertua di Batavia didirikan sekitar tahun 1650. 

Pada abad ke-18 tak kurang dari 18 orang biksu tinggal di situ (kini dikelola hanya oleh umat awam). Ada juga klenteng-klenteng yang dihuni oleh biksuni atau biarawati yang disebut caima/caici. Mereka datang dari Tiongkok. Pada tahun 1901 Biksu Pen Ching (Ben Qing Lau He Shang), yang kemudian dikenal dengan nama Aryamula, tiba di Indonesia. Bersama-sama dengan biksu lain yang juga berasal dari Tiongkok, ia memberi pelayanan keagamaan di klenteng-klenteng di sejumlah kota, antara lain Bandung, Karawang, Cirebon, dan Semarang. Biksu Pen Ching juga mendirikan Wihara Kong-hua Si di Jakarta. Para rahib tersebut memberi pelayanan yang bersifat ritual, tetapi jarang membahas mengenai ajaran Buddha. Agaknya kedatangan mereka ke Indonesia tidak membawa misi dakwah. 

Di antara orang Belanda yang datang ke Indonesia, khususnya cendekiawan, dikenal ajaran Teosofi yang mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dengan menekankan aspek persaudaraan antar-manusia. Perkumpulan Teosofi membentuk cabangnya (loji) di Indonesia pada tahun 1883, saat kedatangan H.P. Blavatsky. Sebelumnya tokoh ini sudah dua kali berkunjung ke Jawa (tahun 1853 dan 1858). Orang Indonesia berpendidikan ada juga yang menjadi anggota Teosofi. Dalam pertemuan Teosofi ajaran Buddha banyak dibicarakan, dan seluruh anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama juga mempelajarinya. Dari ceramah-ceramah dan bimbingan meditasi yang diberikan di loji-loji di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain, agama Buddha mulai dikenal kembali. 

Penganutan agama Buddha di kalangan bumiputra sendiri kelihatannya tinggal berupa tradisi domestik yang sporadis. Surat kabar Sin Tit Po yang terbit tanggal 27 Maret 1935 memberitakan bahwa di Kampung Petenon, Surabaya, ada 1,500 orang penganut agama Buddha. Mereka sering mengadakan selamatan untuk sebuah jangkar kuno yang dianggap berasal dari zaman Majapahit, yang terdapat di desa Kedunganyar. Di sejumlah desa ada kelompok penduduk yang masih mengaku beragama Buddha, tetapi tidak lagi mengenal ajaran Buddha. Ada pula yang menjadikan agama Buddha sebagai bagian dari agama Hindu, menganut konsep Siwa Buddha, memandang Buddha tak lain dari Wisnu atau Awatara.

Ketiga kelompok masyarakat yang telah disebutkan di atas, yaitu keturunan Tionghoa, penganut Teosofi, dan orang-orang bumiputra pemeluk tradisional agama Siwa-Buddha merupakan akar mula lahirnya kembali kelembagaan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1929, di Jakarta terbentuk organisasi Buddhis yang pertama dengan nama Association for the Propagation of Buddhism in Java yang merupakan bagian dari The Buddhist International Mission yang berpusat di Thaton (Myanmar). Organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Java Buddhist Association (JBA) dengan ketua Ernest Erle Power dan sekretarisnya Josias van Dienst. Media cetak organisasi ini Nama Buddhaya, berbahasa Belanda. Josias banyak berkunjung ke klenteng dan bertukar pikiran dengan biksu dan biksuni.
 
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Josias dengan Biksu Lin Fen Fei, kepala klenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), yang dihadiri pula oleh pemuka umat Buddha lain. Hasilnya tercapai kesepakatan bahwa klenteng tidak hanya digunakan untuk tempat pemujaan saja, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan agama. Kong Koan, suatu badan yang mengorganisir klenteng di Jakarta mengizinkan Josias untuk berceramah di klenteng di sekitar Jakarta. Ceramah yang diberikannya dalam bahasa Belanda banyak dihadiri oleh orang Barat, khususnya Belanda, Timur asing, dan pribumi yang terhimpun dalan Teosofi. Kegiatan JBA mendapat sorotan pemerintah Belanda. Ida Bagus Jelantik, salah satu anggotanya di Bali diinterogasi dan buku-buku agama Buddha yang dimilikinya disita.

Agama Buddha juga mulai diperkenalkan oleh Kwee Tek Hoay melalui penerbitan Moestika Dharma (1932). Majalah yang berbahasa Melayu ini memuat pelajaran Teosofi dan agama, apakah itu Islam, Kristen, Krishnamurti, Kong-hu-cu, Laotze, dan Buddha. Selanjutnya ia mendirikan organisasi Sam Kauw Hwee (SKH), cikal bakal dari Tridharma sekarang, yang menganut tiga ajaran, yaitu Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Media cetaknya Sam Kauw Gwat Poo juga berbahasa Melayu.

Pada tanggal 4 Maret 1934 Biku Narada dari Sri Lanka datang ke Indonesia atas undangan tokoh Teosofi dan tinggal selama tiga minggu di Jawa. Di luar biksu-biksu dari Tiongkok, ia merupakan biku luar negeri pertama yang datang ke Indonesia setelah agama Buddha terlupakan ratusan tahun. Biku Narada memberi ceramah di klenteng-klenteng dan loji-loji Teosofi di Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bandung. Kedatangannya itu menimbulkan minat orang-orang keturunan Tionghoa dan Jawa untuk kembali ke agama Buddha. Di Borobudur Biku Narada memberkati penanaman pohon Bodhi yang dilakukan oleh E.E. Power. Ir. Meertens yang membawa pohon tersebut dari Buddhagaya India. Di kemudian hari pohon Bodhi yang tumbuh besar itu terpaksa dimatikan karena merusak bangunan candi. Biku Narada juga sempat menahbiskan beberapa orang upasaka, salah satunya orang Jawa bernama Mangunkawatja. 

Pada tanggal 10 Mei 1934 di Wihara Awalokiteswara Batavia terbentuk Batavia Buddhist Association (BBA) yang melepaskan diri dari JBA. Presidennya Kwee Tek Hoay, menjelaskan bahwa pemisahan terjadi karena BBA condong menyiarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan JBA yang Therawada. SKH dan BBA hampir disamakan oleh orang-orang di kemudian hari. BBA didukung pula oleh Dr. Poerbatjaraka, Mangoendisanjoto, dan R. Soekirlan. Di tahun yang sama JBA dibubarkan karena kesulitan keuangan. Muncul kemudian Central Buddhistische Institut voor Java, dengan media cetaknya De Dharma in Nederlandsche Indie. Kegiatan organisasi ini terhenti karena Josias pergi ke Jepang.

Kebangkitan Setelah Kemerdekaan 
Kemerdekaan memberi kebebasan menganut agama Buddha. Terdorong oleh semangat tersebut, umat Buddha menyelenggarakan upacara Waisak di Candi Borobudur, untuk pertama kalinya tahun 1953. Peristiwa itu dihadiri oleh lebih dari 3,000 peserta, diikuti oleh duta besar mancanegara, dan menjadi berita di koran-koran. Masyarakat luas pun tahu kalau agama Buddha ada di Indonesia. Sebelumnya di situ kalangan Teosofi pernah beberapa kali mengadakan perayaan yang terbatas bagi aktivisnya saja. Gagasan perayaan Waisak nasional muncul dari Tee Boan An, yang kemudian dikenal sebagai Biku Ashin Jinarakkhita. Ketika itu ia hidup sebagai anagarika, menjabat ketua umum Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) merangkap sebagai wakil ketua Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia. GSKI terbentuk pada tanggal 20 Pebruari 1953 sebagai gabungan dari Sam Kauw Hwee setelah Kwee Tek Hoay meninggal dunia dan Thian Li Hwee yang dipimpin oleh Ong Tiang Biauw (kemudian menjadi Biku Jinaputta pada tahun 1959), yang selanjutnya diikuti Bagian Kebaktian Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candra Naya sekarang) dan Buddha Tengger pada tahun 1952. GSKI kemudian berganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia pada tahun 1961-1963.

Tee Boan An berguru pada Mahabiksu Pen Ching di Kong-hua si, Vaipulya Sasana sekarang. Pada tahun 1953 ia ditahbiskan oleh gurunya itu menjadi sramanera menurut tradisi Mahayana (C’han), dan diberi nama Ti Cheng. Di tahun berikutnya ia pergi ke Myanmar, menerima upasampada menurut tradisi Therawada di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw, seorang pakar meditasi vipassana. Ia diberi nama Ashin Jinarakkhita. Maka untuk pertama kalinya setelah zaman Majapahit, seorang putra Indonesia menjadi biku. Pada tahun 1955 Biku Ashin Jinarakkhita kembali ke Indonesia dan mulai mengadakan perjalanan ke seluruh pelosok tanah air. Di mana-mana, di kota ataupun desa, umat dibimbing untuk mempraktikkan ajaran Buddha, melatih diri dalam meditasi metta-bhawana dan vipassana-bhawana. Umat pun terdorong membangun wihara, atau setidak-tidaknya cetya. Dengan mengikuti kedua tradisi, Mahayana dan Therawada, sejak awal umat Buddha yang dibinanya tidak mempersoalkan perbedaan aliran. Sekalipun Biku Ashin Jinarakkhita mengajarkan umat lebih banyak membaca paritta menurut tradisi Pali, mantra berbahasa Sanskerta atau Tionghoa juga diperkenalkan.

Pada hari Asadha 2499 atau 4 Juli 1955, Biku Ashin Jinarakkhita mendirikan organisasi Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) di Wihara Buddha Gaya Watugong, Ungaran. PUUI sebagai wadah bagi pembantu biku, diketuai oleh Maha Upasaka Madhyantika S. Mangunkawatja. Upasaka-upasika adalah umat yang sudah menyatakan diri berlindung kepada Triratna dan berjanji untuk melaksanakan Panca-sila lewat sebuah ritual yang disebut Wisudhi. Di tahun 1956 umat Buddha sedunia merayakan Buddha Jayanti, genapnya masa 2,500 tahun perjalanan sejarah agama Buddha terhitung sejak Buddha Gotama wafat. Selama ini beredar ramalan yang menyatakan bahwa setelah 2,500 tahun agama Budha akan lenyap, atau sebaliknya akan berkembang kembali.

Melalui perayaan ini tersirat harapan agama Buddha bangkit di zaman modern. Di Indonesia perayaan Buddha Jayanti ditandai semangat kebangkitan kembali agama Buddha yang pernah terkubur di bawah reruntuhan kerayaan Majapahit. PUUI menerbitkan buku “2500 Tahun Buddha Jayanti” yang memuat bermacam-macam tulisan mengenai agama Buddha, baik Therawada, Mahayana, maupun Tantrayana. Di antaranya terdapat tulisan mengenai Candi Borobudur termasuk penjelasan bahwa arca yang belum selesai dari stupa induk melambangkan Adi Buddha.

Dari Organisasi ke Organisasi
Mengingat perlunya organisasi umat Buddha berdiri sendiri, tidak bergabung dengan GSKI, beberapa tokoh dari suku Jawa di antaranya Sosro Utomo (Buddha Tengger) membentuk Persatuan Buddhis Indonesia (1957), yang dalam kongresnya pada tahun 1958 menjadi Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi) dengan ketua umum Sariputra Sadono. Organisasi ini memiliki anggota yang jauh lebih luas, meliputi umat awam bahkan simpatisan. Sedangkan PUUI sebagaimana namanya, terbatas untuk upasaka-upasika (dan pandita). Anggota PUUI mendukung penuh Perbudhi yang sepanjang perjalanannya tidak terlepas dari pembinaan Biku Ashin Jinarakkhita. Tokoh-tokoh Perbudhi biasanya kemudian menjadi pimpinan PUUI.

Indonesia membutuhkan banyak biku. Untuk menahbiskan biku baru, pada tahun 1959 Biku Ashin Jinarakkhita mengundang 13 biku dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada dan 6 biku lain dari Sri Lanka, 3 biku dari Thailand, dan 2 biku dari Kamboja. Menurut Winaya atau peraturan Sanggha, penahbisan biku, yaitu upasampada dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 biku senior. Ketika itu yang ditahbiskan adalah Ong Tiang Biauw yang kemudian diberi nama Jinaputta. Ia adalah pendiri sekolah Buddhis yang pertama di Indonesia. Sekolah yang terletak di Jakarta ini asalnya Batavia English School (1931), pernah ditutup pada zaman penjajahan Jepang, kemudian dibuka kembali dengan nama Sin Hwa English School (1945), dan terakhir menjadi Sekolah Sariputra pada tahun 1955. Sebelum menjadi biku, Tee Boan An pernah juga mengajar di sekolah ini. Sekolah Sariputra memiliki sebuah wihara, tempat ibadah Buddhis pertama di Jakarta yang tidak bercorak klenteng. Di sana pada tanggal 17 Mei 1959 Ong ditahbiskan menjadi samanera dan selanjutnya 5 hari kemudian ditahbiskan menjadi biku di Watugong, Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu ditahbiskan pula Ktut Tangkas dari Singaraja dan Ki Sontomihardjo dari Banyumas menjadi samanera. Tahun-tahun selanjutnya calon-calon biku dan biksuni dikirim untuk ditahbiskan di luar negeri.

Pada tahun 1962 sebagian aktivis Perbudhi di Jawa Tengah membentuk organisasi baru Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI). Lalu pada tanggal 1 September 1963 DPP Perbudhi yang semula berkedudukan di Semarang dipindahkan ke Jakarta. Perbudhi selanjutnya dipimpin oleh Letkol Soemantri M.S. asisten dari WKSAD Jenderal Gatot Soebroto. Jenderal ini banyak membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia. Istrinya, Ny. Gatot Subroto pernah memimpin rombongan wanita Buddhis mewakili Indonesia ikut menghadiri Konferensi Wanita Buddhis Sedunia di Jepang (1961). Selain organisasi umat awam, setelah jumlah biku mencapai lima orang, muncul organisasi Sanggha yang disebut Sanggha Suci Indonesia. Pada tahun 1963 namanya menjadi Maha Sanggha Indonesia beranggotakan biku Therawada dan biksu Mahayana.

Di Semarang pada tahun 1965 berdiri Buddhis Indonesia, memisahkan diri dari Perbudhi. Setelah G-30-S, di tahun 1966 muncul Dewan Wihara Indonesia (DEWI). Ketuanya Letkol. Suraji Aria Kertawijaja, sekjen Perbudhi. Anggota DEWI terutama adalah klenteng-klenteng yang ganti nama. Sebagian klenteng bersifat Taois, atau merupakan tempat pemujaan dewa pelindung lapangan kerja tertentu dan pelindung keluarga atau tempat pemujaan leluhur atau sesuatu yang dipandang kramat. Klenteng-klenteng itu menambahkan patung Buddha sebagai objek pemujaan. Munculnya Inpres No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang membatasi kegiatan keagamaan berafinitas cultural Cina, mendorong sebagian klenteng melakukan penyesuaian. Secara fisik ada yang menyediakan ruang baru, atau mendirikan bangunan wihara baru dengan dharmasala, tempat menyampaikan khotbah sekaligus puja bakti. Khusus di Jawa Timur, kebanyakan klenteng bergabung dengan nama Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma.

Di zaman Orde Baru, sekolah-sekolah wajib memberi pendidikan agama. Umat Buddha mulai memperhatikan pembangunan di bidang pendidikan. Perbudhi dan PUUI yang semula lebih banyak bergerak di bidang penyiaran dan pelayanan keagamaan di wihara/cetya, mulai menyelenggarakan kursus-kursus guru agama Buddha dan menugaskan aktivisnya terjun ke sekolah-sekolah. Kekurangan tenaga pendidikan dan sekolah Buddhis ini masih terasa sampai sekarang. Banyak umat Buddha tradisional yang mengikuti pendidikan agama lain di sekolah, lalu pindah agama. Umat Buddha tidak hanya mendirikan wihara, tetapi juga mulai mengembangkan sekolah. Seperti umat Buddha Tridharma di Jakarta mendirikan perguruan Buddhis, yaitu Sekolah Sila Paramita (1967). Karena lokasi yang ditempatinya kemudian tergusur oleh pembangunan jalan tol (1981), sekolah tersebut pindah ke tempat lain, dan sampai sekarang masih merupakan sekolah Buddhis satu-satunya di Jakarta Timur. Di Jambi kelompok Buddhayana mendirikan Sekolah Sariputra. Untuk mencetak guru agama, muncul PGA di Banyumas dan Boyolali, menyusul kemudian Akademi Buddhis di Jakarta (1979) yang sekarang dikenal sebagai Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda. Sekolah tinggi sejenis pun hadir di beberapa daerah. Di kemudian hari, pada tahun 1992 sepuluh yayasan sekolah Buddhis di Jakarta mendirikan Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis (BKPB) dan pengurusnya dilantik oleh Gubernur KDKI Jakarta. Diperlukan waktu sekitar dua belas tahun hingga terdapat 36 yayasan pendidikan pengelola sekolah TK, SD, SMP, SMA, dan SMK yang terdaftar sebagai anggotanya. Selain di Jawa, khususnya Jakarta, Jawa Barat (dan Banten sekarang), ada pula di Sumatra dan Sulawesi.

Pada masa itu ada kecenderungan untuk mempersatukan sejumlah organisasi menjadi wadah tunggal. Di tahun 1967 terselenggara Musyawarah Besar Federasi Umat Buddha Indonesia yang anggotanya terdiri dari Buddhis Indonesia, Gabungan Tridharma, Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia, Agama Hindu Buddha Tengger (kemudian bergabung dengan Hindu), dan Agama Buddha Wisnu Indonesia (kemudian dilarang). Federasi ini menjadi anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya pada bulan Agustus 1967. Perbudhi yang tidak bergabung dalam federasi itu tetap berkembang, dengan dukungan PUUI, Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia, dan kelompok-kelompok Wanita Buddhis. Maha Samaya (Kongres) ke-2 PUUI di tahun 1969 yang dihadiri juga oleh Perbudhi dan Maha Sanggha Indonesia membentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggungjawab kepada Maha Sanggha Indonesia. Ketuanya adalah Biku Girirakkhito yang ditahbiskan di Thailand pada tahun 1966 dan sekretarisnya Suraji Aria Kertawijaya.

Organisasi semakin besar, dan konflik tidak terhindarkan. Perselisihan terjadi bermula karena ambisi pribadi dan kurangnya pemahaman keagamaan. Para biku pun yang seharusnya menjadi panutan dan berdiri di atas semua golongan tidak berhasil menyamakan persepsi. Pada awal tahun 1972 Biku Girirakkhito dan empat biku Therawada lain memisahkan diri dari Maha Sanggha Indonesia, membentuk Sanggha Indonesia. Mereka yang ditahbiskan di Thailand membawa pengaruh aliran dari negara ini yang meningkatkan kecenderungan bahkan persaingan yang bersifat sektarian. Perkembangan semacam ini dapat dimengerti karena Maha Sanggha Indonesia sendiri, terdorong oleh kebutuhan akan tenaga rohaniwan, sudah sejak tahun 1969 mengundang 4 orang biku dari Thailand untuk membantu pembinaan umat Buddha di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1970 datang 3 orang biku Thailand menahbiskan 5 orang biku Indonesia di Borobudur.

Sanggha Indonesia mendapat dukungan Federasi Umat Buddha Indonesia dan Persaudaraan Umat Buddha Salatiga. Ketika itu Perbudhi dipimpin oleh Suraji yang menjadikan organisasi tersebut sebagai wadah tunggal dengan menempatkan PUUI, GPBI, Wanita Buddhis sebagai biro Perbudhi. Perbudhi menyatakan bahwa di samping Maha Sanggha Indonesia, Sanggha Indonesia juga menjadi pengayom organisasinya. Sikap ini membuat PUUI yang namanya telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), menyatakan keluar dari Perbudhi. MUABI di tahun 1972 itu dipimpin oleh Soemantri M. S. sebagai ketua umum dan Drs Oka Diputhera sebagai sekjen.

Untuk mengatasi perpecahan, masih di tahun 1972, atas prakarsa Sekjen Golkar (Brigjen Saparjo), telah dilakukan sejumlah pertemuan yang menghasilkan ikrar wadah tunggal. Buddhis Indonesia, MUBSI, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI), Persaudaraan Umat Buddha Salatiga, Perbudhi, dan MUABI akan melebur dengan nama Buddha Dharma Indonesia (Budhi). Di samping itu dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari pemuka agama Buddha dan cendekiawan dari berbagai sekte. Dalam praktiknya ikrar ini baru terwujud tahun 1975. Budhi dipimpin oleh Suraji. Namun GTI dengan alasan sebagai badan hukum tidak dapat dibubarkan tanpa melalui prosedur hukum, tetap berdiri sendiri. Begitu pula MUABI, sebagai wadah ‘ulama’ tidak menempatkan diri sama dengan ormas lain, sehingga tidak ikut fusi. Organisasi ini mengganti nama menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia (1976).

Pada tahun 1974 atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja, M.A.) organisasi Sanggha dipersatukan kembali dengan memakai nama baru Sanggha Agung Indonesia. Tetapi pada tahun 1976 beberapa biku kembali memisahkan diri membentuk Sanggha Therawada Indonesia. Tahun itu Dalai Lama berkunjung ke Jakarta disambut oleh pemuka agama Buddha di Jakarta tanpa memandang perbedaan aliran. Tetapi sebegitu jauh kerukunan, persatuan, dan kesatuan belum dapat terwujud. Di luar negeri usaha ke arah persatuan terlihat dari terhimpunnya semua golongan aliran dalam suatu organisasi internasional. Umat Buddha Indonesia pun ikut berperan dalam organisasi tersebut, yaitu World Fellowship of Buddhists (WFB) dan World Buddhist Sangha Council (WBSC). Di tahun 1978 Biksu Dharmasagaro melepaskan diri dari Sanggha Agung Indonesia dan mendirikan Sanggha Mahayana Indonesia. Sejak itu di Indonesia terdapat 3 Sanggha, yaitu Sanggha Agung Indonesia, Sanggha Therawada Indonesia dan Sanggha Mahayana Indonesia. Ketiga Sanggha kemudian bersama-sama 7 majelis mendirikan Perwalian Umat Buddha Indonesia (1979).

Tahun tujuhpuluhan merupakan periode mulainya gerakan-gerakan sektarian. Selisih pendapat bahkan menyinggung paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Pengakuan pemerintah mengenai sebutan Tuhan dalam agama Buddha muncul dalam Peraturan Pemerintah RI No 21 Tahun 1975 (tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil) yang menyatakan kata “Demi Allah” bagi mereka yang beragama Buddha diganti dengan “Demi Sang Hyang Adi Buddha. (Di kemudian hari, Undang-Undang RI No 43 Tahun 1999 mengukuhkannya). Menyebut Tuhan dengan nama Adi Buddha merupakan ciri dari umat yang dibina oleh MUABI, namun organisasi besar ini tidak dapat menghindar dari perpecahan. Sempalannya menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan, semula bernama Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia (23 Juli 1975). Tak lama kemudian lahir Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (7 Agustus 1975). Bidang kerohanian Budhi tumbuh menjadi Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (3 Oktober 1976) dan menganut aliran Therawada. Sekarang namanya Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia (Magabudhi). Dari Gabungan Tridharma Indonesia muncul Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia, yang kemudian bergabung dengan Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se Indonesia menjadi Majelis Rohaniwan Tridharma se Indonesia (17 Desember 1977). Bersamaan dengan lahirnya Sanggha Mahayana Indonesia muncul Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Agustus 1978). Organisasi Nichiren Syosyu Indonesia (28 Oktober 1964) pun menjadi Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia (NSI). Majelis-majelis agama ini, kecuali MUABI, bergabung dalam Majelis Agung Agama Buddha Indonesia (MABI).

Periode Pasca-sekte
Pada tanggal 20 Pebruari 1979 di Jakarta berlangsung Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Selanjutnya Kongres Umat Buddha Indonesia pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta menyetujui wadah tunggal dengan nama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawiranegara), yang menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980). Walubi merupakan federasi dengan anggota: (1) Sanggha Therawada Indonesia. (2) Sanggha Mahayana Indonesia, (3) Sanggha Agung Indonesia, (4) Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia, (5) Majelis Buddha Mahayana Indonesia, kemudian menjadi Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, (6) Majelis Dharma Duta Kasogatan, (7) Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi), (8) Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), (9) Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia), (10) MUABI. Setelah Kongres Umat Buddha MUABI diubah namanya menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Walubi diketuai oleh Suparto Hs dari Mapanbudhi dengan sekjen Ir. T. Soekarno dari NSI dan ketua Dewan Pembinanya Soemantri M.S. dari MUABI. Walubi memiliki organ Persidangan Sanggha-Sanggha di Indonesia sehingga menempatkan ketiga Sanggha sebagai lembaga fatwa dengan ketuanya Biku Ashin Jinarakkhita.

Kongres Umat Buddha Indonesia mengukuhkan keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Keputusan itu mengenai pengakuan bahwa semua sekte agama Buddha di Indonesia berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Semua sekte agama Buddha menghormati sebutan yang berbeda-beda untuk menyebut Tuhan tetapi hakikatnya satu dan sama. Semua sekte mengakui Buddha Gotama sebagai Nabi, berpedoman kepada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka dan bertekad melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Semua sekte mempunyai umat yang berbeda di seluruh pelosok tanah air. Kongres juga menetapkan kriteria agama Buddha di Indonesia, yaitu adanya Tuhan Yang Maha Esa, Triratna/Tiratana, hukum trilaksana/tilakkhana, Catur Arya Satyani/Cattari Ariya Saccani, pratitya samutpada/paticca samuppada, karma/kamma, punarbhava/punnabhava, nirvana/nibbana, dan Bodhisattva/Bodhisatta.

Keputusan lain menyangkut kode etik. Umat Buddha sekalipun menganut sekte yang berbeda, merupakan keluarga besar dengan satu Guru Agung yang sama. Dalam membabarkan ajaran sekte sendiri harus dihindarkan ucapan, sikap, dan tindakan yang merugikan sekte lain. Setiap Pembina umat dianjurkan di samping mendalami ajaran sekte sendiri, mempelajari pula secara positif ajaran sekte lain. Dalam setiap kegiatan keagamaan dikesampingkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, kelompok atau keuntungan materiil. Setiap anggota Walubi saling menolong anggota lainnya di dalam usaha mengadakan prasarana dan sarana agama Buddha dan mengembangkan agama Buddha. Setiap anggota juga menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang dapat merusak suasana kekeluargaan dan kerukunan, menyebarkan Dharma sesuai dengan Kitab Suci serta tidak mencampuri urusan rumah tangga anggota Walubi lain.

Dalam rangka meningkatkan pembinaan sarana dan bimbingan kehidupan beragama, pada tahun 1980 Dirjen Bimas Hindu dan Buddha membentuk suatu lembaga dengan nama Gabungan Vihara, Klenteng, Rumah Abu (Gavikra). Namun lembaga ini tidak sampai berkembang. Kebanyakan wihara sudah dibina oleh majelis-majelis. Sejumlah rumah abu memiliki bangunan menyerupai klenteng tetapi tidak benar-benar menyimpan abu jenazah. Sarana tersebut berfungsi sebagai tempat perkumpulan sosial kemargaan, sehingga lebih tepat disebut rumah marga. Rumah marga dibina oleh Direktorat Sospol, tidak termasuk sarana keagamaan Buddha.

Setelah perpecahan di kalangan umat Buddha dianggap terselesaikan, pemerintah membentuk Direktorat Urusan Agama Buddha di lingkungan Departemen Agama pada tanggal 16 Desember 1980. Walubi tetap bersatu setelah Kongres Luar Biasa untuk menetapkan AD dan ART di tahun 1981 yang menjadikan Soemantri M.S. dari MBI sebagai ketua umum dan Seno Soenoto dari NSI sebagai sekjen. Di masa itu dengan Keppres No. 3/1983 pemerintah menyatakan hari Waisak sebagai libur nasional. Keputusan ini tidak hanya meningkatkan kemantapan peribadatan umat Buddha, tetapi juga telah menghapuskan hambatan psikologis hidup keagamaan. Sebelumnya, setiap tahun Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan tentang Hari Libur Umat Hindu dan Buddha, yang antara lain menyatakan Waisak, Asadha, dan Kathina sebagai libur fakultatif. Setelah Waisak menjadi libur nasional, tidak ada lagi libur fakultatif bagi umat Buddha. Bagaimanapun umat Buddha berterimakasih dan menjadi lebih aktif meningkatkan perannya. Pembangunan berbagai sarana keagamaan diikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, khususnya fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan atau sekolah pun semakin banyak bermunculan.

Sambutan Waisak dari Seno Soenoto selaku Sekjen Walubi dalam harian Sinar Harapan menyatakan Hari Raya Waisak sebagai Hari Balas Budi berdasarkan pandangan hidup orang Jepang. Timbul protes dari masyarakat yang tidak diatasi oleh pimpinan Walubi. NSI dengan medianya majalah Prajna Pundarika menyiarkan ajaran yang dianggap oleh pihak lain menyimpang dan melanggar keputusan Kongres Umat Buddha. Di tahun 1985 dalam forum Konsultasi Pejabat Ditjen Bimas Hindu dan Buddha dengan pemuka agama Buddha, Seno Soenoto mengakui bahwa Nichiren adalah seorang Buddha.

Kongres I Walubi di tahun 1986 memilih Biku Girirakkhito sebagai ketua umum dan Drs. Aggi Tjetje sebagai wakilnya yang merangkap ketua harisn. Kongres ini mengukuhkan kembali hasil Kongres Umat Buddha. Ketika terjadi lagi provokasi mengenai Hari Raya Waisak sebagai Hari Balas Budi, di tahun 1987, Sidang Widyeka Sabha Walubi menetapkan bahwa NSI telah menyimpang dari kriteria agama Buddha di Indonesia, juga melanggar kode etik dan Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia yang telah dikukuhkan melalui Kongres Umat Buddha maupun Kongres Walubi. Karena itu NSI yang dinilai telah menyimpang dan tidak diakui termasuk dalam rumpun agama Buddha dikeluarkan dari Walubi (10 Juli 1987). Pemerintah tidak mencampuri masalah ini dan tetap mengakui eksistensi NSI.

Dorongan untuk mengembangkan wadah tunggal juga ditemukan pada kelompok generasi muda dan wanita. Pemuda Buddhis Indonesia (Pembudi) yang lahir dari lingkungan MUABI (1973) dan aktif di KNPI dan Golkar setelah ikut menandatangani Pernyataan Pemuda Indonesia 1986, mempersiapkan Kongres Pemuda Buddhis. Pemerintah ikut mengarahkannya dengan mengikutsertakan unsur pemuda majelis-majelis Walubi, sehingga terlaksana musyawarah bersama pada tahun 1986 yang melahirkan organisasi Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi) dengan ketua Lieus Sungkharisma. Sebelumnya di kalangan generasi muda yang terlihat aktif adalah organisasi pemuda majelis. Selain Pemuda Tridharma yang sudah ada sejak tahun 1954, ada pula Sekretariat Bersama Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara Buddhayana Indonesia (Sekber PMVBI, 1981), menyusul kemudian Generasi Muda Mahayana Indonesia (1986), dan lain-lain. Organisasi Wanita Buddhis yang semula berpusat di Bandung (1973) juga mengikutsertakan kelompok wanita dari majelis-majelis Walubi mengadakan Kongres Wanita Buddhis Indonesia pada tahun 1987. 

Kongres melahirkan wadah tunggal dengan nama Keluarga Besar Wanita Buddhis Indonesia (KBWBI). Pengurusnya diketuai oleh Dr. Parwati Soepangat, M.A. Sebuah organisasi lokal, yaitu Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ, 1971), bersama-sama mahasiswa dari kota-kota lain melaksanakan Musyawarah Bersama mendirikan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi, 1988). Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, beberapa organisasi Buddhis yang pernah dikenal ternyata sudah bubar. Misalnya Musyawarah Kekeluargaan Buddhis Indonesia (MKBI) yang mengelompokkan diri dalam MKGR, Rumpun Guru Agama Buddha Indonesia (Rugabi) dan GUBSI. GUBSI atau Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) merupakan wadah sosial kemasyarakatan yang didirikan pada tahun 1976 dengan bantuan DPP Golkar dan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Budhi ikut melebur ke dalam GUBSI. Ketuanya Eko Sasongko diangkat menjadi anggota MPR mewakili utusan golongan. Anggota MPR berikutnya mewakili utusan golongan beragama Buddha adalah Soemantri M.S. dan Biku Girirakkhito.

Sementara itu pemerintah Orde Baru memandang perlu melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa yang dianggap kultural asing. Berdasar instruksi Menteri Dalam Negeri (No. 455.2-360) tahun 1988 tentang Penataan Klenteng, tidak dibenarkan bangunan keagamaan kepercayaan tradisional Cina menggunakan sebutan wihara atau cetya. Dengan kata lain tidak boleh wihara dan cetya memperlihatkan simbol-simbol/budaya Tionghoa. Walubi pun saat itu menyatakan Imlek bukan hari raya agama Buddha.

Konflik organisasi Buddhis kembali terjadi setelah Kongres atau Munas II Walubi di tahun 1992. Biku Girirakkhito menjadi ketua umum dan Drs. Budi Setiawan (Direktur Urusan Agama Buddha) sekjennya, sedangkan. Dra. Siti Hartati Murdaya menjadi ketua Dewan Penyantun. Munas membentuk Badan Perumus AD/ART Walubi beranggotakan 30 orang. Perbedaan pendapat mengenai hasil kerja Badan Perumus AD/ART tersebut berlanjut sampai terjadi tindak kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM (penyetruman 3 orang tokoh dari MBI dan Martrisia). Selanjutnya Walubi mengeluarkan Sanggha Agung Indonesia dan MBI dengan sejumlah alasan ajaran dan disiplin organisasi (15 Oktober 1994). Keduanya dituduh sesat karena sinkretisme besar dan sinkretisme kecil, memecah belah umat, serta menghidupkan adat Cina. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha dengan serta merta tidak melayani Sagin dan MBI. Kemudian, adanya reformasi menyadarkan Walubi, sehingga Walubi menerima kembali Sagin dan MBI pada tanggal 3 November 1998, sekaligus mengembalikan citra dan nama baiknya. Dalam Munasnya pada tanggal 6 November 1998, DPP Walubi menyebutkan penyesalan atas segala persoalan tersebut, namun Sagin dan MBI sendiri tidak diikutsertakan sebagai peserta Munas. Ternyata lewat Munas III tersebut Walubi membubarkan diri.

Setelah Walubi bubar, untuk mengefektifkan perannya, Sanggha Therawada Indonesia, Sanggha Mahayana Indonesia, dan Sanggha Agung Indonesia membentuk Konferensi Agung Sanggha Indonesia (KASI) pada tanggal 14 November 1998. KASI didirikan dengan prinsip-prinsip dasar: (1) Demokratis, tidak otoriter, tidak memaksakan kehendak sendiri, (2) Tanpa keakuan atau non-egoisme, (3) Mengakui pluralisme, (4) Kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat, (5) Kepemimpinan yang berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga, (6) Kerjasama yang baik, yang sepenuhnya menunjang kehidupan yang bersih dan suci, (7) Mengakui bahwa Tripitaka Pali, Tripitaka Mahayana, dan Tripitaka Tibet (Kan-jur) sebagai kitab suci agama Buddha yang harus diyakini oleh umat Buddha, (8) Saling menghargai keyakinan masing-masing Sanggha tanpa intervensi, (9) Saling membantu, saling mendukung satu dengan yang lainnya, (10) Tidak mencampuri urusan masing-masing Sanggha dan organisasi-organisasi di bawahnya, (11) Semua hubungan organisatoris yang berskala nasional dan bersifat mengikat harus melalui Konferensi Agung Sanggha Indonesia.

Mereka yang membubarkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) membentuk Perwakilan Umat Buddha Indonesia dengan masih menggunakan singkatan Walubi. Organisasi ini juga membentuk Dewan Sanggha, dengan anggota perorangan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen TNI (Purn.) Ir. I Wayan Gunawan, terus berusaha agar Sagin dan MBI bergabung ke Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi baru). Pada tanggal 16 Juni 1999 Menteri Agama R.I. Malik Fadjar mengundang KASI, Sagin, dan MBI yang selama itu tidak dibina oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha. Selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1999 Menteri Agama memberi petunjuk tentang pembinaan menuju persatuan umat Buddha, yang juga dimuat dalam media massa dengan judul “Kembalikan Agama pada Pemeluknya”. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pun pada tanggal 27 Desember 1999 mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia untuk membina kembali MBI dan Sagin di luar Perwakilan Umat Buddha Indonesia.

Selain MBI, organisasi besar umat Buddha lainnya yang berada di luar Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi baru) adalah Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia dan Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia. Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia dideklarasikan pada bulan Desember 1998 dan kemudian dikukuhkan pada tanggal 3 Januari 1999, memisahkan diri dari Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia (Martrisia). Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia (Magabudhi) menyatakan keluar dari keanggotaan Perwakilan Umat Buddha Indonesia pada tanggal 20 Maret 2000. Ketiga majelis ini mendukung KASI.

Kekecewaan terhadap Walubi juga mendorong sekelompok umat mendirikan Partai Buddhis Demokrat Indonesia (Parbudi). Di antara Walubi di satu pihak dengan MBI dan KASI di pihak lain sempat terjadi konflik sehubungan dengan pengusulan calon anggota MPR utusan golongan. Yang akhirnya diangkat menjadi anggota MPR adalah Dra. Hartati Murdaya dari Walubi, setelah dengan segala upaya menggusur nama MBI yang semula dicalonkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akhir dari kemelut organisasi ini, Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menyatakan Sagin dan MBI, di luar Walubi, dibina kembali oleh Departemen Agama (27 Desember 1999).

Suatu wadah tunggal bukan lagi keharusan. Tiap majelis atau organisasi keagamaan memiliki kebebasan, dan karena itu bertanggung jawab melaksanakan visi dan misinya. Masing-masing. tidak mengintervensi satu sama lain. Keragaman terpelihara tanpa mengabaikan persatuan, toleransi, saling mengerti, dan persaudaraan. Pengalaman mengajarkan bahwa kemelut organisasi dan konflik terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan/ kedudukan untuk kepentingan pribadi, penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak dan praktik yang menyimpang dari nilai-nilai keagamaan (Kitab Suci). Komunitas Buddhis menjadi semakin ideal lewat pendekatan inter-sekte dengan menghargai dan memahami berbagai aliran agama Buddha. Dialog antar-agama semakin berkembang, begitu pula dialog inter-sekte (khususnya dalam lingkungan mainstream atau KASI). Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan berbagai pengaruh dari luar negeri. Biksu/biksuni atau dharmaduta asing semakin banyak yang mengunjungi Indonesia. Lebih jauh lagi usaha membumikan ajaran Buddha lewat socially engaged Buddhism, agama Buddha yang memiliki kepedulian sosial, menjadi semakin nyata. Gerakan itu tidak hanya datang dari majelis-majelis, tetapi juga belakangan ini yang menonjol Yayasan Buddha Tzu Chi (berpusat di Taiwan) menebar cinta kasih tanpa membedakan golongan, bangsa, dan agama.

Menjelang 50 tahun kebangkitan kembali agama Buddha (dihitung sejak Waisak 1953), Mahabiksu Ashin Jinarakkhita wafat dalam usia 80 tahun pada tanggal 18 April 2002, tepat pada saat para biku dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta untuk mengikuti Maha Sabha (Kongres) I KASI. Selama jenazah beliau disemayamkan di Ekayana Buddhist Centre, Jakarta, dan kemudian disempurnakan di Krematorium Yayasan Bodhisattva, Lempasing, Lampung, puluhan ribu umat Buddha memberikan penghormatan dan mengantar kepergian biku yang amat berjasa dalam membangkitkan peranserta umat Buddha Indonesia dalam pembinaan moral bangsa. Pemerintah Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepadanya pada tanggal 15 Agustus 2005 di Istana Negara, Jakarta. Organisasi Buddhis yang didirikannya, yang dikenal sebagai MBI baru saja (23 Juli 2005) merayakan tahun emasnya dengan membuat acara historis yang spektakuler Sejuta Pelita Sejuta Harapan di Candi Borobudur. Acara ini masuk dalam Musiem Rekor Indonesia sebagai doa persembahan pelita terbesar yang pernah diseleranggarakan dengan menyalanya lebih dari satu juta pelita di Borobudur.

Penutup
Di masa lalu, suka atau tidak suka, umat Buddha tergantung pada pembinaan oleh pemerintah (dalam praktiknya oknum pemerintah), sekalipun seharusnya pemerintah tidak mencampuri urusan intern tiap agama. Sekarang telah berkembang paradigma baru: dari otokratis ke demokratis, sentralistis ke desentralisasi, vertikal hirarkis ke horisontal egaliter, feodalistis ke komunalistis, seragam ke beragam, budaya tertutup ke budaya terbuka, eksklusif ke universal. Pemikiran keagamaan pun semakin menghargai pandangan inklusif, paralel, dan pluralisme.
Sanggha adalah lembaga pewaris Dharma melalui penahbisan yang tidak terputus sejak zaman Buddha Sakyamuni, yang menjadi panutan umat dan tidak digabung dengan organisasi umat awam (apalagi diatur oleh umat awam). Umat yang betul-betul beragama Buddha (apa pun majelisnya) akan menghormati Sanggha sebagai ekspresi dari keyakinannya sesuai dengan petunjuk Kitab Suci Tripitaka.

Daftar Pustaka

Indonesia. Dep. Agama. Pengkajian dan Pengembangan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1990/1991.

Uangari, Edij. Menabur Benih Dharma di Nusantara. Bandung: Karaniya, 1995.

Majelis Buddhayana Indonesia. Buku Acara Sejuta Pelita Sejuta Harapan, Candi Borobudur, 2005

Rashid, S.M. dan Herman S. Endro. Agama, Masyarakat dan Negara. Makalah diskusi SPES, 1992

Salmon, Cl. Dan D. Lombard. Klenteng-Klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985. 

Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (2). Yogyakarta: Kanisius, ed. ke-3, 1981. 

Soetarno, R. Aneka Candi Kuno di Indonesia.Semarang: Dahara Prize, 1986.

Wijaya-Mukti, Krishnanda. Umat Buddha Jakarta Mengabdi Persada. Jakarta: Bimas Buddha Kanwil Dep Agama DKI Jakarta, 1995. 

—— Perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Makalah Pendidikan dan Pelatihan Dharmaduta, Lampung, 10-15 Desember 2000.

—— Wacana Buddha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.

2 komentar:

  1. Halo, siapakah penulis artikel ini? Terima kasih.

    _/\_

    BalasHapus
  2. Di Provinsi Jambi ada Situs Komplek Candi Muaro Jambi (terluas di dunia), peninggalan Kerajaan Melayu Kuno , kemungkinan besar mulai dibangun Abad ke 4-5 M. Mohon ulasannya lebih lebih jauh tentang ini. Karena 9 dari 100 lebih candi yang telah berhasil dipugar beraliran Buddist.

    BalasHapus