Selasa, 08 Maret 2011

RAHULA



(Unggul dalam ketenangan latihan)

Anak yang tidak tahu siapa ayahnya
Rahula adalah anak satu-satunya dari Pangeran Siddharta. Sebelum Sakyamuni meninggalkan keluarganya, ia menikah dengan Yasodhara yang cantik. Ayahnya, Raja Suddhodana, berkata, “Kalau engkau tidak memberiku cucu untuk mewarisi kerajaan ini pada masa depan, engkau tidak boleh meninggalkan keluarga.” Agar tidak mengecewakan ayahnya, Buddha menjadi ayah pada usia 29 tahun. Anaknya diberi nama “Rahula”.

Segera setelah Rahula lahir, Buddha meninggalkan keluarganya untuk mencari kebenaran, jadi Rahula tidak pernah melihat ayahnya sejak kecil. Kakek Rahula, Raja Suddhodana memanjakannya dan ibunya sangat mencintainya.

Ketika Rahula cukup umur untuk mengerti, ia sering bertanya kepada ibunya, “Ibu, bagaimanakah rupa ayah?”

“Ayahmu, Pangeran Siddharta, adalah orang paling berani dan paling pintar di seluruh India.” Yasodhara selalu menjawab seperti itu.

Rahula juga sering bertanya kepada kakeknya, “Kakek, ke mana ayah pergi? Kenapa ia tidak pulang?”

Raja Suddhodana tidak begitu mengerti mengapa Buddha meninggalkan keluarga untuk menemukan kebenaran. Ia hanya dapat menjawab, “Ia pergi ke pegunungan dan daerah terpencil untuk berperang dengan sakit, umur tua, dan kematian. Jika ia memenangkan pertempuran ini, kita tidak akan menderita lagi.” Oleh karena itu, sejak kecil, Rahula percaya bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pemberani. Setiap hari, ia menunggu ayahnya untuk segera pulang.

Ayah pulang
Sakyamuni mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi menjadi Buddha. Berita ini mencengangkan semua penduduk di seluruh dunia. Semua orang ikut berbahagia atas keberhasilannya. Semua orang mengungkapkan rasa hormat yang sangat kepada Beliau.

Buddha pergi darisuatu tempat ke tempat yang lainnya untuk mengajarkan kebenaran. Tiga tahun kemudian, akhirnya Beliau pulang ke kampung halamannya, Kapilavatthu.

Semua penduduk Kapilavatthu, dari Raja Suddhodana sampai ke rakyat jelata dan para budak, penuh dengan luapan kegembiraan. Yang muda dan yang tua, beramai-ramai menyambut kedatangan Buddha.

Rahula bahkan lebih gembira. Ia berdiri di tempat tertinggi di istana dan menyaksikan ayahnya dari kejauhan. Ia melihat ribuan orang berlutut di tanah untuk menghormat kepada Buddha. Orang-orang menaburkan bunga segar ke tubuh Buddha dan menyerukan perasaan sukacita dan bangga.

Ketika Buddha berjalan menuju ke istana, Rahula bersujud dengan membaringkan tubuhnya di atas tanah, cara ini adalah bentuk penghormatan yang tertinggi dalam budaya India, seperti kita memberikan hormat dengan membungkuk sembilan puluh derajat.

Buddha menyentuh Rahula dan berkata, “Nak, kamu sudah besar.”

Rahula berkata kepada ayahnya, ”Ayah, saya ingin bersamamu. Saya ingin menjadi bhikkhu untuk mempelajari kebenaran.”

”suatu hari, kamu boleh ikut saya,” Buddha berkata dengan penuh belas kasih.

Samanera pertama
Buddha melihat bahwa Rahula anak yang pintar, baik hati, dan dapat menjadi anak Buddhis yang baik, sehingga Buddha meminta Moggallana untuk mencukur kepala Rahula dan meminta Sariputta menjadi guru Rahula. Rahula menjadi siswa Buddha. Dalam sejarah ajaran Buddha, ia adalah samanera pertama. Samanera adalah bhikkhu yang di bawah umur 20 tahun.

Segera setelah Rahula menjadi samanera, ibunya, Yasodhara, bersama dengan bibi Buddha, Prajapati, juga meninggalkan kehidupan keluarga dan menjadi bhikkhuni.

Walaupun Rahula telah mencukur kepalanya untuk menjadi samanera, ia masih muda dan kadang nakal dan badung. Ia suka bercanda dan mengolok-olok orang lain sampai mereka bingung, sementara ia bertepuk tangan dan tertawa keras kegirangan.

Ketika Buddha mengetahui hal ini, Beliau sendiri pergi mencari Rahula. Ketika Rahula melihat Buddha, ia menyadari bahwa ada hal yang tidak benar dan ia segera membawa sebaskom air untuk mencuci kaki Buddha. Setelah itu, Buddha berkata kepada Rahula, “Rahula, dapatkah air baskom ini digunakan untuk minum?”

“air ini terlalu kotor, bagaimana mungkin dapat diminum?” kata Rahula.

“Rahula, sekarang kamu seperti air ini,” Buddha menatap Rahula, lalu melanjutkan, ”Air ini awalnya bersih, tetapi menjadi kotor telah dipakai untuk mencuci kaki. Demikian pula, kamu juga awalnya anggota kerajaan yang akan mewarisi kerajaan. Engkau melepaskan tahta dan menjadi bhikkhu untuk mempraktikkan Dharma. Cita-citamu sungguh hebat! Tetapi, kamu suka bermain setiap hari. Engkau tidak mau menjadi rajin. Semua orang tidak suka melihatmu, seperti melihat air baskom berisi air kotor yang telah digunakan untuk mencuci kaki!”

Setelah mendengarkan kata-kata Buddha, bagaimana Rahula tidak merasa malu pada dirinya sendiri? Sejak itu, Rahula tidak lagi nakal dan badung. Ia mengikuti ajaran Buddha dan mempraktikkannya dalam diam.

Bermalam di kakus
Suatu hari, Rahula pergi mendengarkan ceramah yang diberikan oleh Buddha. Ketika ia kembali, ia mendapati bahwa kamarnya telah dipakai oleh bhikkhu lain. Pada waktu itu, ada peraturan di dalam Sangha bahwa samanera muda harus menghormati bhikkhu yang lebih tua dan mengalah kepadanya.

Rahula lalu beristirahat di bawah pohon, tetapi tidak lama kemudian, hujan turun lebat. Rahula tidak punya pilihan lain kecuali lari ke kakus untuk berteduh.

Buddha memiliki kekuatan gaib. Beliau tahu tentang tekad rahula pada waktu itu, sehingga ia pergi menemui Rahula di tengah hujan lebat. Rahula yang tidak punya siapapun untuk bercerita, saat melihat Sang Buddha datang ke arahnya, ia segera memeluk Buddha dan menangis sedih.

Buddha menenangkan Rahula, ”Rahula, kamu mau mendahulukan orang lain. Latihan Dharma kamu sudah lebih maju.”

Pukulan di kepala
Dalam peristiwa lain, Rahula mengikuti gurunya, Sariputta, dalam sebuah perjalanan untuk mengajarkan Dharma. Pada siang hari, mereka mengumpulkan dana makanan di pinggiran Rajagraha. Mereka bertemu seorang pembuat onar yang dengan sengaja menuangkan pasir ke mangkuk Sariputta dan memukul kepala Rahula dengan sebuah tongkat. Darah mengucur dari kepala Rahula yang terluka.

Sariputta menenangkan Rahula dan berkata, “Rahula, sebagai siswa Buddha, kita harus melatih kesabaran. Kita tidak perlu marah terhadap orang yang berbuat buruk. Bahkan kita harus mengasihani mereka, karena mereka tidak tahu bahwa setiap perbuatan akan berakibat, sehingga mereka melakukan perbuatan buruk.”

Setelah mendengarkan Sariputta, Rahula menjadi tenang dan tidak kesal lagi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia pergi sendiri ke tepi sungai dan mencuci darah di kepala dan wajahnya. Kemudian ia menggunakan sapu tangannya untuk membalut luka dan melanjutkan mengumpulkan dana dari umat, seolah-olah ia tidak terluka sama sekali.

Dipuji semua orang
Di antara para siswa Buddha, yang paling menonjol adalah Sariputta, Moggallana, Kassapa, Ananda, Punna, Kaccana, Subhuti dan lainnya. Namun demikian siswa yang paling muda, Rahula tidak suka muncul di keramaian. Ia belajar Dharma dengan tenang dan belatih Dharma dengan rajin. Akhirnya, ia mencapai pencerahan. Pada saat itu, dia baru berumur 20 tahun.

Buddha berkata kepada Rahula dengan gembira. “Rahula, diantara para siswaku, kamulah yang paling unggul dalam berlatih dengan tenang.” Ini berarti Rahula mempraktikkan Dharma sendiri, tanpa membiarkan orang tahu tentang itu. Dialah siswa yang paling rendah hati dan paling sabar.

Setelah mencapai pencerahan, Rahula tetap mengikuti Buddha dan Sariputta, berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajarkan Dharma. Ia tidak suka memuji diri sendiri atau memamerkan diri. Ia serius dan bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Seperti ayahnya, Buddha yang Mahamulia, Rahula juga dikenang dan sangat dihormati oleh generasi berikutnya.

Rahula disukai oleh banyak orang, bukan karena ia adalah putra Buddha, tetapi karena cinta kasih, belas kasih, latihan kesabaran, dan ketenangannya. Semua ini mengandung pujian tulus dari hati terdalam setiap orang.

1 komentar:

  1. "Segera setelah Rahula lahir, Buddha meninggalkan keluarganya untuk mencari kebenaran...."

    Tolong diperbaiki karena kurang tepat. Ketika itu Pangeran Siddharta masih belum menjadi Buddha (masih calon) ketika pergi untuk menjadi pertapa. Ketika beliau mencapai penerangan sempurna, barulah beliau menjadi Sang Buddha dan kembali ke "keluarga"nya.

    BalasHapus