Selasa, 08 Maret 2011

MOGGALLANA


“Kami menghormat seorang bhikkhu yang bertingkah laku seperti Brahma, dapat memandang sekalipun hanya sejenak, matanya cemerlang namun sanggup mencerap, beribu-ribu alam semesta terbayang di depan matanya. Beliau, yang menguasai gejala-gejala rahasia, pun sanggup melihat sepanjang masa, dimana para dewa bangkit lalu sirna habis kembali.” (Theragatha, The Elders No.1181).

Kata Sansekerta Maha mempuyai tiga arti: besar, banyak dan unggul. Maudgalyayana berasal dari bahasa Sansekerta dan berarti “Keturunan keluarga pengumpul buncis.” Namanya juga berarti “Akar Lobak”, sebab para leluhur beliau makan lobak ketika mereka mengembangkan jalan. Beliau juga dinamakan “Kolita” menurut nama pohon dimana ayah dan ibunya berdoa kepada roh penghuni pohon itu untuk memohon seorang putra.

Y.A.Maha Maudgalyayana adalah sahabat dekat Y.A. Sariputra, dan keduanya merupakan siswa utama Sakyamuni Buddha. Y.A.Maha Maudgalyayana menonjol terutama dalam kekuatan daya tembus batiniah. Ketika beliau mencapai tingkat Arahat, beliau memperoleh enam macam daya tembus batiniah: mata surgawi, telinga surgawi, pengetahuan tentang pikiran orang lain, pengetahuan tentang masa lampau, pengakhiran arus keluar dan batin sempurna.

Adapun riwayat hidup Y.A.Maha Maudgalyayana dapat diceritakan sebagai berikut:
1.      Masa Muda
Y.A.Maha Maudgalyayana dilahirkan di sebuah kota kecil di zaman kerajaan Magada (sekarang adalah daerah Bihar, negara bagian India). Beliau merupakan anak tunggal dari keluarga suku Brahmin, nama kecil beliau adalah Kolita Moggalana. Ayahnya terlahir dalam keluarga yang termashyur dan selalu diangkat menjadi walikota. Kolita terdidik di bawah asuhan tradisi Brahmana.
Diceritakan bwaha bertepatan hari kelahiran Kolita terlahir juga bayi laki-laki dari keluarga lain yang diberi nama Upatissa. Kemudian merekapun tumbuh bersama dan menjadi sahabat akrab. Kedua sahabat karib ini dilingkungan pergaulannya menjadi pemimpin dari kelompok teman-temannya.

Suatu ketika Kolita dan Upatissa bersama rekan-rekannya pergi menonton pesta rakyat. Tetapi tontonan yang mereka lihat itu bukan membawa kegembiraan tapi malah menimbulkan kegelisahan dalam diri Kolita dan Upattisa. Keduanya mempertanyakan kegunaan dari pertunjukkan foya-foya tersebut. Kolita berpikir, “waktu yang terpakai untuk berfoya-foya sebaiknya dipergunakan untuk memikirkan bagaimana cara untuk membebaskan diri? Kolita mendiskusikan hal tersebut dengan Upatissa.

Lalu, kedua sahabat itu mengambil keputusan untuk berkelana sebagai musafir dan meninggalkan kehidupan duniawi. Bersama dengan kelompok rekan-rekannya, kedua sahabat itu mencukur jenggot, menanggalkan pakaian Brahmana mereka dan mengenakan jubah kuning. Mereka meninggalkan ciri-ciri kasta mereka dan membaurkan diri dalam pertapaan.

2.      Mencari kebenaran
Tatkala Pangeran Siddharta Gautama merayakan pesta pernikahannya, beliau telah mengambil tindakan untuk keluar dari kehidupan duniawi. Disaat yang sama Kolita dan upatissa meninggalkan rumah tangga dan mencari ketenangan batin bersama kelompok temannya. Mereka mulai mulai melatih diri di bawah bimbingan guru spiritual yang mereka temui. Ada banyak guru dengan pandangan spiritual yang berbeda-beda pada masa itu. Namun variasi ajaran tersebut sejak awal sudah diketahui kehampaannya oleh kedua sahabat itu.

Akan tetapi, terdapat seorang guru di kota Rajagraha yang datang menghimbau mereka. Guru itu bernama Sanjaya. Dibawah pimpinan guru Sanjaya ini kelompok Kolita ditahbiskan. Pada saat itu bagi Kolita dan Upatissa sebelum menemukan guru yang lebih baik, mereka berguru kepada Sanjaya walaupun mereka telah merasa bahwa falsafah Sanjaya hanya berupa taktik mengelak saja. Pada suatu hari Kolitan Upatissa menanyakan ajaran yang lebih tinggi kepada Sanjaya, namun Sanjaya menjawab, “Itu sudah cukup, anda sudah mengetahui ajaran kami”.

Dari kata-kata Sanjaya tersebut, mereka memutuskan untuk mencari lagi ajaran-ajaran yang lebih memuaskan. Dalam pencarian itulah kemudian menuntun kedua sahabat karib itu untuk bertemu dengan ajaran Sang Buddha.

3.      Menemukan sang ajaran
setelah 20 tahun berkelana akhirnya mereka pulang ke kampung halaman di Magada. Bersamaan dengan itu Sang Buddha memutar roda Cakra di Benares. Dengan sama-sama berprinsip tidak berhenti mencari, keduanya sepakat untuk mencarinya secara terpisah. Mereka sepakat apabila ada yang lebih dulu menemukan ajaran kebenaran maka dia harus memberitahukan kepada yang lainnya.

Pada suatu hari Upatissa dengan wajah berseri-seri datang menjumpai Kolita. Dia menceritakan penemuannya yaitu menjumpai pertapa yang bernama Assaji, yang ternyata adalah salah satu dari lima pertapa siswa Sang Buddha yang pertama. Assaji menemukan Upatissa dalam penampilannya. Lalu Assaji menerangkan mengenai gurunya yang bermarga Sakya (Sakyamuni Buddha). Saat Upatissa menanyakan ajaran yang dibabarkan oleh guru Assaji maka dijawab oleh Assaji dalam bentuk syair: “Yang dirahmati telah membabarkan sebab musabab dan timbulnya benda-benda. Dan juga menerangkan proses lenyap sinarnya. Hanya demikian yang dinyatakan Sang Tathagata.” Tatkala mendengar syair itu Upatissa merasakan suatu getaran pencerahan (Mata Waskita Dharma) dan Kolita pun merasakan hal yang sama saat Upatissa mengucapkan syair itu kepadanya.

Dari kejadian itu merekapun menanyakan kepada Assaji dimana Guru Agung itu berdiam dan bergegas menuju ke sana. Tapi sebelum menjumpai Sang Buddha, Upatissa mengajak Kolita terlebih dahulu menjumpai Sanjaya untuk mengajaknya ikut serta. Namun Sanjaya menolak ajaran tersebut karena keakuannya yang besar. Walaupun demikian karena kedua sahabat itu mengikuti Sang Buddha serta merta pengikut Sanjaya yang berjumpa 500 orang mengikuti jejak Upatissa dan Kolita. Namun melihat Sanjaya tidak ikut, sebagian dari mereka mengurungkan niat.

4.      Mempelajari Dharma
saat Sang Buddha membabarkan Dharma di vihara Jetavana, Upatissa dan Kolita beserta rombongan pengikutnya dapat menghampiri. Sat itu Sang Buddha mengatakan “Wahai, para bhiksu kedua pasangan sahabat, Kolita dan upatissa akan menjadi siswa utama kami.” Kedua sahabat itupun lalu bersujud di bawah kedua kaki Sang Guru Junjungan dan mengucapkan permohonan “Okassa” sebanyak 3 kali. Saat itulah Upatissa dan Kolita ditahbiskan dengan nama Sariputra yang berarti “putra ibu sari” yaitu ibunya, sedangkan Kolita diberi nama Maha Moggalana yang berarti tokoh besar keluarga Moggalana.

Dalam proses melatih diri suatu kali pernah terjadi Y.A.Maha Maudgalyayana mengalami rasa kantuk yang berat. Di saat itu Sang Buddha dengan kekuatan gaibnya muncul dihadapan Y.A.Maha Maudgalyayana. Sang Bhagava bertanya, “Moggalana, benarkah mata anda bersimpul?”. “benar, paduka” Maka Sang Bhagava memberi intruksi demikian:
  1. “Baiklah Moggalana, pikiran apa saja yang membuat anda menjadi mengantuk, maka anda harus menanggalkannya dan tidak memperhatikannya. Dengan demikian rasa kantuk anda akan hilang.
  2. Namun jika belum hilang anda harus menerapkan pemantulan terhadap pelajaran yang pernah anda dengarkan. Perhatikan secara tekun dan amati secara cermat.
  3. sekalipun dengan demikian anda masih mengantuk, maka anda harus dengan cara memperinci pelajaran yang pernah anda pelajari.
  4. jika rasa mengantuk belum hilang, anda harus menarik-narik atau menggosok-gosok kedua daun telinga atau anggota badan.
  5. bila tetap belum hilang, anda harus segera bangun dari tempat duduk bersihkan mata dengan air, kemudian pandanglah sekitar anda, pandanglah bintang-bintang di langit.
  6. bila masih mengantuk, maka anda harus memperhatikan pencerapan pada sinar saat siang atau malam hari, lalu dengan batin yang jernih tidak terpudar, lalu dngan batin yang jernih tidak terpudar anda harus mempertimbangkan suatu batin yang penuh dengan kecemerlangan.
  7. bila dengan demikian rasa mengantuk tidak lenyap, maka anda harus mengarahkan pandangan ke dalam dan ke luar batin anda tidak tergoyahkan, anda harus berjalan lalu lalang dengan pencerapan yang tekun. Jika dengan semua itu, rasa kantuk anda masih tetap, anda boleh memperhatikannya dengan ketekunan, bertiduran miring ke kiri dan ke kanan seperti layaknya singa yang sedang beriduran, mengatur tumpuan kaki dengan kaki merenungkan akan saat bangun dan tatkala bangun, anda seharusnya serentak bangun dengan renungan: “Aku tidak seharusnya menikmati kesenangan akan tidur”. “Dengan demikian oh, Moggalana anda harus melatih diri.” (Anguttara Nikaya VII,58).

5.      Kekuatan gaib
dari murid-murid utama Sang Buddha, Y.A.Maha Maudgalyayana terkenal menonjol dalam kekuatan batin. Diceritakan bahwa pertama kali beliau menggunakan kekuatan batinnya adalah pada sat ingin menolong orang tua beliau, terutama ibunya yang terlahir di alam neraka, (Kisah ini ada dalam Ulambana Sutra).

Selain itu banyak lagi kisah-kisah yang menceritakan kemampuan batin Y.A.Maha Maudgalyayana yang luar biasa, seperti pembacaan pikiran lawannya dalam bentuk telepati, menggunakan pendengaran dewa untuk untuk mendengar suatu dari dewa-dewa dan setan, menggunakan mata waskita untuk melihat Sang Buddha membabarkan Dharma dari jarak jauh, berkelana dengan tubuh astral ke alam dewa, neraka, dan berkelana ke alam Buddha yang lain, juga ada kesaktian untuk dapat bergerak super cepat.

6.      Hari-hari terakhir
Dikisahkan bahwa wafatnya kedua sahabat siswa utama Sang Buddha yaitu Sariputra dan Maha Maudgalyayana terjadi setengah tahun sebelum Sang Buddha memasuki maha Parinirvana. Sariputra lebih dulu wafat pada bulan purnama Siddhi bulan Kattika (sekitar Oktober/November).

Adapun kematian Y.A.Maha Maudgalyayana terjadi secara tragis. Dimana diceritakan bahwa pada suatu saat Y.A.Maha Maudgalyayana bertekad untuk tidak mempertahankan hidupnya dengan kekuatan hidupnya. Dan di saat itulah ada segerombolan penjahat yang berniat membunuhnya. Sebelumnya selama enam hari penjahat itu sudah berusaha membunuh Y.A.Maha Maudgalyayana namun tidak berhasil karena dengan kekuatan gaibnya Y.A.Maha Maudgalyayana lenyap. Lenyapnya kekuatan gaib itu juga berhubungan dengan karma masa lampaunya, dimana Y.A.Maha Maudgalyayana pernah berbuat kejahatan yang mengakibatkan ayah dan ibunya wafat. Karma inilah yang terbawa sampai hari itu dimana penjahat itu menganiaya dan membunuh Y.A.Maha Maudgalyayana. Biarpun tubuh beliau hancur, ternyata Y.A.Maha Maudgalyayana masih sempat merangkak menghadap Sang Buddha. Setelah meminta ijin ke guru junjungan barulah Y.A.Maha Maudgalyayana menghembuskan nafasnya yang terakhir.


****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar