Guan Shi Yin Pu Sa (Koan Si Im Po Sat-Hokkian) atau secara umum disebut Guan Yin, dalam bahasa Sansekerta disebut Avalokitesvara Bodhisattva. Dikenal secara luas sebagai dewi welas asih, yang dipuja tidak hanya dikalangan Buddhis saja, tetapi juga dikalangan Tao dan semua lapisan umat awam. Dewi ini sangat populer tidak hanya di Tiongkok saja tetapi juga di Jepang (yang disebut Kanon) dan Asia Tenggara.
Guan.......................Melihat atau merenungi
Shi...........................Dunia, alamnya orang yang menderita
Yin..........................Segala suara dari dunia, jeritan atau ratapan dari makhluk hidup, lahir maupun batin, yang kesemuanya menyentuh lubuk hati sang Dewi Welas Asih.
Sebab itu Guan Yin adalah Bodhisattva yang melambangkan hati yang welas asih dan penyayang, yang tertanam dalam hati setiap pemujanya. Mereka percaya bahwa Guan Yin dapat mendengarkan keluh kesah mereka yang menderita dan datang menolong, dalam wujud yang berbeda-beda, baik pria maupun wanita.
Perwujudan Guan
di negeri-negeri lain yang menganut agama Buddha seperti, Muangthai, Kamboja, India dan Vietnam. Bodhisattva ini biasanya ditampilkan sebagai pria. Hanya di Tiongkok saja Avalokitesvara Bodhisattva diwujudkan sebagai wanita dengan berbagai penampilan, antara lain:
- Guan Yin menyeberangi lautan. Konon Guan Yin dari India menyeberangi lautan sampai di Pu Tuo Shan, propinsi Zhejiang.
- Guan Yin dengan hutan bambu ungu
- Guan Yin dengan keranjang isi ikan. Mengandung arti menyayangi makhluk hidup, sebab ikan itu akan dilepaskan kembali ke laut.
- Guan Yin dengan 8 rintangan. Ini melambangkan Guan Yin dapat mengatasi berbagai kesukaran supaya dapat dengan tenang menerima ajaran Buddha.
- Guan Yin bertangan seribu. Perwujudan ini mengandung makna bahwa Guan Yin mampu melakukan segala dan tahu segala hal.
- Guan Yin berbaju putih. Maksudnya putih bersih tanpa dosa seperti halnya Maria dalam Agama Khatolik.
- Guan Yin membawa anak. Merupakan pemujaan bagi mereka yang mendambakan anak.
- Guan Yin membawa botol air suci, biasanya ditemani oleh bocah suci, Shan Cai, dan burung kakak tua.
- Guan Yin naik gelombang atau di atas sebuah batu karang, yang melambangkan keteguhan hatinya untuk menempuh berbagai kesukaran menolong manusia.
Semuanya ada 33 bentuk perwujudan Guan Yin, dalam menolong umatnya yang membutuhkan. Yang disebut di atas adalah yang paling terkenal. Dalam kitab Buddha yang asli hanya disebutkan 16 rupa perwujudan. Setelah diterjemahkan dalam Tionghoa diubah menjadi 33 rupa, sebab angka 33 itu sering digunakan oleh para cendikiawan Tiongkok sebagai angka yang suci.
Guan Yin pria atau wanita:
Pada waktu memasuki Tiongkok sekitar dinasti Han, Agama Buddha memang memperkenalkan Avalokitesvara yang kemudian dikenal sebagai Guan Yin Pu Sa sebagai pria. Mulai jaman dinasti Tang (618-907 M) dan Lima Dinasti (907-960 M), Guan Yin ditampilkan sebagai wanita. Mungkin ini terpengaruh ajaran Konfusianisme yang sangat berakar dalam sistem sosial masyarakat pada waktu itu. Mereka menganggap tidak layak kalau wanita memohon anak dari seorang dewata pria. Bagi para penganutnya, hal itu dianggap sebagai kehendak Guan Yin sendiri untuk mewujudkan dirinya sebagai wanita, agar ia dapat leluasa dengan kaum wanita yang banyak memohon uluran tangannya.
Kelihatannya perubahan ini terjadi secara perlahan-lahan. Mula-mula Guan Yin ditampilkan sebagai pasangan Avalokitesvara (seperti halnya dewa-dewa dari India yang selalu mempunyai pasangan). Kemudian lambat laun, oleh penganutnya di Tiongkok, Dewata pria Avalokitesvara mulai dilupakan. Sampai abad ke12 masehi, Guan Yin telah dipuja sendirian sebagai Dewata yang khas Tiongkok, begitu juga Dewata-dewata Buddhis lainnya.
Perlu diketahui bahwa sebelum masuknya Buddhis ke Tiongkok, kaum wanita disana sudah banyak memuja para dewi dari Taoisme yang mereka panggil dengan sebutan Niang-niang, sebagai tempat mereka memohon perlindungan, keselamatan dan keturunan. Sebab itu ketika muncul Guan Yin mereka menyebutnya dengan panggilan Niang-niang pula. Sebutan Guan Yin Phu Sa yang sepenuhnya bersifat Buddhisme dikalangan rakyat akhirnya populer dengan sebutan ”Guan Yin Niang-niang”. Tidak hanya sampai disitu, kaum Taoistpun akhirnya ikut pula memujanya, bahkan menempatkannya sejajar dengan Dewi mereka, yaitu Tian Hou (Tian Shang Sheng Mu). Nama Taoist untuk Guan Yin adalah Zi Hang Dao Ren (Cu Hang To Jin-Hokkian) yang berarti Pendeta penyelamat pelayaran. Begitulah Guan Yin memperoleh kepopuleran yang jauh melebihi dewata Buddhisme yang tertinggi Sakyamuni Buddha, meskipun dalam banyak kelenteng dan vihara, Sakyamuni duduk di altar yang paling terhormat.
E.T.C Werner dalam bukunya “Myths and Legends of China” menyebutnya sebagai Buddhist Saviour atau Dewi Penyelamat dari Buddhist. Inilah kutipan dari buku itu tentang kepercayaan rakyat kepada Guan Yin:
“Ia disebut Guan Yin karena ia mau mendengarkan ratapan dari dunia dan turun tangan mengeluarkan pertolongan. Ia memperoleh sebutan Buddha yang mengusir rasa takut. Kalau kita ditengah kobaran api, nama Guan Yin disebut, api tak akan dapat membakar. Di tengah hempasan ombak yang setinggi gunung, apabila namanya disebut akan sampailah pada air yang dangkal. Perahu yang tengah dihantam gelombang, apabila seorang awaknya menyebut nama yang maha penyayang, akan selamat sampai tujuan. Ditengah-tengah gemerincingnya tombak dan pedang di medan perang, apabila menyebut namanya akan luputlah ia dari maut. Kalau dalam dirimu ada iblis yang merasuki, sebutlah nama Guan Yin, dan anda akan memperoleh ketenangan dan kesucian batin.
Nafsu amarah dan kebencian akan sirna kalau namanya diucapkan. Seorang yang menderita penyakit ingatan akan pulih kembali sehat kalau berdoa kepada Guan Yin. Guan Yin yang maha pengasih dan penyayang akan memberikan seorang putra bagi para ibu yang mendambakannya, seorang putra yang tampan dan seorang putri yang cantik. Seseorang yang menyebut nama-nama 6.200.000 Buddha atau jumlah yang banyak laksana pasir sungai Gangga, sama nilainya dengan orang lain yang hanya mengucapkan nama “Guan Yin” sekali saja. Guan Yin dapat muncul dalam wujud Buddha, Pangeran, Pendeta, pelajara dan lain-lainnya. Dapat pergi ke negeri mana saja, mengkhotbahkan ajaran suci ke segala penjuru.”
Guan Yin berbaju putih
Memang perwujudan Guan Yin tidak terbatas, tapi yang paling banyak di puja secara meluas dari abad ke abad adalah Guan Yin berbaju putih. Sebab itu apabila kita melihat diberbagai kelenteng, sebagian besar adalah Guan Yin yang berbentuk demikian. Bentuk ini paling disukai dan paling populer diantara bentuk-bentuk lain. Patung Guan Yin baik yang bentuk dalam keadaan duduk atau berdiri, mempunyai makna sendiri-sendiri. Kebanyakan orang akan memilih yang dalam posisi duduk, sebab bentuk ini menimbulkan kesan tenang, tentram dan anggun, merupakan gambaran pencerahan yang sempurna. Bentuk Guan Yin yang berdiri melambangkan geraknya yang penuh kasih sayang. Ini diartikan oleh para pemujanya bahwa tindakannya pang penuh kasih dan sayang itu mempunyai kekuatan untuk mencapai siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Dan Guan Yin selalu siap menghampiri dan membantu dengan uluran kasih sayang dan perlindungan. Makna lain yang tersirat bentuk berdiri ini adalah melambangkan kesetiaan Guan Yin untuk memberikan pencerahan kepada siapa saja yang menginginkan.
Guan Yin berbaju putih seringkali tampil dengan memegang botol yang berisi “Amrita” yaitu embun welas asih, yang berkasiat mensucikan kekotoran-kekotoran dalam badan, ucapan dan batin manusia dan mempunyai kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Diiringi dengan ekspresi wajah yang lembut, tenang dan manis Guan Yin berbaju putih mencerminkan kebijaksanaan, ketenangan dan rasa kasih sayang yang tak terhingga besarnya. Wajah inilah yang telah banyak memberikan ketenangan batin pada hati para pemujanya.
Bagaimana agar kita dapat menjadi penganutnya yang setia? Beberapa petunjuk dari mereka yang percaya yang telah mengalami sendiri rahmat dari Guan Yin mengatakan bahwa untuk menjadi penganutnya orang tidak boleh begitu saja percaya secara membabi buta dan bersembahyang setiap hari, tetapi tetap dengan ingatan yang mementingkan diri sendiri. Harus melalui praktek perbuatan yang yang mencerminkan watak-wataknya seperti ramah tamah, sering berbuat amal, sabar teguh hati, suka menolong, suka berbuat sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang banyak dan bermeditasi. Dengan praktek-praktek seperti itu orang akan mendekatkan batinnya kepada Guan Yin dan menjadi pengikutnya. Dilihat dari sini, kita merasakan bahwa sebetulnya pemujaan Guan Yin mengandung suatu ajaran moral yang tinggi.
Kalau kita perhatikan, semua wajah dari patung Guan Yin tentu memiliki mata yang bisa kita katakan setengah terbuka dan setengah tertutup. Mata yang begini, dalam ilmu kebatinan Buddhisme mempunyai arti keselarasan yang sempurna dari kehidupan lahir dan batin, sebab sebagian pandangan untuk melihat dunia luar dan sebagian lagi untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa Guan Yin selalu mengingatkan manusia agar selalu menjaga keseimbangan dunia luar dan batin kita dengan segala kecenderungan.
Guan Yin Bertangan Seribu
Seperti yang telah kita sebutkan bahwa salah satu bentuk Guan Yin yang terkenal adalah Guan Yin bertangan seribu (bermata seribu) atau Qian-shou-qian-yan Guan Yin. Sebenarnya kalau kita hitung secara teliti, jumlah lengannya hanya 39 dan masing-masing menggenggam benda pusaka keagamaan, yang terbanyak berupa bunga dan senjata penakluk iblis. Pada tiap telapak tangan terdapat sebuah mata. Dalam legenda dikisahkank pada waktu ia sedang dalam meditasi dan merenungkan tugasnya untuk menyelamatkan dan kebahagiaan semua makhluk yang tidak berdosa, kepalanya tiba-tiba terbelah menjadi seribu kepingan, tepat pada saat ia menyadari betapa berat dan besarnya hal yang dilakukannya itu.
o-mi-thuo-fo (Amitabha), bapak pembimbingnya, cepat datang untuk menolong dan menghidupkan kembali Guan Yin serta juga memberikan kesaktian untuk berubah menjadi bentuk kepala seribu itu. Matanya yang seribu, melambangkan watak Guan Yin yang penuh belas kasihan, mampu melihat segala hal, sedangkan tangan seribu melambangkan kemampuannya menolong umat manusia dimana saja dan kapan saja.
Semua bentuk Guan Yin baik itu wanita atau pria berkepala tunggal atau ganda, bertangan sepasang atau banyak, dengan ekspresi wajah banyak, dengan ekspresi wajah bengis atau penyabar, mempunyai arti sendiri-sendiri. Dan yang harus diingat, apapun bentuknya, Guan Yin tetap menampilkan wataknya yang pengasih dan penyayang, bahkan walau ditampilkan dalam bentuk bermata dan bertangan seribu, sekalipun beliau tidak kehilangan watak aslinya yang luhur.
Di kelenteng Pu Ning Si yang terletak di dalam komplek Istana Kekaisaran untuk persinggahan musim panas, di Chengde, Tiongkok Utara, terdapat sebuah patung Guan Yin yang bertangan seribu terbuat dari pahatan kayu, yang merupakan patung kayu terbesar di dunia. Patung ini tingginya 22 meter dan dibuat pada tahun 1755.
Kemukjizatan Guan Yin
Diantara para dewa yang dipouja di kelenteng-kelenteng, Guan Yin bagi penganutnya dianggap paling sering menurunkan kemujijatan. Seseorang yang telah membaca mantra: Namo Da-bei Guan Shi Yin Pu Sa, dengan penuh ketulusan hati akan menerima pertolongannya lambat atau cepat, tergantung dari karma orang tersebut pada saat mengucapkan, dan kadar kesungguhan dari mantranya.
Kemujijatan Guan Yin banyak disaksikan dan diceritakan oleh para pemujanya. Kalau kita pernah bertatap muka dengan mereka, tentu saja ada keajaiban yang dituturkan selama memuuja Guan Yin. Seperti perawan suci, Maria dalam agama Khatolik, yang seringkali dilaporkan menampakkan diri atau melakukan mujijat penyembuhan seperti di Lourdes, atau patungnya mencucurkan air mata, begitu juga Guan Yin Pu Sa. Yang kami tulis disini ada beberapa peristiwa baik yang dicatat dalam kitab suci maupun pengalaman atau kesaksian orang:
- yang termuat dalam kitab penting agama Buddha, Fayuan-zhu-lin, antara lain menceritakan tentang hal ihwal Sun Jing De (Sun Keng Tek-Hokkian). Sun Jing De adalah seorang pegawaii negeri bagian urusan sosial di kota Dingzhou, yang hidup di negeri Wei. Sun Jing De ini sangat tekun bersembahyang kepada Guan Yin dan juga telah membuat sebuah patung Dewi. Suatu ketika ia dilibatkan dalam satu peristiwa perampokan oleh salah seorang pelakunya. Tanpa pemeriksaan dan penelitian lagi, Sun Jing De secara serampangan dijatuhi hukuman mati. Malam menjelang pelaksanaan hukuman mati, ia bermimpi bertemu dengan seorang pendeta yang mengajarinya untuk membaca doa yang kemudian terkenal dengan nama Gao Wang Guan Shi Yin Jing, (Ko Ong Kuan Si Im Keng-Hokkian) sebanyak seribu kali agar dapat terbebas dari kematian. Paginya, pada saat digiring ke tempat pelaksanaan hukuman mati, Sun Jing De terus membaca doa itu. Tepat pada pelaksanaan hukuman mati akan dilaksanakan, Sun Jing De berhasil mencapai doa keseribu, dan pada saat golok algojo menebas batang lehernya, terjadilah mujijat. Golok itu pecah menjadi dua. Semua orang yang hadir ditempat itu heran. Sampai tiga kali algojo mengganti goloknya, tetapi tetap saja Sun Jing De tidak terluka sedikitpun. Ketika diteliti pada leher, patung Guan Yin buatan Sun Jing De di rumahnya, ternyata terdapat tiga garis seperti bekas benda tajam. Menerima laporan ini, perdana menteri negeri itu, Gao Huan, lalu memerintahkan agar Sun Jing De dibebaskan dari semua perkara, dan dianjurkan agar doa Gao Wang Guan Shi Yin Jing itu ditulis dan disebarkan. Sejak saat itu dari doa penolong Guan Yin ini terkenal sampai sekarang.
- Sun Dao De, seorang yang hidup pada jaman dinasti Jin, sangat gemar berdoa. Pada umur 50 tahun belum dikaruniai seorang anak. Seorang Bhikkhu yang tinggal di dalam kelenteng dekat rumahnya menganjurkan agar membaca Guan Yin Jing (Koan Im Keng ) sejak saat itu tak lama lagi isterinya hamil dan kemudian melahirkan anak laki-laki.
- Pada tahun 1923 bulan Maret, seorang perwira angkatan darat yang sering disebut sebagai Zhang Jiang Jun yang biasanya sering membaca doa penolong Guan Yin, lalu mengajak semua orang yang ada disitu untuk berdoa bersama. Baru saja berdoa, dari jendela pesawat tampak Guan Yin muncul dengan senyum diantara awan, dan pesawat yang hampir menghujam ke bumi itu mendadak dapat kembali naik dengan mesin hidup kemblai. Sekretaris Zhang Jiang-Jun sempat memotret wajah Guan Yin yang muncul diantara awan itu.
- Pada tahun 1973 seorang perwira angkatan udara Amerika (USAF) yang sedang mengadakan penerbangan patroli di atas Selat Taiwan, melihat segerombolan awan hitam yang bentuknya aneh, dia lalu memotretnya. Setelah hasil bidikan kamera itu dicuci, tampaklah gambar Guan Yin sedang berdiri di atas seekor naga yang sedang terbang. Peristiwa ini sangat menggemparkan dan sempat dimuat oleh beberapa surat kabar terkemuka.
- Peristiwa ajaib terjadi pada tahun 1977 bulan Juni. Patung Guan Yin besar yang ada di Port Stanley, Hongkong telah bergerak secara ajaib. Didahului dengan memancarnya sinar dari batu permata yang ditempelkan pada dahi patung bersangkutan, dan disaksikan oleh banyak umat yang pada waktu itu sedang berdoa. Berita ini sempat dikutip oleh Pikiran Rakyat, Bandung, terbitan 7-6-1977, dari salah satu harian di Hongkong.
- Seorang penulis dari Malaysia, Guan Ming, menceritakan pengalamannya yang dimuat dalam buku yang berjudul “Popular Deities of Chinese Buddhisme” terbitan tahun 1985. pada permulaan tahun 1979 penulis itu mengalami suatu peristiwa spiritual luar biasa yang telah merubahnya menjadii penganut Buddhis yang taat. Berminggu-minggu ia berdoa Pada Tuhan untuk kesembuhan anak laki-lakinya yang mengidap kanker ganas. Rupanya doa itu di dengar oleh Yang Maha Kuasa dan secara tidak terduga Guan Yin Pu Sa muncul dihadapannya. Guan Yin tidak hanya menjanjikan kesembuhan untuk adik lelakinya, tetapi juga mengatakan bahwa ia akan dikaruniai seorang putra tahun berikutnya. Adiknya yang dinyatakan dokter hanya dapat bertahan hidup beberapa minggu lagi, ternyata sembuh total, dan dikaruniai anak laki-laki pada tahun 1980, tepat seperti yang telah diucapkan oleh Guan Yin. Sejak itu sang penulis mendirikan doa Guan Yin, yang berpusat di Malaysia, untuk menyebarkan agama Buddha dan memuja Guan Yin.
Membicarakan kemujijatan Guan Yin mungkin akan memerlukan buku setebal Encyclopedia Britanica, karena tiap pemuja mempunyai cerita tersendiri tentang pengalamannya. Untuk mempercayai hal-hal demikian bagi orang awam memang tidak mudah, tapi apabila kita berkeyakinan bahwa semua agama adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan diturunkan melalui nabi-nabi yang berlainan adat kebiasaannya, dan pada jaman yang berbeda-beda, kita tidak usah heran akan kemukjijatan seperti itu, sebab hal demikianpun terjadi pada penganut agama lain, dengan catatan mereka sungguh-sungguh melaksanakan ajaran secara benar dan tulus. Sebab beragama itu sesungguhnya adalah pengalaman pribadi dan tidak dapat dipaksakan kepada orang lain yang tentunya punya pengalaman yang berlainan dengan kita. Jadi yang benar adalah kita sungguh-sungguh melaksanakan ajaran agama masing-masing yang sesuai dengan diri kita dan mengamalkannya tanpa harus mencemooh kepercayaan orang lain dengan menganggap yang kita yakini adalah yang paling benar. Dengan demikian kita dapat hidup dengan tentram dan damai jauh dari kegelisahan dan kemurkaan yang merusak batin.
Ahli sejarah berbicara tentang Guan Yin
Ahli sejarah tentu saja mempunyai perbedaan pandangan dengan para pemuja dalam membicarakan tentang Guan Yin. Bagi mereka segala kemukjijatan serta keajaiban yang dikaitkan dengan Guan Yin adalah sebuah dongeng yang sulit diterima oleh pikiran-pikiran ilmiah.
Yang mereka cari adalah apakah Guan Yin sungguh-sungguh berasal dari Avalokitesvara ataukah lebih dari itu. Memang berdasarkan atas catatan sejarah, pemujaan Guan Yin dimulai pada waktu Kumarajiva, seorang Bhikkhu dari India, yang datang ke Tiongkok pada tahun 409, semasa dinasti Jin. Setelah Kumarajiva menterjemahkan Sutra Fa Hua Jing ke dalam bahasa Tionghoa. Pemujaan Guan Yin mulai umum. Pada masa kerajaan (502-557 M) kebiasaan itu memang populer, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kaisar Wen Zong (827-840 M) dari dinasti Tang. Masalahnya kemudian adalah darimana pemujaan ini berasal dan pengaruh apa yang menyebabkan.
Seorang sarjana berpendapat bahwa pemujaan Guan Yin berasal dari Syiria dan Persi. Ia menganggap bahwa air suci dalam botol yang dibawa oleh Guan Yin sama dengan Atargatti, seorang Dewi yang banyak dipuja di Syiria dan Persi, yang membawa air kehidupan. Yang lebih menguatkan dugaan adalah Atargatti adalah Dewi Ikan, Guan Yin seringkali ditemani seekor ikan tambera. Tapi anggapan ini dapat dibantah. Kesamaan air suci antara keduanya memang boleh jadi hanya kebetulan. Tentang ikan yang menemani Guan Yin, ternyata bukan ciri khas Guan Yin seorang, sebab banyak Dewata Buddhisme lain yang dipuja juga ditemani oleh ikan, terutama ikan tambera. Ikan tambera bagi orang Tionghoa mempunyai makna khusus yaitu lambang kegigihan dalam berjuang.
Ahli sejarah lain berpendapat bahwa pemujaan Guan Yin dipengaruhi oleh budaya dari Mesir. M.C.Wel dalam bukunya Panggung Sejarah Dunia, mengatakan “Agama Dao di Tiongkok mempunyai seorang Dewi yang disebut Guan Yin yang sebetulnya Dewata pria, yang mirip dengan dewi Mesir ISIS. Isis inilah yang mempengaruhi Guan Yin, keduanya juga merupakan dewi lautan”. Sementara itu Gu Jie Gang dalam bukunya “urutan analisa sejarah kuno” mengatakan: “Yama atau Yan Luo (Raja Akhirat) bukanlah melulu ada di India saja, ini juga pengaruh dari Mesir. Yan Luo mungkin adalah penguasa akhirat dari sungai Nil yang bernama Osiris. Nil dalam bahasa Tionghoa adalah Niluo, suaranya mirip dengan Yan Luo. Kalau pendapat ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa Guan Yin memang berasal dari Mesir”.
Mengenai pendapat ini, Li Sheng Hua seorang ahli sejarah dari Taiwan, dalam bukunya Guan Shi Yin Pu Sa Zi Yanjiu atau penelitian tentang Guan Yin, mengatakan tidak setuju. Ia berpendapat bahwa dalam dongeng Mesir, Isis adalah isteri dari Osiris. Tapi di Tiongkok, menurut Li Sheng Hua Guan Yin dan Yanluo memiliki kedudukan yang sangat berbeda, dan tidak pernah ada yang mengatakan bahwa Guan Yin adalah istri Yan Luo. Dengan ini jelas tidak dapat disimpulkan bahwa Guan Yin berasal dari Mesir. Patung Isis yang menggendong anak, sama sekali tidak mirip dengan Guan Yin yang dalam pose serupa. Mengenai pendapat bahwa Guan Yin dan Isis sama-sama dewi laut, ini merupakan kesamaan yang bersifat psikologis dari angan-angan manusia saja. Memang Guan Yin sebetulnya adalah seorang Dewa dan bukan Dewi, tetapi masyarakat sudah terlanjur menganggapnya sebagai Dewi, dan dewi welas asih yang ada dari berbagai negara, umumnya juga merangkap menjadi dewi pelindung lautan. Seperti halnya dei welas asih dari agama Katholik Roma, Mater Dei dan lain-lain, Guan Yin mempunyai jabatan yang sama. Selanjutnya Li Sheng Hua beranggapan bahwa untuk menerangkan masalah ini tidak cocok apabila digunakan teori penyebaran dongeng (theory of mythic diffusion) tetapi akan lebih cocok apabila dipakai “teori kesamaan cara berpikir secara kejiwaan” (the theory of similiarty of mental working). Kecuali pendapat-pendapat di atas, ada lagi suatu anggapan yang mengatakan bahwa pemujaan Guan Yin sesungguhnya berasal dari Maria-nya orang Kristen. Pada jaman dinasti Tang agama Kristen Nostorian memasuki Tiongkok dan mulai berkembang seorang pendetanya, Alopen, tiba di Changan, ibukota kerajaan Tang, pada tahun 635. tiga tahun kemudian dia memperoleh ijin dari kaisar Tai Zong untuk mendirikan kuil disana. Oleh orang Tionghoa, agama Nestorian ini disebut Jing-Jiao.
Ahli-ahli sejarah yang mendukung teori bahwa Guan Yin adalah “pinjaman” dari Marianya agama Jing-Jiao mengatakan bahwa:
- Agama Nestorian memuja Maria seperti kaum Khatolik sekarang. Nestorian mula berkembang pada jaman dinasti Tang, pada jaman sebelumnya tidak ada Guan Yin yang ditampilkan sebagai wanita, barulah sesudah kaum Nestorian memperkenalkan Maria, maka bermunculan Guan Yin yang berbentuk wanita. Memang pada jaman Song (jaman sesudah dinasti Tang) masih ada Guan Yin yang ditampilkan sebagai pria. Ini hanya disebabkan karena penyebaran pemujaan Guan Yin sebagai wanita belum merata.
- Orang Yahudi tidak mengenal perbedaan kasta. Mereka, baik kaya atau miskin sama-sama tidak bersepatu. Dan Guan Yin juga selalu ditampilkan tanpa memakai alas kaki atau sepatu.
- Maria yang dianggap Bunda Suci, sangat menyukai bunga mawar. Oleh kaum Buddhis, mawar kemudian diganti dengan teratai. Sering juga Maria ditampilkan dengan memegang daun palem, yaitu kebiasaan orang yahudi untuk menandai orang yang suka damai. Oleh kaum Buddhis, sebagai ganti daun palem Guan Yin digambarkan membawa cabang Yang Liu (Willow). Meskipun tidak sama, perbedaan ini masih bisa di telusuri asalnya.
- Kaum Nestorian menganggap bahwa Maria mempunyai kekuasaan untuk membuat mukjijat, siapa berdoa memohon kepadanya akan tertolong. Maria dianggap Dewi Welas Asih yang dapat juga memberikan anak pada pemujanya. Pemujaan Guan Yin bagi kaum Buddhis juga mempunyai tujuan seperti itu.
Terhadap pandangan-pandangan ini. Li Sheng Hua tidak dapat menerima, ia berpendapat:
- Kaum Nestorian sebetulnya tidak memuja Maria. Pendiri aliran ini, Nestorian karena menolak penghormatan kepada Bunda Suci Maria, dipecat dari induk agamanya. Pada waktu itu kaum Kristen percaya bahwa Maria melahirkan putra Allah. Hanya aliran Nestorian saja yang tidak menyetujuinya. Mereka hanya mengijinkan menggantungkan gambarnya sebagai tanda penghormatan, tetapi melarang pemujaan patungnya. Perbedaan waktu antara berdirinya aliran Nestorian dan masuknya ke Tiongkok tidak lama. Jadi mustahil kalau penganutnya di Tiongkok melupakan peraturan agamanya yang asli, lalu memuja Maria.
- Kalau dikatakan bahwa karena Guan Yin dilukiskan tidak memakai sepatu, maka ia adalah tiruan dari Maria, pendapat ini salah sama sekali. Penemuan patung dan gambar-gambar Buddha dari jaman sebelum dinasti Tang sudah digambarkan dengan tidak memakai sepatu, jadi jauh sebelum agama Nestorian masuk. Tidak hanya Guan Yin yang telanjang kakinya, Arahat dan Bodhisattva lain juga begitu.
- Sebutan Dewi Welas Asih, pengasih dan penyayang bagi Guan Yin Pu Sa, sudah ada pada kitab suci Fa-yuan-zhu-lin. Dalam kitab suci itu terdapat bagian yang memuat Mantra Pemusnah Karma Jahat menyebutkan Namo Guan She Yin Pu Sa..............maha pengasih dan maha penyayang..............penolong kesusahan dan penolong kesengsaraan............... .” Perlu diketahui bahwa Fa-yuan-zhu-lin ditulis oleh pendeta Dao Shi dari Vihara Ming Si pada jaman permulaan dinasti Tang. Jelas ini belum dipengaruhi oleh ajaran Nestorian yang pada waktu itu belum masuk. Kalau kitan suci ini masih diragukan, masih ada kitab lain yang lebih tua misalnya Fa Hua Jing yang juga memuat Guan Yin Yang Maha Penyayang itu.
- Patung Buddha digambarkan bertangan banyak dan membawa teratai. Teratai adalah lambang kesucian. Buddha Gautama dilahirkanpun dengan menginjak bunga teratai. Sedangkan cabang pohon Yang-liu yang dibawa Guan Yin adalah pengaruh Taoisme. Kaum Taoisme mempunyai kebiasaan menggunakan dahan Yang-liu untuk memercikan air dalam upacara mengusir roh-roh jahat, dan menyembuhkan penyakit. Jadi jelas bukan merupakan tiruan dari daun palem yang dipegang oleh Bunda Maria.
Sedangkan pendapat yang mengatakan Guan Yin berasal dari India, adalah lebih tepat, tapa perlu diragukan lagi keabsahannya. Tapi harus diingat bahwa Guan Yin India yaitu Avalokitesvara, hanya sebagai pendorong permulaan saja. Selanjutnya, baik dalam wujud penampilan dan filsafat pemujaannya, Guan Yin telah sepenuhnya bersifat Tionghoa seratus persen, yang dipengaruhi Taoisme.
Guan Yin dalam sebuah legenda
Seperti Avalokitesvara yang mempunyai tempat suci yaitu di Gunung Potalaka, Tibet, Guan Yin juga memiliki sebuah pulau sebagai tempat bersemayamnya yaitu Pu Tuo Shan. Pu Tuo Shan adalah sebuah pulau kecil, yang terletak disebelah timur kepulauan Zhoushan. Ditengahnya terdapat sebuah bukit yang merupakan bagian tertinggi dari pulau itu, yang disebut Fo Ding Shan atau puncak Buddha. Disini menurut catatan, beberapa kali Guan Yin menempatkan diri dihadapan para pemujanyadan para pendeta suci.
Tercatat pada tahun 916 M, yaitu pada jaman Lima Dinasti, seorang pendeta Jepang Hui E, dalam perjalanan pulang dari Wu Tai Shan, mendarat di Pu Tuo, setelah perahunya terhantam oleh hujan, angin dan gelombang. Di Pu Tuo Shan ini, Hui E lalu mendirikan kuil Buddha. Pada tahun 1214 M, Guan Yin sehubungan dengan beberapa kali penampakkannya. Kelenteng yang terbesar dipulau itu adalah Pu Ji Si. Di kelenteng inilah, seorang pendeta menulis sebuah buku tentang kisah putri Miao Shan, pada tahun 1102. Kisah ini kemudian menjadi legenda tentang asal mula Guan Yin versi Tionghoa. Sebagai imbalan atas usahanya, sang pendeta memperoleh anugerah yaitu dapat menyaksikan penampakan diri Dewi Welas Asih sendiri.
Kitab Miao Shan yang sangat mengharukan itu dimuatkan dalam gulungan kitab pusaka dari Xiangshang yang isinya kira-kira sebagai berikut: pada jaman akhir dinasti Zhou (kira-kira abad 3 SM), disebelah barat gunung semeru, ada sebuah negeri yang disebut Xing-lin, luasnya kira 18.000 Li. Raja negeri ini bernama Po Qie dan memakai gelar Miao Zhuang untuk tahun pemerintahannya. Pada waktu berumur 20 tahun rakyat mendukungnya untuk menjadi raja di negeri itu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama Bao De, umurnya sama dengan Sri Baginda, permaisuri ini sangat membudi dan sangat ramah serta murah hati. Sayang sang raja tidak punya putra, yang ada hanya tiga putri. Putri yang tertua bernama Miao Shu, yang kedua Miao Yin dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah menginjak usia dewasa, raja mencarikan menantu untuk ketiga putrinya itu. Miao Shu memilih seorang pejabat sipil, sedangkan Miao Yin memilih seorang jendral perang sebagai suaminya. Hanyalah Miao Shan seorang yang tidak mau menjatuhkan pilihannya. Malah kemudian ia meninggalkan istana dan pergi ke Ruzhou dan menjadi bhikkhu wanita di kelenteng Bai Que Si. Di dalam kelenteng dan Vihara itu terdapat kira-kira 500 orang bhikkhuni. Kepala Bhikkhu disitu memerintahkan Miao Shan bekerja berat, dibagian dapur. Sebetulnya kepala Bhikkhu ini telah mendapat perintah dari ayah Miao Shan agar membuat putrinya tidak betah untuk hidup di Vihara itu.
Melihat keteguhan hati Miao Shan, Dewa Dapur Zao Jun, lalu membuat laporan kepada Yu Huang Da Di. Yu Di menerima laporan ini segera memerintahkan para malaikat dari lima pegunungan, dan delapan dewa naga, untuk membantu Miao Shan di Vihara Bai Que Si. Kemudian disusulnya perintah raja naga dari lautan timur untuk membuat sumur didapur Vihara itu, dan para binatang liar di pegunungan berdatangan mengantarkan kayu bakar, serta burung-burung membawa sayur mayur. Dengan segala bantuan ini Miao Shan tidak banyak mengalami kesengsaraan.
Raja Miao Zhuang akhirnya mengirim tentara Ke Vihara itu untuk memaksa Miao Shan pulang. Pasukan ini dipimpin oleh raja muda Zhu dan raja muda Ye. Biara Bai Que Si dibakar, Miao Shan lalu berdoa memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa, kemudian ia mencabut tusuk kondenya dan ditusukkan kelidahnya. Darah dari lidah itu disemburkan ke udara, dan tiba-tiba dari angkasa turun hujan yang berwarna merah. Api yang berkobar-kobar menelan biara itu segera padam.
Miao Zhuang, mendengar berita ini, gusar bukan buatan, tentara diperintahkan untuk menangkap Miao Shan dan menyeretnya untuk dihukum mati. Sang Buddha yang mengetahui hal ini lalu memerintahkan pada Tu0di, sang Dewi Bumi, untuk menyelamatkan Miao Shan. Beliau bersabda “tak ada di dunia sebelah barat ini manusia yang sesuci dan sebaik Miao Shan. Besok ketika pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan patahkanlah golok dan tombak para algojo yang dipergunakan untuk membunuh dia. Jagalah agar dia tidak banyak menderita kesakitan. Pada saat kematiannya, rubahlah dirimu menjadi seekor harimau dan bawalah tubuhnya ke suatu Hutan Pinus. Sembunyikan dan masukkan sebutir pil ke dalam mulutnya agar tubuh itu tidak membusuk. Rohnya akan kembali mencari badan kasarnya sesudah selesai perjalanan ke neraka. Setelah itu ia bersemayam di bukit Xiang Shan di pulau Pu Tuo sampai mencapai kesempurnaan”.
Pada waktu pelaksanaan hukuman dijalankan, golok dan tombak para algojo patah ketika menyentuh leher Mia Shan. Lalu leher Miao Shan dijerat dengan tali baja, barulah sang putri tewas. Bersamaan dengan itu mendadak ada seekor macan besar menyerbu masuk dan menggondol tubuh putri yang malang itu, lalu membawanya masuk ke dalam hutan pinus.
Roh Miau Shan di neraka, karena kesucian dan kewelas asihannya, serta ketulusan doanya, menyebabkan tempat yang penuh penderitaan itu berubah menjadi seperti surga. 100.000 roh yang tersiksa memperoleh pengampunan berkat doanya. Akhirnya Yan Luo Wang, penguasa akhirat menyuruhnya kembali kebadan kasarnya, dan hidup kembali. Begitu siuman, O Mi Duo Fo muncul dan menganjurkan dan meneruskan praktek-praktek untuk mencapai kesempurnaan di Xiang Shan kepulauan Pu Tuo. Sebelum pergi O Mi Duo Fo memberinya persik dewa. Dengan makan persik itu, Miao Shan tidak akan lapar dan haus, lebih-lebih lagi ketuaan dan kematian tidak akan menyentuh selama-lamanya. Dengan dihantar oleh harimau jelmaan Dewa Bumi, Miao Shan akhirnya sampai dengan selamat di Pu Tuo Shan.
Sembilan tahun berselang, raja Miao Zhuang menderita penyakit bisul ganas, sudah banyak tabib kenamaan yang dipanggil untuk mengobati tapi tak juga berhasil. Miao Shan, dengan menyamar sebagai seorang pendeta tua, datang menengok. Miao Shan mencukil kedua matanya dan memotong kedua telapak tangannya untuk mengobati ayahnya itu. Setelah penyakitnya sembuh, barulah Miao Zhuang menyadari kebaktian putrinya. Ia lalu mengangkat pengganti dan mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dengan diiringi para menteri dan sanak keluarganya ia pergi ke Xiang Shan, untuk bertobat dan menganut ajaran Buddha.
Sang Buddha kemudian memberi gelar Miao Shan sebagai Qian Shu Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa yang berarti Guan Shi Yin Phu Sa penolong kesukaran dan kesengsaraan yang bermata dan bertangan seribu dan tak ada bandingannya.
Kemudian Yu Huang juga menganugerahi saudara Miao Shan yaitu Miao Shu, sebagai Pu Xian Pu Sa (Po Hian Po Sat-Hokkian), Miao Yin sebagai Wen Shu Pu Sa (Bu Cu Po Sat-Hokkian). Miao Zhuang, sang ayah bersama istrinya Bao De, juga diangkat sebagai Pu Sa. Wen Shu dan Pu Xian sering kali ditempatkan mendampingi Guan Shi Yin diberbagai kelenteng.
Masih ada beberapa versi, seperti yang dimuat dalam kitab Shou-shen-ji (catatan tentang kumpulan para dewa), agak berbeda dengan apa yang ditulis dalam kitab Xiang-shan. Raja Miao Zhuang, misalnya dalam kitab Xiang-Shan dikatakan berperangai halus dan berbudi. Sebaliknya dalam Shou-shen-ji, beliau disebut sebagai berwatak kasar, kejam dan gemar berperang. Tapi secara garis besar, versi-versi yang dimuat dalam beberapa kita, tidak memiliki perbedaan besar dalam kisah keseluruhannya.
Miao Shan Guan Yin ditampilkan dengan keadaan duduk, tangannya dalam sikap meditasi dan membawa mutiara yang menyala. Banyak lukisan atau pahatan yang menampilkan dia sedang duduk diatas batu karang dekat air yang mengalir deras, atau di tengah lautan. Lukisan lain memperlihatkan diasedang membawa gulungan kitab suci yang membawa sutra penerangan hati, atau sebatang pohon Yang Liu untuk memercikkan embun suci (Amrtha) yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit dan mengusir roh-roh jahat. Masih ada bentuk lukisan lain yang menampilkan Guan Yin membawa tasbih mutiara di tangannya, tapi sering juga tasbih itu dibawa di paruh seekor burung kakak tua. Bajunya berwarna putih dan tampak melayang di atas awan, di atas bunga teratai atau di atas kelopak teratai yang terapung dilautan. Lukisannya yang paling terkenal adalah pada waktu ditampilkan bersama dengan pembantunya yaitu Si Anak Merah, Shan Cai, dan Sigadis Naga Long Nu. Shan Cai dengan posisi menyembah dan Long Nu membawa mutiara yang menyala.
Tentang Shan Cai dan Long Nu ini, ada kisahnya tersendiri. Pada waktu Tu Di Gong mengantar Miao Shan ke pulau Pu Tuo, menjaganya selama 9 tahun, sampai akhirnya sang putri mencapai kesempurnaan. Ditentukan hari pelantikan Miao Shan menjadi Pu Sa adalah pada tanggal 19 bulan Imlek. Tu Di menyebarkan banyak undangan untuk menghadiri pelantikan tersebut. Yang diundang antara lain adalah San Guan Da Di, Shi Dian Yan Luo (10 raja akhirat) Ba Xian (8 dewa), Wu Yue Da Di (dewa dari lima pegunungan) dan lain-lain. Pada hari yang telah ditentukan, pada undangan telah berkumpul, Miao Shan duduk di atas singgasana bunga teratai, lalu para dewata itu mengumumkan pelantikan dikalangan keBuddhaan dan wilayah kekuasaannya di langit dan di bumi. Kemudian mereka beranggapan bahwa tidak sepantasnyalah Miao Shan yang sekarang dinamakan Guan Shi Yin berada di Xiang Shan seorang diri tanpa pembantunya. Mereka mengusulkan agar mencarikan dua pembantu, seorang perjaka dan gadis yang bertugas melayani semua keperluannya di tempat itu. Tu Di diserahi tugas untuk menemukan calon yang sesuai.
Dalam perjalanan mencari calon pembantu Guan Yin ini, Tu Di bertemu dengan seorang pendeta muda yang bernama Shan Cai. Setelah kematian kedua orang tuanya, Shan Cai menjadi pertapa di gunung Da Hua Shan, tetapi tapa bimbingan ia merasa sangat sulit untuk mencapai kesempurnaan. Dengan perantara Tu Di akhirnya Shan Cai menghadap Guan Yin. Guan Yin yang masih meragukan kesungguhan hati pemuda ini dan ingin mengujinya. Disuruhnya pemuda itu menempati sebuah puncak di pulau itu, dan menunggu sampai Guan Yin menemukan cara untuk mengatur kesempurnaannya.
Miao Shan kemudian memanggil Tu Di dan meminta agar para dewa yang hadir disitu mau menyamar menjadi bajak-bajak laut yang mengepung gunung itu, membawa obor dan senjata tajam mengancam akan membunuh Guan Yin. “aku akan lari ke puncak dimana Shan Cai sekarang berada dan menguji kesetiaannya”, kata sang dewi.
Tak lama kemudian segerombolan bandit dan bajak laut datang mengepung vihara di Xiang Shan itu. Guan Yin melarikan diri ke puncak, ia terpeleset dan terguling ke dalam jurang. Melihat sang dewi terguling, Shan Cai tanpa ragu-ragu terjun untuk menyelamatkannya. “Anda tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk dirampok mereka, mengapa takut dan terjun ke jurang, sehingga terancam bencana kematian,” tanya Shan Cai. Melihat pemuda itu menangis, Guan Yin berkata “Aku harus tunduk pada kehendak langit.”
Shan Cai dengan segala kepedihan hatinya, berdoa kepada langit dan bumi agar Sang Dewi diselamatkan. “Seharusnya kau tak perlu menunjukkan diri untuk menolong aku dengan penuh resiko. Aku belum menjelmakan kau kembali dan mengantarmu kesempurnaan. Tapi kau adalah anak yang berani, aku sekarang tahu hatimu baik,lihatlah kebawah sana” kata Guan Yin. Shan Cai lalu menoleh “Aku melihat mayat.”
“Ya, itulah badanmu yang lama. Sekarang kau telah dijelmakan kembali, dan kau dapat terbang dan membumbung keangkasa sesuka hatimu!” Guan Yin berkata. Shan Cai membungkukkan badannya tanda terima kasih dan Guan Yin berkata lagi “selanjutnya kau selalu berada disampingku dan berdoa, jangan meninggalkan aku seharipun.” Sejak itulah Shan Cai selalu hadir di sebelah Guan Yin.
Tentang bagaimana Shan Cai menjadi murid Guan Yin, cerita terkenal “Xi You Ji” mempunyai versi yang lain lagi. Dikisahkan dalam perjalanan mengambil kitab suci ke langit barat, pendeta Xuan Zhang bersama ketiga muridnya Sun Wu Kong, si monyet sakti, Zhu Ba Jie siluman babi dan Sha He Shang dicegat oleh siluman yang berwujud anak kecil yang sangat sakti. Ternyata siluman anak kecil itu adalah putera Niu Mo Wang (Gu Mo Ong Hokkian) dan Luo Sa Nu (Lo Sat Li-Hokkian), yang diberi nama Niu Sheng Ying (Gu Seng Eng-Hokkian) alias Hong Hai Er (Ang Hai Ji-Hokkian) atau si anak merah. Si anak merah ini sangat sakti sekali, ia bermaksud menawan pendeta Xuan Zhang untuk disantap dagingnya. Beberapa kali Sun Wu Kong dibuat tidak berdaya oleh semprotan api saktinya. Tapi si monyet sakti tidak kehabisan akal. Ia lalu meminta bantuan Guan Yin Phu Sa untuk menaklukkan Hong Hai Er. Akhirnya Hong Hai Er dapat ditaklukkan dan dibawa pulang ke Pu Tuo Shan untuk menjadi muridnya dan diberi gelar Shan Cai. Versi ini memang berbeda sekali dengan apa yang dituturkan dalam kisah Miao Shan.
Tentang gadis naga Long Nu, dikisahkan sebagai berikut. Dengan kekuatan gaibnya Miao Shan melihat bahwa putra ketiga Long Wang, sang raja naga, sedang menjelma menjadi ikan tambera. Dalam perjalanan melaksanakan tugas ayahnya, tak terduga ikan itu terperangkap dalam jala nelayan, dan diangkat kedarat lalu dijual kepasar. Miao Shan lalu memerintahkan pelayanannya yang setia, Shan Cai untuk membeli ikan itu, yang kemudian di bawa ke Pu Tuo Shan untuk dilepaskan ke laut bebas. Putra ketiga dari sang raja naga sangat berterimakasih atas pertolongan Guan Yin. Sang raja naga dalam terima kasihnya kepada Miao Shan Guan Yin bermaksud menghadiahkan sebutir mutiara yang dapat bersinar diwaktu malam. Long Nu cucu perempuan Long Wang dari pangeran ketiga tersebut memohon ijin untuk menghantarkan hadiah kepada Miao Shan. Dihadapan Miao Shan, Long Nu minta diijinkan untuk belajar ajaran para orang-orang suci dibawah bimbingannya. Setelah mengetahui kesungguhan hatinya, Miao Shan akhirnya menerima Long Nu sebagai murid. Shan Cai memanggilnya kakak. Mereka bersama-sama mendampingi Miao Shan. Sering juga Long Nu ini ditampilkan dalam bentuk naga yang sedang ditunggangi oleh Guan Yin. Oleh Yu Huang Da Di, Shan Cai diberi gelar Jin Tong (Kim Tong-Hokkian) yang berarti “Jejaka Emas” dan Long Nu bergelar Yu Nu (Giok Li-Hokkian) yang berarti “Gadis Kumala”.
Pengaruh Guan Yin dalam semesta
Dalam kalangan sastra rakyat, Guan Yin mempunyai kedudukan yang penting. Di kota Guangzhou misalnya anda dapat memperoleh banyak buku-buku dongeng dan terbitan lain yang memuat syair puji-pujian untuk Guan Yin pada penjual buku kaki lima dengan mudah, seperti “lahirnya Guan Yin” atau “Guan Yin menjelma” dan lain-lain.
Dalam Xi Yuo Ji, novel dongeng yang termasyur itu, anda dapat dengan mudah menemukan peran penting Guan Yin dalam menyelesaikan pertikaian antara Sun Wu Kong, Si Kera Sakti, dengan para siluman yang mencoba mengganggu perjalanannya. Tak ketinggalan novel Feng Shen juga menampilkan Guan Yin dalam versi Taoist dengan nama Zi Hang Dao Ren (Cu Hang To Jin-Hokkian) yang membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya (Kiang Cu Ge-Hokkian) dalam menumbangkan kaisar Zhou Wang yang jahat.
Drama rakyat yang sangat populer yaitu “Kisah Mu Lian menolong ibunya di Neraka,” juga menempatkan Guan Yin pada kedudukan yang paling penting. Drama ini bersumber pada sebuah dongeng yang berkisah seperti di bawah ini:
“Pada saat Mu Lian memperoleh kekuatan, ia dapat mengetahui bahwa roh ibunya di neraka telah terjerumus menjadi setan yang kelaparan, ia lalu mengisi mangkoknya dengan nasi untuk diberikan kepada sang ibu tapi ternyata nasi berubah menjadi api. Melihat usahanya yang sia-sisa, Mu Lian menangis sedih. Ia lalu mengatakan hal ini kepada Sang Buddha, Sang Buddha lalu mengajarkan cara memberikan pertolongan, Mu Lian disuruh menyiapkan makanan yang bermacam-macam dan di tempatkan dalam baskom untuk menjamu para pendeta dari 10 penjuru, selama 75 hari. Dengan berbuat amal begini, dengan sendirinya ibunya terlepas dari segala kesengsaraan ketika menjadi setan kelaparan. Mu Lian sangat bersuka cita. Demikian juga umat manusia di bumi, mereka dengan gembira memuji kejadian ini.
Dari sebuah dongeng pendek, kisah ini dibeberkan menjadi drama yang panjang. Ketika Mu Lian turun ke neraka untuk menolong ibunya, Guan Yin beberapa kali menampakkan diri menolong MU Lian menemukan jalan untuk menuju ketempat ibunya.
Pengaruh Agama Buddha pada sastra Tiongkok yang paling besar adalah Kitab-kitab suci Buddhis. Kitab-kitab suci yang mengisahkan Guan Yin ada beberapa, yaitu kitab dari Xiang Shan (yang kita bahas dalam legenda Guan Yin) kitab suci keranjang ikan, dan kitab suci burung kakak tua, kitab-kitab ini berisikan karya sastra yang tinggi nilainya.
Dalam kitab suci burung kakak tua dikisahkan bagaimana seekor kakak tua menjadi pengikut Guan Yin:
“Adalah seekor burung kakaktua yang sangat berbakti kepada induknya. Suatu ketika induknya yang sakit menginginkan buah Cherry yang ada di tempat sebelah timur, maka terbanglah sang kakatua ke negeri sebelah timur untuk mengambil buah tersebut. Tak terduga ia masuk ke dalam jerat pemburu dan tertangkap. Kepada sang pemburu ia menceritakan hal ihwalnya tapi rupanya sang pemburu tidak perduli. Seorang hartawan tertarik akan burung yang dapat berbicara ini, lalu membelinya, sang burung ditempatkan dalam sangkar, tapi ia terus menasihati sang hartawan agar melepaskannya. Suatu hari Bodhidharma datang dan menyuruh agar dia pura-pura mati. Dalam kesedihannya sang kakatua jatuh pingsan. Guan Yin datang menyadarkan dia dengan memercikkan embun kehidupan dari botol yang dibawanya. Juga ayah ibu kakaktua itu, dibantu untuk melewati karmanya dan menjelma kembali menjadi manusia. Sejak itu kakaktua pergi mengikuti Guan Yin. Dalam gambar sering kita lihat seekor burung yang melayang di atas Guan Yin dan paruhnya mencocok sebuah tasbeh mutiara, inilah sang kakaktua.
Pemujaan Guan Yin
Di atas telah kita singgun sedikit, bahwa pusat pemujaan Guan Yin terletak di Pu Tuo Shan, sebuah pulau kecil di sebelah timur Kabupaten Dinghai, Propinsi Zhejiang. Tiap tahun, terutama pada musim semi dan panas, para peziarah yang berjumlah puluhan ribu berbondong-bondong datang ke sini untuk bersembahyang. Mula-mula pulau ini bernama Hai Qin Shan, nama ini tetap digunakan untuk sebuah bukit kecil yang terletak di bagian selatan pulau ini. “Pu Tuo” adalah sebuah istilah Buddha, yang berarti gunung suci Putoloka di India. Sebelah tenggara gunung ini terletak pulau Srilangka. Menuntun Johnston dalam buku yang berjudul “Buddhist China”, Putoloka adalah puncak bagian barat dari pegunungan Malaya di bagian selatan India. Di Tiongkok ada dua tempat yang dinamakan Pu Tuo Shan. Yang satu adalah yang telah kita bicarakan yaitu sebelah timur propinsi Zhejiang, yang satu lagi terdapat di Tibet.
Jadi Pu Tuo adalah kependekan dari Putoloka, Pu Tuo berarti bunga putih, sedangkan “Loka” berarti gunung. Sebab itu pengarang-pengarang jaman dinasti Yuan menyebut Pu Tuo Shan sebagai Xiao Bai Hua Shan (gunung bunga putih kecil). Konon memang gunung Pu Tuo Shan banyak ditumbuhi oleh bunga putih yang dalam bahasa latin disebut Gardenir Florida. Pendeta-pendeta jaman dinasti Tang, karena melihat bunga-bunga ini lalu memilih gunungnya sebagai pusat pemujaan, ataukah melihat gunungnya lebih dahulu baru kemudian menanam bunganya, sulit diterangkan.
Para pemuja Guan Yin menganggap tanggal 29 bulan 8 Imlek sebagai tanggal perayaan kelahirannya (sebagian ada yang merayakan tanggal 19 bulan 2 Imlek) karena dalam setahun, pada tanggal itulah ombak paling besar, dikaitkan dengan Guan Yin sebagai Dewi Pelindung Lautan. Tetapi kalangan awam cenderung untuk menganggap Guan Yin adalah nama gabungan dari beberapa Guan Yin Pu Sa. Ada Guan Yin Pu Sa sebagai pelindung lautan, Guan Yin Pu Sa sebagai dewi pemberi anak dan lain-lain yang masing-masing dicarikan hari lahir tersendiri. Ini menyebabkan kita sering menemui perayaan hari lahir Guan Yin Pu Sa tidak sama diberbagai tempat dalam setahun, kecuali bulan yang 12 dalam 11 bulan lainnya tentu terdapat hari lahirnya, yang berarti juga hari vegetarian (Ciak Jay), bagi para pemujanya.
Di Gunung Zhou, tanggal 24 bulan 2 Imlek, sering dianggap sebagai hari lahir Guan Yin Pengantar Anak. Pria dan wanita dari berbagai pelosok berkumpul menjadi satu dalam suatu perayaan yang disebut Sheng Cai Hui (perayaan sayur mentah). Para pengikut upacara biasanya datang ke pusat perayaan dengan membeli sayur mentah, dengan harapan memperoleh tuah melahirkan anak, sebab “Sheng Cai” (yang berarti sayur mentah) dan “Sheng Zai” (yang berarti melahirkan anak), punya suara yang mirip. Di tempat perayaan dibuat kolam kecil. Dalam kolam ini sebelumnya telah dimasukkan sejumlah kerang dan keong. Orang-orang yang datang kemari memasukkan tangannya kedalam kolam, kalau yang terambil adalah keong, maka ia boleh berharap memperoleh anak laki-laki, tapi kalau kerang yang terambil, harapannya anak perempuan.
Kebiasaan ini asal usulnya dapat ditelusuri pada masa pemerintahan Kaisar tang Wen Zong (827-840 M). Kaisar Wen Zong gemar sekali akan tiram. Pada suatu hari ia menemukan tiram yang besar, yang kulitnya keras sekali. Setelah berhasil dibuka ternyata didalamnya terdapat patung Guan Yin kecil Kaisar terperanjat, barulah setelah mendengar penjelasan dari para ahli filsafat kerajaan, ia sadar dan menjadi penganut Guan Yin yang tekun, dan banyak mendirikan kelenteng untuk Guan Yin. Pemujaan Guan Yin sejak itu jadi sangat berkembang, Kaisar meninggal tahun 840, dan kelenteng di Pu Tuo Shan selesai didirikan pada tahun 847 M.
Para pemuja Guan Yin berpantang makanan daging sapi, burung udara, udang, ikan yang tidak bersisik, sarang burung (Yan-oh), daging kuda, daging anjing, bulus dan jenis kerang. Harapan mereka yang terbesar adalah dapat melihat wajah Guan Yin. Mereka yang pergi ke Pu Tuo Shan pasti menyempatkan diri memasuki gua dimana Guan Yin pernah menampakkan diri. Ada yang sampai membakar sepuluh jarinnya dengan api lilin, agar bisa meraga sukma dan bertemu dengan sang Dewi. Kebiasaan ini jelas berasal dari India. Konon orang yang melakukan cara itu tidak ada yang tidak berhasil melihat Guan Yin. Meskipun ada variasi diberbagai daerah tentang hari lahir Guan Yin, tapi secara garis besar dapat dikatakan umumnya ada 3 hari besar untuk menghormati Dewi Welas Asih ini. Ke 3 hari besar tersebut adalah:
- tanggal 19 bulan 2 Imlek adalah hari kelahirannya
- tanggal 19 bulan 6 Imlek adalah hari menjadi pendeta
- tanggal 19 bulan 9 Imlek adalah hari memperoleh penerangan sempurna
pada hari-hari ini, para pemuja yang telah merasa pernah memperoleh pertolongan Guan Yin berbondong-bondong memenuhi kelenteng pemujaan Guan Yin, membawa barang persembahan, melepaskan burung-burung dan binatang lain, melakukan pantang makan berjiwa, melaksanakan pembuatan amal dengan berkunjung ke rumah jompo dan rumah penampungan anak cacat dan lain-lain kegiatan sosial dan ritual.
Biasanya ada 5 larangan yang dipatuhi:
- tidak membunuh atau menyiksa makhluk hidup lain
- tidak mencuri atau mengambil yang bukan jadi haknya
- tidak berbuah asusila
- tidak berbohong atau omong kosong
- tidak minum-minuman keras atau barang lainnya.
Biasanya sepanjang hari diisi dengan acara pembacaan kitab suci dan meditasi secara masal, serta perenungan. Yang lebih tekun biasanya melakukan pembacaan paritta dan meditasi untuk kebahagiaan semua umat manusia sampai beberapa hari. Guan Yin tidak hanya dipuja di kelenteng-kelenteng, di daratan Tiongkok, Hongkong dan Taiwan. Seiring dengan menyebarnya orang Tionghoa perantauan di Asia Tenggara, maka di Malaysia, Singapura dan Indonesia juga banyak dijumpai kelenteng yang khusus diperuntukkan Guan Yin. Khusus di Jawa terbesar adalah Kelenteng Dewi Welas Asih di Banten, Jawa Barat. Selain itu, tidak terhitung banyaknya rumah yang memujanya dalam sebuah altar pribadi, baik di kota-kota besar sampai jauh di desa kecil di pegunungan. Dewata lain mungkin dipuja dan dihormati bercampur rasa takut, tapi Guan Yin begitu dekat dihati ia dihormati sekaligus dicintai. Dewata lain mungkin berwajah bengis dan angker. Tapi Guan yin selalu tersenyum lemah lembut dan bersahaja.
Begitu dekat pengaruh Guan Yin dalam masyarakat, sampai-sampai seorang gadis akan sangat bahagia apabila ia disebutkan mirip dengan Guan Yin Hidup. Memang Guan Yin dari dulu sampai sekarang juga dianggap sebagai lambang kecantikan dengan bibir merah, kulit halus, alis lentik dan langkah yang lemah gemulai.
Sebagai garis besar, dikalangan rakyat, Guan Yin dianggap Bodhisattva penolong bagi orang yang sedang dalam kesusahan dan kesengsaraan. Juga dianggap penolong roh-roh yang mengalami penderitaan di neraka, sebab itu ia ditampilkan dalam sembahyang memberi makan roh-roh kelaparan yang jatuh pada bulan 7 Imlek, dengan nama Pu Du Gong (atau tuan yang menolong penyeberangan). Secara umum ia dipanggil Guan Yin Fo Zhu atau Guan Yin Ma dan lain-lainj, sebutan akrab, begitulah kira-kira betapa meresapnya pemujaan Guan Yin dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar