Senin, 07 Maret 2011

TILAKKHANA DAN SUNYATA



Nyana Suryanadi Mahathera

  1. TILAKKHANA 
Tilakkhana (Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti corak atau karakter) adalah karakteristik yang melekat pada setiap ke-beradaan. “Karakteristik” menurut Dr.P.D. Santina dalam bukunya Fundamentals of Buddhism, adalah sesuatu yang pasti (tidak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu lainnya. Karena karakteristik pati berhubungan dengan sesuatu, maka karakteristik dapat memberitahu kepada sifat dari sesuatu. Contohnya: panas adalah karakter dari api. Panas bukan krakter dari air. Panas selalu dan tak dapat dihindarkan berhubungan dengan api. Demikian juga dengan Tilakkhana yang merupakan karakter dari setiap keberadaan (eksistensi), mencerminkan sifat yang selalu dapat diketemukan dari setiap keberadaan.  

Tilakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu:
1.      Sabbe sankhara anicca: semua yang bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2.      Sabbe sankhara dukkha: semua yang saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak tidak memuaskan (dukkha)
3.      Sabbhe dhamma anatta: semua yang saling bergantungan (berkondisi) maupun yang tidak salitungan (tidak berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.

1.      Anicca
Penjelasan mengenai Anicca secara jelas dinyatakan dalam sutta berikut ini:
Tidak kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka mengalami kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah kembali. Kebahagiaan muncul bila timbul keseimbangan (Anicca vata sankhara uppada vaya dhammino, uppajjittva nirujjhanti, tesam vupasamo sukho).

Menurut pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul sesaat, tetapi karena mereka berciri muncul (uppada) dan hancur (vaya). Definisi ini kadang-kadang diperluas menjadi tiga tahap: kemunculan (uppada), kehancuran (vaya), dan kemusnahan (thitassa annathatta). Segala sesuatu yang saling bergantungan adalah tidak kekal (sabbe sankhara anicca). Jasmani tidak kekal, semua benda-benda pun juga tidak kekal. Termasuk pikiran juga tidak kekal. Setiap saat berubah, kadang bahagia, di lain saat sedih. Lahir atau muncul, berkembang/berlangsung, hancur, dan mati/musnah; inilah ciri/karakter dari segala sesuatu. Jadi dalam setiap aspek kehidupan, baik itu personal dan material, atau hubungan dengan orang/hal lainnya, atau milik-milik, ketidak-kekalan adalah kenyataan, yang dapat dibuktikan secara langsung. “Dunia berada dalam lingkaran yang terus menerus dan tidak permanen,” demikian Buddha berkata.

Pengertian terhadap ketidak-kekalan adalah penting, tidak hanya bagi pelaksanaan Dhamma tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Pengertian tentang ketidak-kekalan merupakan obat penawar bagi keinginan-keinginan dan kehendak buruk. Hal ini juga merupakan pendorong semangat dalam pelaksanaan Dharma. Dan hal merupakan kunci untuk mengerti sifat paling penting dari segala sesuatu, keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu yang saling bergantungan. Memahami ketidak-kekalan juga merupakan kunci untuk mengerti tentang “tanpa aku” (Annatta), karena mulai melihat bahwa tidak ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri dan segala sesuatu di sekeliling, tidak ada sesuatu yang dapat disebut sebagai “aku”.

2.      Dukkha
Buddha berkata bahwa segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha, dan segala sesuatu yang tidak permanen dan dukkha dalah juga tanpa aku (anatta). Apapun yang tidak permanen adalah dukkha karena ketidak-kekalan adalah salah satu pencetus dukkha. Ketidak-kekalan adalah pencetus dukkha, bukan penyebab dukkha, karena ketidak-kekalan hanya menimbulkan dukkha sepanjang ketidak tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), dan kemelekatan (raga) hadir. Ketidaktahuan mengenai sifat-sifat dari segala sesuatu, serakah dan melekat pada obyek-obyek dengan harapan yang sia-sia bahwa mereka akan kekal (permanen), sehingga mereka dapat memberikan kebahagiaan yang permanen pula. Jadi obyek-obyek yang menyenangkan yang diingini dan melekat padanya itu suatu saat akan berakhir dan musnah, mereka tidak kekal. Ketidak-kekalan merupakan pencetus dari dukkha karena segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha.

Pengertian dukkha secara luas mencakup tiga hal:
1.      Dukkha sebagai penderitaan sebagaimana yang dirasakan. Misalnya :lahir, sakit, tua dan mati, keinginan yang tak terpenuhi, kehilangan orang atau benda yang dicintai, dan lain-lain (dukkha-dukkha).
2.      Dukkha yang timbul akibat perubahan (ketidak kekalan) (viparinama-dukkha).
3.      Dukkha sebagai keadaan yang berkondisi (sankhara dukkha)

Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini seperti kelahiran, usia tua,s akit, mati, dan bertemu dengan orang yang dibenci, kehilangan orang atau benda yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, stress, dan lain-lain, yang semuanya membentuk penderitaan fisik dan mental, termasuk dalam dukkha-dukkha. Pengertian dukkha-dukkha ini adalah pengertian dukkha pada kebenaran mulia yang pertama, bahwa hidup ini adalah penderitaan, baik penderitaan fisik maupun mental. Dan ini mencakup kehidupan di tiga puluh satu alam.

Viparinama-dukkha dan sankhara-dukkha merupakan pengertian dukkha dalam Tilakkhana, sebab dukkha di sini bukan hanya berarti penderitaan, tetapi juga berarti tidak memuaskan, tidak sempurna, tidak kekal, tanpa inti. Dukkha di sini tidak hanya meliputi tiga puluh satu alam kehidupan, tetapi merupakan sifat/karakter dari seluruh keberadaan secara universal (yad aniccam tam dukkham, segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha). Jadi tidak tepat jika pengertian dukkha di sini adalah “penderitaan”.

Pengertaian dukkha-dukkha dalam Tilakkhana yang berhubungan dengan makhluk-makhluk adalah, seperti yang sudah disebutkan di atas, dukkha yang timbul disebabkan karena ketidaktahuan, keinginan-keinginan, dan kemelekatan obyek-obyek yang tidak kekal. Darimana timbulnya ketidak-tahuan, keinginan, dan kemelekatan itu? Tak lain adalah hasil kontak dari indera, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran (Pancakhanda) dengan obyek-obyek eksternal. Buddha pernah bersabda: “Apakah dukkha itu, O, para Bhikkhu? Lima agregat kemelekatan (pancakhanda) inilah dukkha.” Jadi perlu dipahami bahwa pancakhanda dan dukkha bukanlah dua hal yang berbeda. Pancakhanda itu sendiri adalah dukkha. Pancakhanda terdiri dari Agregat materi (rupakhanda), mencakup empat element besar (cattari mahabhutani) yaitu zat padat, cair, panas, dan gerak dan derivatif (turunannya), termasuk enam indera dan obyek-obyek yang berhubungan dengan keenam indera ini; agregat perasaan (vedanakhanda) yang mencakup semua sensasi/perasaan yang timbul dari kontak antara enam idera dengan dunia luar; agregat persepsi (sannakhanda) yang mengenali obyek-obyek apakah bersifat fisik atau mental; agregat bentuk-bentuk mental (sankharakhanda) yang mencakup semua aktifitas kehendak yang baik dan yang buruk. Apa yang secara umum dikenal sebagai kamma berasal dari kelompok ini; dan agregat kesadaran (vinnanakhanda) yang merupakan reaksi atau respon dengan salah satu dari enam indera sebagai basisnya dan salah satu dari fenomena eksternal yang berhubungan dengan indera tersebut sebagai obyeknya.

Apa yang disebut sebagai “Makhluk” atau suatu “individu” atau “aku” hanyalah sekedar nama yang diberikan pada kombinasi dari pancakhanda ini. Semuanya tidak permanen dan terus menerus berubah. Mereka tidak mungkin sama pada dua waktu yang berbeda. Inilah maksud sebenarnya dari Buddha: “Lima kelompok kemelekatan itulah dukkha”, karena mereka senantiasa berubah dalam aliran waktu. Mereka berubah jika kondisi hubungan/kontak antara faktor-faktor internal (enam indera) dengan faktor-faktor eksternal (obyek) juga berubah. Jelaslah tidak mungkin pancakhanda ini konstan untuk dua saat yang berbeda.
3.      Anatta
Konsep anatta (tanpa diri yang kekal) ini sering membingungkan banyak orang. Jika tidak ada “aku”, lalu mengapa selalu berkata “aku berbicara”, “Aku mendengarkan”, “Ini milikku”, dan lain-lain. Dan jika tidak ada aku, lalu siapa yang mengungkapkan, merasakan, dan mengalami akibat-akibat perbuatan baik dan buruk?

Sebelum membahas lebih lanjut, sebaiknya perhatikan kata-kata Buddha (dalam Dhammapada ayat 277, 278, dan 279): “Sabbe sankhara anicca, sabbe sankhara dukkha, sabbe dhamma anatta”. Mengapa pada ayat ketiga ini tidak memakai kata sankhara tetapi memakai Dhamma,  di sinilah letak permasalahan yang terpenting.

Terminologi “Segala sesuatu yang berkondisi” (sankhara) menunjukkan lima agregat kemelekatan (pancaskandha), semua yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu dan keadaan yang relatif, baik fisik maupun mental. Sedangkan terminologi Dhamma mencakup segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi. Jadi jika sankhara hanya menyangkut pada pengertian pancaskandha, maka Dhamma mencakup pula segala sesuatu di luar pancaskandha. Nibbana pun juga termasuk di dalamnya.

Banyak orang yang berat melepaskan konsep tentang adanya “diri”sering memakai kata-kata Buddha kepada Ananda (dalam Mahaparinibbana Sutta) yang mengatakan: “Attadipa viharatha, attasarana anannasarana” (jadilah pulau bagi dirimu sendiri; jadilah kamu pelindung bagi dirimu sendiri, janganlah berlindung pada orang lain) sebagai pegangan. Tidak akan mengerti maksud dari sabda Buddha ini jika tidak mengetahui latar belakang dari kata-kata yang diucapkan beliau, Buddha mengucapkan kata-kata ini untuk menghibur Ananda yang sedang sedih karena ia berpikir bahwa ia akan menjadi kesepian dan kehilangan perlindungan jika Buddha Parinibbana. Buddha, yang mengetahui kesedihan Ananda, berkata dengan penuh welas asih: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dariKu. Aku telah mengajarkan Dharma (kebenaran) tanpa membuat perbedaan ajaran yang eksoterik dan esoterik. Mengenai kebenaran, Tathagata tidak menyembunyikan sesuatu seperti halnya guru yang pelit. Tentu saja, Ananda, jika ada orang yang berpikir bahwa dia akan memimpin sangha, dan bahwa sangha akan bergantung padanya, maka biarkan dia membuat instruksi-instruksi. Tetapi Tathagata tidak mempunyai pemikiran seperti itu. Mengapa ia harus meninggalkan peraturan-peraturan untuk sangha? Saya sudah tua Ananda, delapan puluh tahun. Seperti kereta yang sudah haus karena dipakai terus menerus dan harus senantiasa diperbaiki, demikian pula kau, tubuh Tathagata hanya dapat dipertahankan dengan terus menerus diperbaiki. Karena itu, Ananda, jadilah pulau bagi dirimu, buatlah dirimu, bukan orang lain, sebagai pelindungmu; buatlah Dhamma sebagai pulau bagimu, Dhamma sebagai pelindungmu, jangan berlindung pada yang lainnya.”

Apa yang disampaikan Buddha kepada Ananda sudah jelas. Buddha memberikan kepada Ananda penghiburan, semangat, dan kepercayaan diri, dengan berkata bahwa seseorang harus bergantung pada dirinya sendiri, dan pada Dhamma yang diajarkanNya, dan bukannya pada orang lain atau sesuatu yang lain. Di sini pertanyaan dari atta yang bersifat metafisik, atau “diri”, sama sekali tidak tersinggung.

Selanjutnya Buddha menjelaskan kepada Ananda, bagaimana seseorang dapat menjadi pulau atau pelindung bagi dirinya sendiri, bagaimana seseorang dapat membuat Dhamma sebagai pulau atau pelindungnya; yaitu melalui pengembangan kesadaran (mindfulness) atau kewaspadaan (aware-ness) terhadap tubuh, perasaan, pikiran (mind) dan obyek-obyek pikiran (empat satipatthana). Tidak ada pembicaraan mengenai Atta atau diri.

Bagaimanakah dapat meyakini bahwa tidak ada diri atau atta pada tubuh dan pikiran? Buddha menerapkan analisis berikut terhadap tubuh dan pikiran untuk menunjukkan bahwa diri tidak dapat ditemukan dimanapun juga, baik pada tubuh maupun pada pikiran. Tubuh bukanlah diri. Karena jika tubuh adalah diri, maka diri itu adalah tidak permanen, akan menjadi subyek dari perubahan, pelapukan, kerusakan, dan kematian. Jadi tubuh bukanlah diri. Diri tidak memiliki tubuh, dalam arti seperti saya memiliki televisi, karena diri tidak mengontrol tubuh. Tubuh jatuh sakit, lelah, dan tua di luar kehendak. Tubuh memiliki bentuk yang sering tidak sesuai dengan keinginan. Jadi dengan cara apapun juga tidak dapat dikatakan bahwa diri memiliki tubuh. Diri tidak berada di dalam tubuh. Jika meneliti seluruh tubuh, mulai dari puncak kepala hingga ujung ibu jari kaki, tidak akan bisa menemukan tempat diri itu berada. Diri tidak dapat ditemukan dimanapun juga di dalam tubuh.

Demikian pula, pikiran (mind) bukanlah diri, pikiran merupakan subyek dari perubahan yang terus menerus. Pikiran berbahagia pada suatu saat dan tidak berbahagia pada saat lainnya. Jadi pikiran tidak bisa merupakan diri karena pikiran senantiasa berubah. Diri tidak memiliki pikiran karena pikiran menjadi gembira atau sedih di luar keinginan. Walaupun tahu bahwa beberapa pemikiran tertentu adalah bermanfaat dan pemikiran tertentu lainnya tidak bermanfaat, pikiran mengejar pemikiran yang tidak bermanfaat dan mengabaikan pemikiran yang bermanfaat. Jadi diri tidak memiliki pikiran karena pikiran bertindak bebas/tidak tergantung pada diri. Diri tidak berada dalam pikiran. Tak peduli bagaimana pun telitinya meneliti si pikiran, tak peduli bagaimanapun telitinya meneliti pemikiran, pemikiran, perasaan, ide-ide, tidak akan bisa menemukan diri. Kesimpulannya tetap bahwa diri hanyalah nama yang diberikan bagi sekumpulan faktor-faktor (pancakhanda).

Dunia selalu berubah, satu hal hilang, menyediakan kondisi bagi munculnya hal lainnya. Tidak ada inti yang tidak berubah. Tidak ada yang dapat disebut diri (atta) yang permanen. Semua pasti setuju bahwa baik materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental maupun kesadaran tidak ada yang dapat disebut sebagai diri. Tetapi jika kelima agregat mental dan fisik ini, yang masing-masing saling berhubungan, bekerja sama dalam kombinasi seperti mesin fisio-psikologis, memperoleh ide tentang aku; tetapi ini adalah ide yang salah. Kelima agregat ini, yang secara populer disebut sebagai makhluk atau aku, adalah dukkha (sankhara dukkha). Tidak ada makhluk atau aku lainnya yang berdiri di belakang kelima agregat ini yang mengalami dukkha.

Sekarang timbul pertanyaan klasik: “Jika badan, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental dan kesadaran adalah tanpa diri, terhadap diri yang mana perbuatan yang dikerjakan oleh diri akan berpengaruh?” salah seorang siswa Buddha, yaitu Sati, bersikukuh bahwa kesadaranlah yang berpindah-pindah, dan kesadaranlah yang merasakan dan mengalami akibat-akibat dari perbuatan baik dan buruk. Buddha menjelaskan bahwa kesadaran dinamai sesuai dengan kondisi yang menyebabkan kesadaran itu muncul. Dari mata dan bentuk-bentuk fisik yang terlihat muncullah kesadaran visual, dari telinga dan suara-suara timbullah kesadaran pendengaran, dari pikiran dan obyek-obyek pikiran (ide-ide dan pemikiran-pemikiran) timbullah kesadaran mental dan seterusnya.

Jadi kesadaran hanya muncul selama kondisi indera dan obyek-obyek yang berhubungan dengan indera tersebut hadir. Kesadaran akan berhenti jika kondisi tersebut tidak ada lagi atau berubah; tetapi kesadaran tidak bisa berpindah dari kesadaran visual ke telingan menjadi kesadaran pendengaran, dan sebagainya.

Jadi jelaslah bahwa keberadaan kesadaran ditentukan oleh kondisi dari keberadaan indera berikut dengan obyek-obyeknya; jadi kesadaranpun juga senantiasa berubah-ubah, tidak permanen. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran adalah diri yang kekal.

Lalu, kembali ke pertanyaan semula, siapakah yang menerima akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk (kamma)? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dijelaskan mengenai “Sebab akibat yang saling bergantungan” (paticcasamuppada). Mengenai hal ini akan dijelaskan secara terpisah.

Apa manfaatnya jika memahami tentang Tilakkhana ini? Jika dapat memahami bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, dukkha, tanpa inti/diri yangn kekal, maka dapat menarik dua manfaat:
1.      Akan menjadi manusia yang lebih terbuka dan berbahagia. Karena menyadari bahwa diri sebenarnya tidak ada. Sehinnga tidak secara salah bergantung dan melekat pada diri dan cenderung untuk selalu membuat benteng-benteng pertahanan diri untuk mempertahankan milik, kekayaan, gengsi dan lain-lain. Jika menyadari bahwa diri yang permanen ini sebenarnya tidak ada, bahwa diri sebenarnya hanyalah gabungan dari lima agregat yang selalu berubah-ubah (anicca dan dukkha), maka dapat berhubungan dengan orang lain dan dalam berbagai situasi tanpa rasa was-was, curiga, atau dihantui perasaan buruk lainnya. Bisa menjadi manusia yang bebas dan kreatif. Dan jika mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, akan lebih mampu untuk bertahan, karena tahu bahwa perasaan sedih itu hanyalah bersifat sementara, dan perasaan sedih itu muncul dari interaksi dari salah satu atau beberapa agregat kemelekatan dengan obyek-obyek yang berhubungan.
2.      Pengertian yang sesungguhnya mengenai Tilakkhana ini akan membawa kepada penerangan sempurna, karena hal ini berarti telah berhasil menyingkirkan ketidaktahuan dan penyebab dari semua penderitaan, dan bahwa penolakan atas diri merupakan penyebab dari penghentian penderitaan, maka sudah selayaknyalah berusaha semaksimal mungkin untuk menghapuskan pendapat yang salah tentang diri.  

  1. SUNYATA
Metode filsafat sunyata dipelopori oleh kaum Madyamika yang diwakili oleh Nagarjuna dan Arya Deva pada sekitar abad 1 Masehi. Berdasarkan konsep Anitya Anatma, sunyata menekankan dialeka yang tidak terikat dengan kata-kata, tetapi melihat segala sesuatu dari dua sisi dengan jelas melihat apa adanya di alam fenomena ini.

Penjelasan dari Prof. Dr.Murti dalam buku The Central Philosophy of Buddhism mencatat filsafat sunyata adalah suatu perubahan dari pengertian tentang elemen-elemen menuju ke teori tentang yang absolute. Suatu perubahan dari penganalisaan elemen menuju ke arah kritisme yang dialektik.

Filsafat sunyata oleh kaum Madyamika menjadi suatu sifat yang transenden, sehingga segi-segi Ktuhanan dari Buddhism menjadi jelas. Secara immanent sunyata memiliki sifat maha karuna yang tidak terbatas terhadap semua makhluk. Filsafat ini mencakup pengertian tidak membenarkan seseorang terikat dalam pandangan-pandangan dan teori-teori, tetapi hendaknya menganalisa dan mengobservasi sifat-sifat sebenarnya dari keadaan-keadaan tanpa melekat.

Dialektik sunyata dimaksudkan sebagai alat untuk mengatasi dogmatisme, dan berfungsi sebagai kritik dan teori-teori. Dimana dapat dijelaskan bahwa dialektika itu sendiri merupakan filsafat. Pengetahuan yang tidak mendua (prajna) merupakan situasi yang tidak dapat dikatakan. Tiada sesuatu yang berdiri sebagai lawan dari penandingnya dan sebagai yang absolute. Sesuatu yang absolute atau kenyataan seluruhnya merupakan tanpa pembatasan objek. Naskah Prajnaparamita menjelaskan sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau (gambhira), tidak dapat diukur (Aprameya) dan tidak terbatas (asamkheya). Konsep ini sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Sesuatu yang absolut tidak dapat dikatakan dan diterangkan inilah sunyata. Padanan yang mudah dipahami dari sunyata adalah berdiam atau tidak berbicara. Sesuatu yang absolut terbebas dari konsep-konsep dan di luar jangakuan pikiran. Nirvana dikatakan sebagai sunyata yang berarti leburnya kilesa dan keinginan. Tetapi sunyata maupun yang absolut tetap bereksistensi kendati kilesa-kilesa dan keinginan belum dapat dilenyapkan. Sesuatu yang absolut justru diterangkan dalam Pratitytasamutpada, karena hal tersebut tidak nyata dan tampak.

Sunyata adalah prajna, intuisi, intelektual, dan identik dengan yang absolut. Karuna adalah prinsip yang aktif dari welas asih yang memberikan pengertian konkret mengenai sunyata ke dalam alam fenomena. Apabila sunyata adalah transenden, maka karuna sepenuhnya immanent dan menuju pada alam fenomena. Sunyata adalah sesuatu yang abstrak, dimana tanpa determinasi yang dapat dikatakan, berada di luar dualisme dari baik dan buruk, kasih dan benci, kebijakan dan kezaliman, sedangkan karuna adalah kebaikan, cinta kasih dan tindakan nyata. Sunyata adalah hal yang potensial, sedangkan karuna adalah hal yang aktual.

Nirvana dapat dikatakan sebagai sunyata yang berarti leburnya kilesa dan keinginan-keinginan. Namun yang absolut dan sunyata tetap bereksistensi kendatipun klesa-klesa dan keinginan-keinginan belum dapat dilenyapkan. Hukum sebab akibat (pratityasamutpada) menjelaskan sesuatu yang absolut. Guna mengerti kebenaran dunia ini sebagai alat ukurnya dengan dua kebenaran (satya) yaitu kebenaran umum (samvrti satya) dan kebenaran yang mutlak (paramartha satya). Fenomena alam ini dicirikan sebagai samvrti, karena menutupi keadaan dari benda-benda. Dilihat dari kacamata paramartha satya, kebenaran samvrti satya merupakan pandangan yang keliru dan semu. Nagarjuna berkata, ye neyer na vijanamti vibhagam satyadveyah; te tattvam na vijanamti gambhiram buddhasasaane.” (Madhyamika Karika XXIV). Maksudnya bagi mereka yang tidak menyadari akan perbedaan diantara kedua kebenaran, tidaklah mungkin untuk menyelami hakikat yang dalam dari ajaran Buddha.

Candrakirti memberikan tiga definisi dari kebenaran umum (Samvrti satya):
1.      Secara harafiah yang diartikan bahwa kebenaran umum menutupi seluruh sifat sesungguhnya dari benda-benda, sehingga mereka terwujud.
2.      Yang saling berkaitan dengan benda-benda yaitu kearifannya bila dihubungkan dengan fenomena,
3.      Sifat umum (samvrti satya) seperti apa yang biasanya diterima oleh umum (lokavyavaharah).

Kebenaran absolut (paramartha satya) tidak dapaat diterangkan dengan kata-kata bahasa dan termasuk pada keadaan yang tidak dapat dikatakan. Kebenaran ini hanya dapat direalisasi oleh para arif bijaksana dengan usaha yang tekun. Penjelasan dalam sastra: yah punah paramarthah se’nabhilapyah, anajneyah, aparijneyah, avijneyah, adesitah, aprasitah.  Sesungguhnya paramartha satya tidak dapat dikatakan (Bodicarya Avatara).

Dijelaskan dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra “Duhai Sariputra, dimana terdapat sunyata, disitulah tiada bentuk jasmani (rupa), tiada perasaan (vedana), tiada pencerapan (Sanjna), tiada bentuk-bentuk mental (Sankhara), badan dan batin: tiada bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa, sentuhan-sentuhan bentuk-bentuk pikiran; tiada unsur (dathu) penglihatan dan selanjutnya: tiada kegelapan batin (avidya), tiada kegelapan batin dan seluruhnya, sehingga sampai pada hari tua dan kematian, tiada asal mula derita (dukkha-sanydaya), tiada akhir derita (duhkha-nirodha), tiada jalan (marga), tiada pengetahuan (jnana), tiada pencapaian dan tiada bukan pencapaian.

Kepustakaan:

Dutavira. 1984. Pedoman Penghayatan Agama Buddha Mahayana Indonesia 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Pustaka Suci Mahayana.

Humphreys, Christmas.1983. Buddhism. England: Penguin Book Ltd.

Kalupahana, David J., dan Kandahjaya, Hudaya. 1986. Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis. Jakarta : Erlangga

Rahula, Walpola.1978. What The Buddha Taught. London: The Gordon Fraser Gallery Ltd.

Santina, P.D.1984. Fundamentals Of Buddhism. Singapore: Srilankaramaya Buddhist Temple

Tanpa Penulis.1987. Kitab Suci Agama Buddha. Jakarta : SEKBER PMVBI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar