Selasa, 08 Maret 2011

KACCANA


(Unggul dalam menjelaskan Dharma)


Bersaing dengan kakaknya

Kaccana dilahirkan di sebuah dusun di kerajaan Avanti, India Selatan. Sejak muda, Kaccana lebih pintar dari anak-anak lainnya. Ia suka membaca dan dapat berbicara dengan sangat fasih, sehingga ia dikenal walaupun masih muda.

Kaccana sangat terkemuka dalam ilmu pengetahuan di dunia. Kemana pun ia pergi, ia selalu diterima dengan baik dan disanjung oleh semua orang. Kaccana sangat puas dengan dirinya dan selalu ceria dan bersukacita.

Suatu hari, sebuah prasasti kuno digali dari sebuah tanah di dekat Varanasi di kerajaan Avanti. Ada huruf-huruf aneh yang terukir diatas batu tersebut. Tak seorangpun menteri kerajaan yang dapat memecahkan arti huruf-huruf itu.

Sebuah pengumuman dipasang, dengan perintah raja, “Barang siapa yang mampu menjelaskan huruf-huruf di prasasti ini akan dihadiahi 5.000 batang emas.

Kaccana kacana mendengar berita itu. Walaupun ia tidak rakus akan uang, ia ingin menggunakan kesempatan untuk mendapatkan perhatian masyarakat, sehingga diam-diam ia pergi melihat prasasti itu.

Dengan cukup meyakinkan, Kaccana dapat mengartikan huruf-huruf itu. Ia menerjemahkannya kedalam bahasa mereka. Huruf-huruf itu mewakili beberapa pertanyaan sulit:
  1. siapakah yang paling bijaksana?
  2. siapakah orang bodoh itu?
  3. siapakah orang pintar itu?
  4. bagaimana mencapai kebahagiaan yang kekal?

Walaupun Kaccana mampu menterjemahkan huruf-huruf di atas prasasti tersebut, ia tidak mampu memikirkan satu pun jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Karenanya, pengumuman lain dipasang, atas perintah raja. ”Barang siapa yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan dihadiahi 10.000 batang emas.”

Kaccana memiliki harga diri yang tinggi dan tidak ingin mengakui kekalahan. Ia tidak mampu menemukan jawabannya dan ia menjadi sangat risau. Gurunya, Asita, telah memberitahunya bahwa ia adalah yang paling terkemuka dalam ilmu pengetahuan di dunia, jadi ia takut kehilangan muka jika orang lain menemukan jawabannya sebelum dirinya.

Ketika Kaccana memikirkan Asita, tiba-tiba ia juga teringat kata-kata terakhir Asita, ”Pergilah ke Vihara Veluvana untuk menemui Buddha sesegera mungkin. Hanya Buddha yang pantas menjadi gurumu.”

Meminta nasihat Buddha
Kaccana bergegas menuju Vihara Veluvana untuk meminta nasihat Buddha. Buddha menjawab dengan penuh kasih sayang:
  1. Ia yang tercerahkan dengan kebenaran alam semesta dan kehidupan adalah yang paling bijaksana.
  2. Ia yang tidak tahu tentang sebab dan akibat adalah orang yang bodoh
  3. Ia yang memahami arti kehidupan dan hidup bahagia adalah orang yang pintar
  4. Untuk mencapai kebahagiaan kekal, seseorang harus menjalankan Dharma.”

Setelah mendengarkan kata-kata Buddha, Kaccana serta-merta bersujud di tanah. Ia sangat terpesona dengan jawaban-jawaban Buddha.

Unggul dalam menjelaskan Dharma
Kaccana menjadi bhikkhu. Ia berhasil dalam latihannya dan segera mencapai pencerahan. Ia membantu Buddha pergi ke berbagai tempat untuk membabarkan Dharma. Ia dapat berbicara dengan sangat baik. Ia mengajarkan Dharma dengan cara yang sangat hidup dan penuh humor, yang memudahkan pendengarnya untuk memahami Dharma. Oleh karena itu, semua orang memujinya sebagai ”Yang unggul dalam membabarkan Dharma.”

Dibandingkan dengan Punna, yang juga unggul dalam mengajarkan Dharma, Kaccana berbeda dalam satu hal: Punna suka mengajar dalam hadirin yang banyak. Semakin banyak orang yang hadir, semakin semangat ia mengajar. Di lain pihak, Kaccana suka menjelaskan Dharma kepada satu orang pada satu waktu. Percakapan dengan bertatapan muka akan memberikan perasaan hangat dan jika seseorang tidak mengerti hal-hal tertentu, Kaccana dapat menjelaskan berulang-ulang.

Dengan semangat, kehangatan, kebijaksanaan, dan keterampilan berdebat, Kaccana menyakinkan banyak orang dan membantu mereka untuk bernaung pada Buddha.

Membeli kemiskinan dari orang miskin
Suatu ketika, Kaccana melihat seorang wanita menangis di pinggir sungai. Ia mendekati dan bertanya, “Ada apa?”
Wanita itu dengan sedih, “Oh! Saya dilahirkan di keluarga miskin. Kami sulit untuk menghidupi diri kami. Kami juga tidak memiliki baju yang layak untuk dikenakan. Hidup seperti ini sungguh menderita!”

“Tahukah engkau sebab dari kemiskinan?” Kaccana bertanya pada wanita itu.

“Tidak,” jawab wanita itu.

“Biar saya jelaskan!” Kaccana memberitahunya denganpenuh belas kasih. “Kita miskin dalam kehidupan ini karena kita terlalu kikir dalam kehidupan lalu. Kita pernah tidak mau memberi untuk membantu yang lain.”

“Tetapi saya tidak memiliki apapun sekarang yang dapat saya berikan, apa yang harus saya lakukan?” tanya wanita itu.

“Juallah kemiskinanmu kepada saya. Saya akan membeli kemiskinanmu!” Kaccana sama sekali tidak tampak bercanda.

“Bagaimana saya dapat menjual kemiskinan?” tanya wanita itu, dengan wajah penuh keheranan.

“Sini! Gunakan mangkuk saya untuk mengambil air dari sungai untuk saya minum. Dengan melakukan ini, engkau telah melakukan perbuatan memberi. Engkau tidak akan miskin dalam kehidupan mendatang!” Kaccana menjelaskan kepada wanita itu dengan sabar.

“Oh! Saya mengerti!” begitu mendengar hal ini, wanita itu sangat gembira. Ia mengikuti perintah Kaccana. Kemudian ia berkata dengan penuh syukur, “Terima kasih banyak, Sungguh!”

Membantu Raja
Kaccana melakukan perjalanan menyebarkan Dharma. Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan raja dari kerajaan tetangga. Sang Ratu telah meninggal dunia, sehingga raja tenggelam dalam kesedihan sepanjang hari. Raja tidak memperdulikan urusan negara. Raja tidak makan dan minum, dan bahkan dia tidak menguburkan tubuh ratu.

Ketika Kaccana tiba di istana, raja memohon dengan sangat, “Tolong hidupkan kembali isteriku yang telah mati!”

Kaccana mematahkan cabang dari sebuah pohon di halaman istana. Ia bertanya kepada raja, “Cabang ini telah patah. Apakah mungkin ia tidak akan layu dan mengkerut selamanya?”

Raja menjawab, “Tentu saja itu tidak mungkin.”

“Demikian pula, kesadaran telah meninggalkan tubuh, bagaimana mungkin tubuh hidup kembali?” Kaccana melihat raja mulai mengerti, dengan cepat ia melanjutkan, “Yang Mulia, Anda adalah Raja dan Anda adalah milik rakyat, tidak hanya milik ratu. Oleh karena itu, Anda harus mengeringkan air mata. Alihkan cinta Anda kepada ratu menjadi cinta universal bagi segenap rakyat. Anda akan menjadi raja yang baik!”

Kata-kata Kaccana berdampak pada raja yang mendengarkannya, seolah membangunkannya dari mimpi. Ia menguburkan isterinya dan mencurahkan tenaganya ke urusan kerajaan lagi.

Kita seharusnya juga belajar dari kemampuan Kaccana yang istimewa dalam berbicara; penuh daya dalam pengajaran serta pengabdian tanpa pamrih dalam menyebarluaskan Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar