Selasa, 08 Maret 2011

CINTA KASIH


Mungkin sudah terlalu sering kita mendengar kata-kata di atas,baik melalui buku-buku, ceramah, ataupun melalui diskusi Dhamma yang telah dilakukan berkali kali. Melalui tulisannya, Sdri.Dharani mengajak kita agar tetap ingat dan bersemangat untuk menjalankan kebajikan.

Cinta kasih (bahasa Pali: Metta atau bahasa Sansekerta: Maitri) memiliki arti khas; mencakup cinta kasih pada semua makhluk, tanpa kecuali, apakah jauh atau dekat, tampak atau tidak tampak, bahkan kepada musuh sekalipun. Cinta kasih ini begitu universal dan tanpa pamrih, bahkan dikatakan lebih agung dan lebih mulia daripada cinta kasih seorang ibu yang dengan rela mengorbankan jiwanya demi anaknya yang tunggal. Sebagai manusia biasa itu tentu sukar kita bayangkan betapa besar dan bagaimana metta itu dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak kisah-kisah heroik tentang metta ini dalam kitab suci Tripitaka (sutta pitaka). Dikisahkan ketika Sang Bodhisattva terlahir sebagai seekor gajah, beliau melihat ada penggembala yang tersesat disebuah tempat yang gersang, mereka kelihatan sangat lapar dan haus. Sang Bodhisattva mengetahuia bila mereka tidak mendapatkan makanan pada hari ini, mereka pasti akan saling membunuh demi kelangsungan hidup mereka. Dengan kekuatan cinta kasihnya yang begitu besar, Sang Bodhisattva yang terlahir sebagai gajah itu menabrakkan kepalanya pada batu besar hingga mati, di depan mereka, sehingga mereka dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan memakan daging gajah tersebut.

Dalam kitab Jataka, dikisahkan ketika sang Bodhisatva dilahirkan sebagai putra raja. Sang ibu yang sangat menyayangi anaknya begitu memperhatikan bayinya sehingga beliau lupa untuk menghormati suaminya, sang raja, ketika lewat di depannya. Sang raja menjadi amat gusar, sehingga beliau menyuruh pengawalnya membunuh bayi tersebut. Menurutnya, bayi itulah yang menyebabkan istrinya tidak memperhatikan dan menghormatinya lagi. Kayu bakar segera disiapkan untuk membakar bayi tersebut. Tak diperdulikannya permohonan ampun yang telah berkali-kali dilakukan sang permaisuri.

Sang Bodhisattva dengan tenang menghadapi kematiannya. Kepalanya segera menghadap ke arah sang ayah yang pemurka, sebagai tanda penghormatannya. Lalu dalam batin, beliau dengan penuh cinta kasih berdoa, ”semoga ibuku terkasih tak lagi sedih dan berbahagia selalu, semoga ayahku tercinta selalu bahagia. Terimakasih yang tak terhingga untuk ayahku. Semoga dengan ini terbebaslah aku dari karma buruk yang telah kutanamkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, sukar sekali rasanya, dan hampir tak ada makhluk yang bahkan ketika nyawanya hampir tiada, mendoakan, memancarkan cinta kasih dan berterima kasih kepada sang pembunuhnya. Jangankan sampai dibunuh, kaki tak sengaja terinjak pun biasanya kita sudah melolot. Bila disakiti, jangan harap bisa berterima kasih, malah biasanya lalu balas menyakiti. Memang itulah fenomena kehidupan tak dapat disangkal.

Hal itu disebabkan terlalu besarnya ego yang dikembangkan masing-masing individu. Ini milikku, ini kepunyaanku. Milikku tidak boleh dirusak, milikku tidak boleh disakiti, milikku tak boleh berubah, dan milikku tidak boleh lenyap. Pikiran-pikiran semacam ini tertanam dan mendorong seseorang menjadi kecewa, marah, benci, bermusuhan bahkan dendam pada yang lain, jika miliknya diganggu, miliknya dirusak, miliknya disakiti. Lalu cinta kasihnyapun lenyap.

Harus ada kesadaran bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal (Anicca), senantiasa berubah (dukkha), dan tak dapat dimiliki, tak dapat diperintah (anatta). Karena kesemuanya bukan apa-apa, jika seseorang telah menyadari hakikat kehidupan ini, ia takkan pernah merasa sakit atau membenci bilamana disakiti. Bahkan dengan penuh cinta kasih dan tersenyum ia akan berkata ”terima kasih, kawan”, kapada yang menyakitinya. Karena dengan demikian ia telah melunasi satu karma buruknya.

Hidup dengan penuh cinta kasih, saling mengasihi pada semua makhluk niscaya akan dikasihi dan disayangi oleh semua makhluk dan akan selalu berbahagia dan damai. Karena kita bisa menuntut orang lain menyintai kita, tanpa kita cintai mereka terlebih dahulu, harus dicamkan bahwa orang lain dan lingkungan adalah cermin diri kita sendiri. Bila kita tersenyum maka pantulan wajah kita pada cermin pun akan tersenyum. Sebaliknya, bilamana kita marah maka pantulannya pun akan sangat mengerikan.

Sebagai latihan untuk melatih pengembangan cinta kasih ini, seorang bhikkhu menganjurkan untuk selalu berucap dalam pikiran dengan penuh rasa kasih, ”semoga semua makhluk yang berada dalam ruangan ini senantiasa berbahagia, bebas dari penderitaan. Semoga mereka hidup dengan penuh cinta kasih bebas dari kebencian dan semoga mereka pada saatnya dapat mencapai nibhana, setiap kali kita memasuki sebuah ruangan.

Tak dapat disangkal ada kalanya pelaksanaan cinta kasih ini bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan lain. Untuk ini diperlukan kebijaksanaan dalam memilih dan bertindak. Diusahakan seminimal mungkin ada orang (makhluk) yang harus dirugikan atau dikorbankan. Walau sebenarnya adalah sangat menyedihkan bilamana ada yang dirugikan.

Sebagai penutup, berusahalah untuk mengucapkan ”terima kasih” atau ”maaf” tanpa harus merasa rendah diri pada setiap orang yang telah menolong, betapapun kecilnya pertolongan itu. Ucapan yang lemah lembut dan ramah tamah yang didasari cinta kasih adalah ucapan yang paling mungkin diterima untuk membahagiakan orang atau makhluk lain. Demikian juga dengan tindakan dan pikiran.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar