Rabu, 16 Maret 2011

MENGAPA BINGUNG BERAGAMA BUDDHA


PENDAHULUAN

Buddha Dhamma dijalankan tidak hanya bagi bhikkhu dan bhikkhuni, tetapi juga laki-laki dan wanita sebagai umat awam. Keempatnya merupakan umat Buddha yang memiliki tujuan yang sama, yaitu Nibbana. Untuk selanjutnya, laki-laki dan wanita sebagai umat awam ini kita sebut umat Buddha.

Walaupun nibbana berarti pembebasan terakhir dari keduniawian, dalam menyusuri jalan pembebasan tersebut, seorang umat Buddha haruslah menjalani kehidupan dunia yang bergelut dengan berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini mungkin dirasakan sangat berat sehingga terasa adanya dorongan untuk keluar dari jalan pembebasan ini. Namun demikian, Sang Buddha tidak mengabaikan hal ini. Beliau mengajarkan umat Buddha untuk menjalankan hidupnya dengan aturan-aturan moral di dalam Dhamma tanpa menyimpang dari jalan kebenaran.

Umat Buddha harus selalu waspada sehingga dalam kesenangan-kesenangan duniawi seperti kesehatan, kesuksesan, dan kekayaan, tidak kehilangan penglihatan dalam menempuh jalan pembebasan. Kewaspadaan harus selalu dijaga untuk menghindarkan pelanggaran Pancasila Buddhis. Perlu diketahui bahwa dua dari empat tingkat kesucian dapat dicapai oleh umat perumah tangga, sedangkan tingkat kesucian ketiga dan keempat dapat dicapai dengan hidup membujang (Brahmacari). Hal ini terbukti dalam Tripitaka seperti Anathapindika, Visakha dan orangtua Nakula yang merupakan sebagian contoh umat Buddha perumah tangga. Untuk itulah setiap umat Buddha harus berusaha untuk mengikuti jalan yang akan membawa menuju akhir penderitaan.

Tulisan-tulisan dalam buku ini mengupas berbagai masalah dari kehidupan awam yang membutuhkan perhatian umat Buddha untuk mencapai pembebasan.

Tulisan-tulisan ini diperuntukkan umat Buddha yang hidup dalam dunia yang serba materialistis dan sekuler, yang mengikuti jalan yang diajarkan Sang Buddha, yang berjalan dengan satu kaki menuju Nibbana dan satu kaki lagi tetap di dunia (one foot in the world). Besar harapan tulisan-tulisan ini akan membantu memberikan pengertian dan membantu mengatasi problema hidup sehari-hari.  


II KEBAHAGIAAN UMAT BUDDHA
Hidup di jaman modern berarti hidup dengan banyak problem. Walaupun tingkat kehidupan umumnya meningkat, manusia tetap menderita. Kondisi fisik semakin menurun dan meninggal pada usia relative muda akibat penyakit yang mematikan seperti kanker, jantung, diabetes dan lain-lain. Kondisi mentalpun penuh dengan tekanan-tekanan menjadikan lupa pada relaksasi, bahkan tidurpun akan terasa sangat sulit bila tidak dibantu dengan obat tidur; persahabatan mudah muntur karena seseorang mudah tersinggung, perceraian meningkat, dan masih banyak serentetan problem sosial seperti anak-anak terlantar, kenakalan remaja, bunuh diri dan lain-lain. Dengan demikian hidup menjadi suatu problem dan suatu penyelesaian sangat diperlukan untuk membuat hidup menjadi lebih menyenangkan.

Apa yang Sang Buddha ajarkan merupakan nilai yang yang abadi dengan penerapan yang universal, dan apa yang Sang Buddha ajarkan tidak hanya untuk bhikkhu dan bhikkhuni tapi juga untuk seluruh umat manusia. Sungguh berbahagia bila kita dapat menemukan bahwa ajaran Sang Buddha cocok dengan semua masalah yang ada dalam hidup ini. 

Dalam Pattakamma Vagga kepada Anathapindika tentang 4 macam kebahagiaan yang dapat diperoleh umat Buddha yaitu:
1.     Atthisukha                 : kebahagiaan dalam memiliki harta kekayaan
2.     Bhogasukha              : kebahagiaan dalam menikmati harta kekayaan
3.     Ananasukha              : kebahagiaan karena tidak berhutang
4.     Anavajjasukha           : kebahagiaan karena tidak bersalah

ATTHISUKHA
Manusia tidak hanya harus menghindari perdagangan salah seperti;berdagang daging, minuman keras, racun, senjata, dan perbudakan, tapi ia juga harus mewujudkan sifat baiknya. Apa ada maksudnya? Misalnya, jika seorang dokter jelas merupakan mata pencaharian yang benar, namun ketika menyambut pasien ia berharap bisa mengeruk banyak uang, atau seorang pedagang mengarapkan bencana alam sehingga berasnya akan laku keras. Uang yang dihasilkan dengan cara demikian bukanlah uang halal. Juga seseorang tidak boleh menipu atau mengambil lebih dalam melaksanakan tugas yang dibebankan oleh orang lain. 

Berusaha dengan penuh tanggung jawab, mencari nafkah sendiri, kekayaan yang diperoleh dengan kerja keras inilah yang disebut mencari kekayaan yang halal (dhammika dhammaladdha). Seseorang dapat mempunyai kekayaan yang banyak, tetapi jika ia tidak memiliki sifat rasa puas dengan apa yang dimiliki, maka ia tidak dapat menikmati atthisukha. Menimbun kekayaan oleh orang seperti ini ibarat mengisi wadah tanpa dasar. Ini adalah salah satu penyakit merajalela yang dapat menjadi sumber ketidakbahagiaan, malah menjadi sumber kegelisahan. Penimbunan kekayaan seperti ini membuat orang jahat menjadi iri hati sehingga dapat terjadi pemerasan. Tetapi jika seseorang memiliki pandangan yang benar dalam mencari nafkah dan bersikap yang benar dalam menghadapi kekayaan, ia dapat keluar dari berbagai bahaya yang diakibatkan oleh kekayaan tersebut yang banyak terjadi dalam masyarakat modern seperti sekarang. Jadi atthisukha mengandung unsur menikmati harta yang halal, merasa puas dengan harta yang dimiliki, dan bersikap benar dalam menggunakan kekayaan. 

BHOGASUKHA
Kekayaan hanya mempunyai manfaat sebagai penolong dan menikmati kekayaan adalah suatu seni. Buddha Dhamma menentang pemborosan dan kekikiran. Menikmati kekayaan bukan berarti mengejar kesenangan duniawi karena sebenarnya hal demikian bukan membuat kita senang melainkan menderita. Misalnya seseorang terlalu menuruti nafsu terhadap makanan hanya karena ia merasa mampu, maka dengan cepat ia akan terserang penyakit liver, tekanan darah tinggi, diabetes. Atau menanamkan kebiasaan-kebiasaan buruk, misalnya merokok dan minum alkohol. Apa akibatnya? Orang-orang yang melakukan ini ibarat “memotong leher dengan mulut sendiri”. Menganggap tubuh ini sebagai sesuatu untuk bersenang-senang, mereka menggunakannya hingga lelah dan mengurasnya dengan cepat untuk menikmati kesenangan. Akibatnya, seperti semut yang terjatuh ke dalam gelas penuh berisi madu, ia bisa menikmati sepuasnya namun ia juga akan mati karenanya. 

Jadi tidak memboroskan kekayaan untuk hal yang “membunuh” adalah salah satu seni bhogasukha. Aspek lain dari menikmati kekayaan adalah seni berbagi. Dengan tidak menjadi seorang adinnapubbaka (si kikir) seseorang belajar untuk membagikan kekayaannya tanpa pamrih, ia akan mendapatkan pengalaman mulia, berbahagia atas kegembiraan orang lain. Pada saat yang sama ia akan menghasilkn cinta kasih dan itikad baik terhadap orang lain. Suatu Metta, suatu Mudita.

ANANASUKHA
Secara ekonomi, jika seseorang bebas dari hutang, ia adalah orang yang beruntung. Agar terbebas dari hutang seseorang harus melaksanakan tugas dengan baik. Demikian pula dalam Buddha Dhamma, orang yang tidak berhutang seharusnya dapat melakukan tugasnya dengan lebih baik, disamping itu ia juga dapat melakukan perbuatan baik yang lebih banyak, misalnya berdana. Bagaimana mungkin orang yang berhutang rajin berdana? Seorang pencari nafkah harus melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya karena sebetulnya ia berhutang kepada gaji yang ia dapatkan. 

ANAVAJJASUKHA
ini adalah kebahagiaan yang tertinggi. Setiap masyarakat mempunyai nilai moral. Dalam agama Buddha nilai moral yang paling sederhana adalah Pancasila, yaitu; menghindari pembunuhan, pencurian, perzinahan, kebohongan dan minuman keras. Jika seseorang melatih ini, ia akan memperoleh kepuasan dalam menjalani sebagian besar hidupnya. Menahan diri untuk berbuat sesuatu terhadap orang lain yang ia tidak ingin orang lain melakukannya terhadap dirinya adalah prinsip dasar yang melandasi kebajikan ini. Buddha Dhamma mengajarkan hiri dan ottapa, rasa malu dan takut untuk berbuat jahat, ini adalah nilai dasar yang membedakan manusia dengan binatang. Tidak seperti binatang, manusia mempunyai hati nurani yang membuatnya berpikir apabila berbuat salah. 

Buddha Dhamma juga mengajarkan untuk menghindari keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Mengapa sikap mental seperti ini merupakan sumber ketidakbahagiaan/ ambil contoh kasus orang yang sedang marah. Apa gejala orang marah? Bernafas dengan cepat, detak jantung semakin cepat, sirkulasi darah lebih cepat, merasa panas, berkeringat, gelisah dan lain-lain. Ini adalah gejala fisik akibat marah. Ini adalah suatu penderitaan fisik. Khalayak menyebutnya “terbakar kemarahan”. Suatu hal yang mustahil seseorang yang dalam keadaan marah dapat merasa gembira dan tertawa pada saat itu. Jadi orang yang cepat marah adalah orang yang menyedihkan. Penanaman sifat-sifat mulia seperti cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin akan menciptakan kehidupan yang bahagia. Orang yang hidup dengan sikap seperti ini adalah orang yang ramah dan menyenangkan yang selalu berbahagia baik sendiri maupun dengan orang lain. 

Jika kita sungguh-sungguh memahami arti dari keempat macam kebahagiaan yang diuraikan di atas, dan mempraktekkannya kedalam sikap kita, hidup ini akan lebih menyenangkan, bahkan pada jaman modern seperti sekarang ini.

III KETERIKATAN DAN PENDERITAAN
Sering buku-buku agama Buddha menuliskan bahwa manusia selalu terikat dengan penderitaan. Banyak istilah pali digunakan untuk menggambarkan kondisi yang menyedihkan ini, seperti samyojana, bandha, dan pasa, yang masing-masing berarti mengikat, membelenggu dan menjerat. Apa maksudnya terikat? Apa maksudnya penderitaan? Suatu sutta dalam ungkapan sederhana menggambarkan bagaimana manusia dibelenggu oleh penderitaan. Sapi hitam dan sapi putih diikat bersama-sama dengan tali yang sama. Pada keadaan ini tidak bisa dikatakan sapi hitam membelenggu sapi putih, atau sapi putih membelenggu sapi hitam. 

Sesungguhnya, tali yang membelenggu. Demikian pula dunia tidak membelenggu manusia. Nafsulah yang mengikat manusia dengan dunia. Nafsu adalah tali yang sangat kuat yang merantai manusia dengan dunia, akibatnya terjadi proses kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Belenggu yang sangat kuat ini timbul dari enam indera, yaitu mata, telinga, hidung, mulut, badan dan pikiran. Yang terakhir dikenal dalam bahasa pali sebagai mano, yang merupakan pusat dari semua indera di atas.

Indra berarti raja, maka keenam indera di atas bertindak sebagai raja dan kita sebagai budaknya. Melalui perasaan, mata angin melihat bentuk yang menyenangkan walaupun harus menghabiskan banyak waktu, tenaga dan uang untuk menikmati obyek tersebut; telinga ingin mendengar suara yang menyenangkan, jika dipuji merasa sangat senang namun jika dicela akan menjadi sangat marah; hidung ingin mencium bau yang menyenangkan, perasaan senang atau tidak senang dipengaruhi oleh bau yang diciumnya; mulut ingin menikmati rasa yang enak, senang makan makanan enak walaupun makanan itu dapat merusak tubuh; badan ingin merasakan kondisi yang menyenangkan, mengumbar nafsu seks walaupun beresiko sangat tinggi, AIDS misalnya; dan pikiran yang terikat dengan keseralahan dan kebencian menimbulkan perasaab suka dan tidak suka. 

Chappana Sutta dari Samyutta Nikaya menggambarkan enam indera dengan enam hewan yang memiliki enam kebiasaan dan tempat hidup yang berbeda, terkait oleh tali yang kuat. Keenam hewan itu adalah buaya yang mencoba lari ke air, burung yang coba terbang ke udara, anjing yang mencoba lari ke pemukiman penduduk, srigala ke kuburan, monyet ke hutan, dan ular masuk ke semak. Keenam hewan ini terus menerus berjuang untuk mencapai tujuannya. Demikian pula enam indera terus menerus mencari kepuasan masing-masing, dan manusia yang tidak kendali menggunakan inderanya dengan cara yang sangat keliru. Keadaan menyedihkan pada manusia modern dapat diibaratkan seekor semut yang jatuh ke dalam mangkuk berisi madu, tenggelam dan binasa dalam kesenangan yang ia nikmati. 

Mari kita lihat contoh-contoh bagaimana indera memperbudak kita. Andaikan kita melihat objek menjijikkan sesaat sebelum atau pada saat kita makan, perasaan tidak suka muncul dengan kuat untuk menolak apa yang akan kita makan walaupun itu makanan yang paling enak. Jika kita melihat cacing dalam sayur buncis, rasa jijik akan muncul bahkan mungkin membuat kita berhenti makan setiap kali melihat buncis. Mari kita ambil contoh lain yang berhubungan dengan pendengaran. Jika seseorang memaki kita didepan umum, tentu kita akan sangat marah. Kejadian ini akan disimpan dalam pikiran. Jika kita mengingatnya akan timbul perasaan tidak suka berupa marah atau benci. 

Peristiwa dan obyek yang lalu sudah lewat dan berganti, tapi kita menjadi terikat dengannya. Pada saat keterikatan terbentuk inilah penderitaan yang datang. Kita juga terjebak pada kesenangan terhadap obyek karena 3 sikap:
  •  Merasa bahwa kita memiliki kesenangan indera yang lebih besar daripada orang lain, kita membanggakan rasa tinggi hati (seyyamana)
  • Merasa bahwa kita memiliki kesenangan indera  yang sama dengan orang lain, kita mengembangkan rasa sederajat (sadisamana).
  • Merasa bahwa kita lebih tidak beruntung daripada orang lain dalam hal kesenangan indera, kita mengembangkan rasa rendah diri (hinamana).
Jadi dengan menggunakan ukuran kesenangan indera untuk mengukur keadaan, kita akan menjadi lebih egosentris dan menderita. Oleh karena itulah Sang Buddha menyebut kesenangan indera sebagai “Perangkap Mara”.

Sebuah sutta dalam Salayatana Samyutta menerangkan situasi dari sudut yang berbeda. Ketika pikiran tidak terkendali, perasaan berendam dalam kesenangan obyek indera. Dalam pikiran seperti ini ditemukan pamojja (kesenangan dalam pengejaran nilai spiritual) yang dapat meningkatkan kesadaran. Ketika pamojja atau pengejaran nilai spiritual ini hilang, piti (kebahagiaan hasil pamojja) juga hilang. Piti hilang, tidak ada lagi pasaddhi (ketenangan fisik dan mental). Ia yang tidak tenang, hidup dalam tekanan, keputus-asaan, dan kesengsaraan. Inilah yang dalam bahasa pali disebut dukkha (penderitaan). Jadi penderitaanditemukan dalam indera yang lengah. 

Melihat masalah ini dari sudut yang lain, Salayatana Samyuta menelusuri asal usul dunia dari pengalaman indera. Adanya indera dan objeknya menimbulkan kesadaran. Gabungan tiga factor (indera, objek dan kesadaran) disebut kontak (phassa). Kontak menimbulkan perasaan (phassapaccaya vedana). Perasaan member kesempatan kepada keinginan (vedana paccaya tanha) seperti kecenderungan kita untuk lebih dan lebih memuaskan perasaan senang. Keinginan menimbulkan kemelekatan (tanhapaccaya upadanam), pada saat kita mencoba untuk memiliki objek. Kemelekatan menyebabkan timbulnya watak (upadanapaccaya bhavo), yang nantinya menyebabkan kelahiran (jati), kelahiran akan membawa sakit, usia tua, mati dukacita dan sebagainya. Inilah yang disebut munculnya dunia. Jadi kita membentuk dunia melalui indera kita. 

Tulisan-tulisan ini memberikan gambaran bahwa kita terperangkap dalam samsara akibat indera kita. Keterikatan dan penderitaan sebanding dengan kita membiarkan indera menguasai kita. Jika kita ingin kebebasan dan kebahagiaan kita harus menaklukkan indera dan membuat mereka menjadi pelayan kita. 

IV MEMAHAMI DAN MENGENDALIKAN STRES
Stress adalah istilah yang diambil dari ilmu teknik yang berarti tekanan, yaitu gaya yang dikerjakan pada suatu bidang. Banyaknya gaya yang dilakukan pada manusia dalam abad modern ini, menimbulkan tekanan yang banyak pula. Sehingga stress dikenal dengan penyakit “penyakit modern”. Philip Zimbardo dalam Psychology tekanan yang muncul dari lingkungan yaitu:
1.     Tingkat emosional
Reaksi yang timbul berupa kesedihan, depresi, kemarahan, kejengkelan, dan frustasi
2.     Tingkat tingkah laku
Reaksi yang timbul berupa konsentrasi lemah, kelalaian, hubungan antara individu yang kurang baik, dan produktivitas rendah.
3.     Tingkat psikologis
Reaksi psikologis adalah yang mengandung tekanan-tekanan dalam tubuh seperti sakit kepala, sakit punggung, perut bisul, tekanan darah tinggi, dan bahkan penyakit yang mematikan.
4.     Tingkat kognitif
Pada tingkat ini, seseorang mungkin kehilangan rasa harga diri dan rasa percaya diri yang akan membawa pada keadaan tidak berdaya dan keputus-asaan. Yang paling buruk bagi orang ini adalah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. 

Untuk memahami stress mari kita tinjau faktor lingkungan yang beragam yang menimbulkan tekanan pada manusia di jaman modern ini. Dalam era atom ini, kelangsungan hidup umat manusia terancam. Perang nuklir mengancam setiap makhluk di bumi, tidak terkecuali ia hidup di negara yang mempunyai senjata nuklir atau tidak. Ledakan penduduk mengancam manusia dengan berkuranganya pangan, bahkan pada saat ini banyak engara yang dilanda kelaparan. Polusi lingkungan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan mental dan fisik. Pengangguran pada orang-orang yang terlatih merupakan masalah besar. Langkah kehidupan menjadi begitu rumit yang memungkinkan manusia dengan mudah menjadi sangat sibuk dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain tanpa diselingi istirahat. Persaingan dalam pendidikan dan pekerjaan menjadi kian hebat. Pusat-pusat hiburan untuk memuaskan kesenangan indera menjamur dan sangat mengusik. Rangsangan terus menerus terhadap indera ini menjadi suatu kebutuhan; radio saku dengan earphone, mengunyah permen karet, dan kosmetik ada dimana-mana. Rangsangan terhadap indriya berlangsung tanpa kendali namun kejenuhan adalah jauh dari yang diharapkan, ibarat meminum air garam untuk menghilangkan dahaga. Tidak anek jika manusia-manusia dalam semua kondisi di atas hidupnya tidak terlepas dari ketegangan. Ini adalah situasi yang oleh agama Buddha digambarkan sebagai “dalam kekacauan ataupun tanpa kekacauan, orang terjerat dalam kekacauan.” 

Sementara pengamatan di atas dilakukan dari sudut pandang pendidikan modern dan kondisi jaman sekarang, agama Buddha membuat pengamatan sendiri. Manusia mengalami stres dan penderitaan karena lima keadaan psikologis yang menyelimuti seluruh kepribadiannya, yang disebut sebagai nivarana yang berarti rintangan. Kelima rintangan ini ialah nafsu indera, kemarahan, kemalasan, kegelisahan dan keragu-raguan. Kelimanya merintangi kebahagiaan dan menutupi pandangan manusia terhadap dirinya sendiri, lingkungannya, dan interaksinya. Makin kuat rintangan ini, makin besar penderitaan dan stres akan dialami. 

Makin tipis rintangan ini, makin sedikit penderitaan dan makin besar kebahagiaan yang diperoleh. Tripitaka menggambarkan pengaruh rintangan-rintangan ini dengan lima perumpamaan yang mengesankan. Pikiran yang dikuasai oleh nafsu untuk kesenangan indriya diibaratkan air yang diwarnai sehingga mencegah pemantulan sejati dari benda yang berada di atas air. Orang yang terganggu dengan nafsu kesenangan indriya tidak bisa mendapat pandangan sejati terhadap dirinya, orang lain atau lingkungannya. Pikiran yang terkuasai kemarahan ibarat air mendidih sehingga tidak dapat memberikan pantulan yang sempurna dari benda di atasnya. Orang yang dikuasai amarah tidak dapat melihat persoalan dengan baik. Bila pikiran di cengkram kemalasan ibarat lumut yang memenuhi air sehingga cahaya tak dapat mencapai air apalagi memantulkannya. Orang malas tidak melakukan usaha apapun. Bila gelisah pikiran seperti angin yang memutar air, yang juga akan gagal untuk memberikan pantulan yang sempurna. Orang yang gelisah senantiasa resah, tidak bisa menilai satu persoalan dengan tepat. Bila pikiran diliputi keragu-raguan ibarat air yang keruh berada di tempat gelap sehingga tidak dapat memantulkan bayangan dengan baik. Jadi kelima rintangan ini menutupi pikiran dari pengertian dan kebahagiaan, menyebabkan stres dan penderitaan. 

Untuk menghilangkan stres, Buddha Dhamma mengajarkan cara untuk mengatasinya yaitu:
1.     Menjalankan Pancasila
Terdiri dari penghindaran diri dari pembunuhan, pencurian, hubungan seks yang salah, kebohongan dan ketagihan. Stres sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan salah ini, dan dengan menjalankan Pancasila akan sangat menolong manusia untuk membebaskan hati nuraninya dan perasaan yang bersalah. Dhammapada mengatakan pelaku kejahatan menderita sekarang dan kemudian; dengan kata lain, orang yang melakukan kebajikan berbahagia sekarang dan kemudian. Dapat disimpulkan disini bahwa kejahatan mengakibatkan stres sedangkan kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Sebagai tambahan dilakukan juga athasila secara berkala. Aturan-aturan tambahan ini melatih manusia untuk menjalani pemenuhan kebutuhan hidup yang sederhana untuk mengatasi keserakahan. Kehidupan sederhana dengan sedikit keinginan dan mudah terpuaskan sangat dijunjung dalam agama Buddha. Sikap kikir dan serakahlah yang bertanggung jawab atas terjadinya stres.

2.     Latihan mengendalikan indera
Indera yang tidak terkendali menyebabkan ketegangan. Apa yang dimaksud dengan indera yang tidak terkendali? Bila seseorang melihat suatu bentuk yang indah dengan matanya, ia akan tertarik padanya; bila melihat bentuk yang tidak menyenangkan, ia akan berusaha menghindarinya. Demikian pula dengan indera yang lain. Jadi orang yang tidak mengendalikan pikirannya akan terpengaruh perasaan tertarik atau menghidar dari obyek. Bila yang muncul adalah obyek yang tidak menyenangkan, timbul rasa tidak suka, yang mengakibatkan kita menjadi gelisah dan tertekan.

Indera kita memiliki fungsi dan obyek yang berbeda, dan karena masing-masing indera merupakan raja bagi fungsinya itu. Indera mempengaruhi manusia, maka disebut indriya, yang dalam bahasa pali berarti raja. Jika kita mengijinkan indera berkuasa, kita akan mengalami kegelisahan yang amat sangat. Jika kita berusaha mengendalikan indera, kita akan mengalami kesenangan yang tiada bandingnya (avyaseka-sukha), disebut demikian karena kesenangan ini tidak terkotori oleh nafsu. Atau disebut juga adhicittasukha, yang berarti kebahagiaan spiritual. Kalau kesenangan indera meimbulkan stress, sebaliknya kebahagiaan spiritual ini menghilangkan stres  dan menimbulkan kedamaian pikiran dan kepuasan batin.

3.     Penanaman kebiasaan mental yang bermanfaat melalui meditasi (Bhavana)
Seperti kita merawat badan kita dengan cukup makan dan kebersihan diri, pikiran juga membutuhkan makanan rohani. Pikiran pun sangat mudah berubah dalam kondisi yang tidak terlatih, tapi setelah dijinakkan dan dibuat lebih stabil ia akan member kebahagiaan yang luar biasa. Meditasi dalam agama Buddha terdiri dari dua macam, samatha dan vipassana (ketenangan dan pandangan terang). Yang pertama adalah metoda untuk menenangkan pikiran, sedangkan yang terakhir adalah metoda untuk memahami keadaan jasmani dan rohani. Kedua metoda ini sangat membantu dalam mengatasi stres. Seseorang yang melatih meditasi memperoleh pengertian yang benar tentang kebahagiaan yang berarti juga lepasnya beban yang menghimpit.

Samannaphala Sutta menggambarkan hilangnya stres dan munculnya kebahagiaan melalui meditasi dengan lima perumpamaan, yaitu:
1.     Seorang pengusaha setelah dililit hutang berhasil bangkit dan sukses menjalankan usahanya. Orang seperti ini mengalami perasaan yang bahagia dan terlepas dari himpitan.
2.     Seorang yang sembuh dari penyakit kronis yang panjang. Setelah ia sembuh, makanan terasa sangat enak dan ia memperoleh kekuatan fisik. Sangat besar kebahagiaan yang dirasakan orang ini.
3.     Seorang narapidana yang dibebaskan dari masa kurungan yang sangat lama. Kebebasan yang menimbulkan kebahagiaan.
4.     Seorang budak yang bebas dari siksaan perbudakan. Kebahagiaan ini karena terlepas dari penderitaan.
5.     Seorang saudagar yang tersesat di gurun yang mengerikan tanpa makanan dan minuman. Setelah akhirnya mencapai tempat yang aman, ia mengalami kebahagiaan yang besar dan terlepas dari rasa takut.
Kegembiraan timbul dari dari orang-orang dalam perumpamaan di atas manakala himpitan terlepas. Demikian pula stres dapat dilepaskan dan kebahagiaan diperoleh dengan melatih meditasi. Tapi sebagai langkah awalnya sekurang-kurangnya Pancasila harus dijalankan terlebih dahulu.
Penanaman sifat-sifat mulia ini seperti cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha) juga suatu cara menaklukkan stress. Ketegangan hubungan antar pribadi adalah salah satu sebab munculnya stres dalam rumah tangga dan di lingkungan masyarakat. Cinta kasih adalah sikap yang harus ditanamkan untuk membina hubungan yang baik. Belas kasihan adalah sifat yang juga menanggulangi stres. Simpati adalah perasaan yang senang melihat orang lain bahagia. Sulit menemukan orang seperti ini, yang biasanya orang iri atas kebahagiaan orang lain. Dimana ada iri hati makan tidak akan ada persatuan, dan dimana tidak ada persatuan tidak akan ada kemajuan. Penanaman sifat ini akan memberikan kemajuan material dan spiritual. Keseimbangan batin adalah sifat yang diambil untuk menghadapi kehidupan yang selalu berubah. Ada delapan segi kehidupan dari dunia yang harus kita hadapi dalam hidup ini, yaitu untung dan rugi, hina dan mulia, dipuji dan dicela, sedih dan girang. Jika seseorang melatih dirinya untuk menjaga keseimbangan batinnya tanpa ada kesal atau gembira dalam menghadapi setiap perubahan, seseorang akan dapat mencegah stres datang dan akan mendapatkan kehidupan yang damai.
Kita tidak dapat merubah dunia agar kita bahagia, tapi kita yang harus merubah sikap kita terhadap dunia sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling kita yang menyebabkan stres. Dan agama Buddha mengajarkannya….!!!     

V PERSEMBAHAN DAN PENGHORMATAN
Saat ini dikenal berbagai jenis penganugrahan kehormatan terhadap orang-orang yang dinilai masyarakat patut menerimanya. Hadiah Nobel dianggap sebagai salah satu penghormatan tertinggi, selain itu masih banyak lagi hadiah lain serta gelar kehormatan yang dianugerahkan setiap periode tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan publikasi melalui berbagai media, surat kabar – TV. Dalam dunia pendidikan, ucapan selamat, peringatan, dan penghargaan atas keberhasilan meraih gelar kesarjanaana adalah cara yang biasa dilakukan untuk menghargai keberhasilan akademik. Dalam kehidupan masyarakat kita terlibat dalam berbagai jenis sarana untuk menyatakan penghargaan dan penghormatan. Sering kita cenderung menonjolkan kebanggaan diri yang berlebihan. Karena penghormatan dan penghargaan telah menjadi fenomena penting dalam kehidupan sosial, sudah saatnya kita mencoba memahami pandangan Buddha Dharma tentang penghargaan dan penghormatan tersebut. Sehubungan dengan ini dalam kitab suci Pali terdapat istilah-istilah labha, Sakkara, siloka, puja, dan vandana untuk menyatakan berbagai perasaan hormat, kagum dan memuja. 

Menurut ajaran Sang Buddha adanya nilai etika dan spiritual merupakan criteria utama bagi penganugerahan penghormatan. Buddha, Pacceka Buddha, Arahat dan para suci yang patut menerima penghormatan. Penghormatan yang diberikan kepada mereka yang patut menerimanya merupakan berkah termulia (Manggala Sutta: puja ca pujaniyanam etam mangalam utamam). Dalam Dhammapada (Dh.105-6) juga dinyatakan bahwa penghormatan yang diberikan kepada seorang suci yang telah sempurna jauh lebih baik daripada seabad persembahan kurban.

Dalam kitab ini juga diulangi bahwa kebahagiaan seseorang yang memuja mereka yang patut dipuja sungguh tak dapat diukur (Dh.195). Dalam lingkungan keluarga, orangtua harus diberi penghormatan, karena mereka telah sangat berkorban, membanting tulang selama hidup untuk kebahagiaan anak-anaknya. Suami dan istri harus saling menghormati dan menghargai. Keadaan ini akan menjalin hubungan baik untuk mendirikan rumah tangga yang bahagia bagi anak cucu. Ada kebiasaan kuno yang baik dalam menghormati dan menyambut tamu seperti yang tertulis dalam Canki Sutta (M.II,167). Hormat yang ditunjukkan kepada orang-orang tua sangat terpuji seperti yang dilukiskan dalam Tittira Jataka (J.I,218). Para pemuka agama, ayah-ibu, dan orang yang lebih tua merupakan sebagian kriteria pokok dari orang-orang yang patut dihormati. 

Karena sabda-sabda Sang Buddha lebih ditunjukkan untuk para bhikkhu, yang oleh status keagamaannya sering menerima persembahan dan penghormatan dari umat, dapat disimpulkan bahwa sabda-sabda Sang Buddha dalam masalah inipun ditujukan untuk para bhikkhu. Karena para bhikkhu telah melibatkan diri sepenuhnya dalam usaha pembebasan, sabda-sabda Sang Buddha merupakan catatan khusus bagi mereka. Namun, melihat adanya perbedaan posisi, dapat kiranya umat Buddha membawa ajaran Sang Buddha ini sebagai petunjuk umum bagi pandangan mereka sendiri terhadap penghormatan. Dalam hubungannya dengan penghormatan ini, Tripitaka Pali mencatat bahwa seseorang dapat memiliki salah satu dari 3 sikap berikut:
a.     Seseorang bisa sangat senang dan menikmati penghormatan yang diterimanya, bahkan berusaha mencapainya.
b.     Seseorang bisa menghindari dan menolak penghormatan yang dianugrahkan
c.      Seseorang bisa tidak peduli dan memiliki pandangan netral terhadap penghormatan.

Mari Kita Rinjau Satu Persatu
a.     Mahasaropama Sutta (M.I,192) menerangkan sikap senang terhadap persembahan dan penghormatan dengan sebuah perumpamaan. Jika seorang bhikkhu yang telah menjalankan hidupnya menurut Dhamma, menikmati persembahan dan penghormatan yang diberikan dan merasa gembira, ia tak ubahnya seperti seorang yang sedang mencari balok kayu, tetapi hanya puas dengan ranting dari suatu pohon besar. Yang dicarinya adalah balok, tetapi yang membuatnya puas adalah hanya ranting dan daun. Devadatta (J.I,186) merupakan contoh klasik dari orang yang terjatuh dalam jurang kesengsaraan akibat mengejar kehormatan dan kedudukan. Ia memiliki kekuatan gaib dan menggunakan kekuatan gaib itu untuk meyakinkan kepada orang awam tentang kemajuan spiritualnya. Orang yang paling terpengaruhi dan terbujuk adalah Ajatasattu. Devadata sengaja memamerkan kekuatan gaibnya agar mendapat persembahan dan penghormatan, sehingga dalam kebodohannya ia ingin membunuh Sang Buddha dan menguasai Sangha, serta membujuk Ajatasattu membunuh ayahnya dan merampas tahta kerajaan. Sang Buddha mengatakan bahwa kehancuran dan kemerosotan Devadatta diakibatkan persembahan dan penghormatan yang dihadiahkan kepadanya, bagaikan sebatang pohon menghasilkan buat yang membebani dan menumbangkan pohon itu.

Dalam Dhammapada tertulis bahwa persembahan dan penghormatan bukanlah jalan menuju kesadaran Nibbana. Menyadari hal ini, seorang bhikkhu hendaknya jangan berbahagia atas persembahan dan penghormatan. Dalam Milindapanha (Milinda, 377) diibaratkan, seperti sebuah kapal yang harus menahan berbagai terpaan seperti arus yang deras, kilat, ombak, demikianlah seorang bhikkhu harus menahan berbagai tekanan persembahan, penghormatan, dan kepopuleran. Jika seorang bhikkhu menikmati hal-hal tersebut dan ke“aku”annya meningkat, ia akan goyah dan karam seperti kapal yang pecah. Perumpamaan lain (Milindapanha, 377) yaitu sebuah jangkar kapal yang dapat menahan kepal itu dengan kuat dan tak akan membiarkannya hanyut, bahkan pada perairan yang sangat dalam sekalipun. Demikian juga seorang bhikkhu harus tetap menjangkar pada tujuannya dengan kekuatan prilaku tanpa membiarkan persembahan dan penghormatan menghanyutkannya. Tidak diragukan lagi kewajiban umat Buddha untuk menghormati dan menghargai seorang bhikkhu bijak, dan juga menyediakan keperluannya. Seorang bhikkhu memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan batinnya. Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa sangat sulit bagi seseorang yang memiliki perkembangan spiritual biasa untuk menahan kenikmatan persembahan dan kehormatan (Sakkaro Kapurisena Dujjaho;Thag, 1053)

Seorang yang merasa puas dan memanjakan diri dalam kepopuleran dan kehormatan akan menghadapi bahaya besar, dan erosi batin. Ia akan mengembangkan kebanggaan kebanggaan diri dan sikap pembual merasuki tingkah lakunya dengan diam-diam. Orang demikian juga akan bersikap memandang rendah orang lain yang tidak memiliki kedudukan. Labhasakkara Samyutta secara sarkastis mengindentifikasikannya dengan kembang busuk yang menunjukkan penghinaan terhadap kumbang busuk lain yang memiliki lebih sedikit kotoran. Anangana Sutta (M.I,29-30) menunjukkan kejijikan dan kemuakan terhadap bhikkhu yang menjalani kehidupan religious dan latihan bertapa yang keras demi popularitas dan penghormatan. Bhikkhu yang demikian dapat disamakan dengan orang yang menempatkan bangkai ular atau anjing dalam mangkok logam yang disemir dengan indah. Mangkok kehidupan yang lebih tinggi (brahmacariya) tidaklah diperuntukkan untuk menyimpan tujuan yang amoral.

Sang Buddha dengan tegas menasehati agar kita selalu mengawal diri terhadap kesenangan pada persembahan dan penghormatan. Dalam Labhasakkara Samyuta terdapat perumpamaan yang melukiskan hal ini (S.II,226-227) seekor kura-kura muda yang menentang nasehat kura-kura tua tertembak dengan panah yang diikatkan pada tali dan segera ditangkap pemburu. Pemburu disini tidak lain adalah mara. Panah itu merupakan persembahan, kehormatan dan kemashyuran. Tali yang diikatkan pada panah itu adalah keterikatan terhadap persembahan dan penghormatan.

Demikianlah, persembahan dan penghormatan adalah umpan yang akan ditelan oleh orang yang serakah, dan selanjutnya dihancurkan oleh tangan Mara.     

b. Mahakassapa adalah salah seorang siswa utama yang menghindari persembahan dan penghormatan dan ia menemukan kebahagiaan dalam menolong orang-orang miskin untuk memupuk karma baik mereka dengan diminta sedekah makanan (pindapata). Suatu ketika sang Buddha melihatnya sedang meminta sedekah ditempat penenun yang miskin. Meskipun para dewa mencoba memberikannya makanan yang baik, namun ia tetap melakukan pindapata di tempat orang-orang miskin. Sehubungan dengan peristiwa ini sang Buddha memberikan penjelasan dengan suatu ungkapan yang menggambarkan kesederhanaan Mahakassapa. Suatu kala seorang perumah tangga terkenal bernama Citta terkesan dengan penjelasan tentang ajaran Agung oleh seorang bhikkhu bernama Isidatta.  Citta mengundang Isidatta untuk tinggal di daerah itu dan dijanjikannya bahwa ia akan dilayani dengan ramah tamah dan akan dipenuhi segala kebutuhannya. Tetapi Isidatta menggunakan kesempatan untuk meninggalkan tempat itu tanpa memberitahu Citta (S. IV. 286-8). Sikap seperti inilah yang dilakukan oleh orang yang mengerti sifat merusak dari persembahan dan penghormatan.

c. Buddha dan Arahat tidak terpengaruh oleh persembahan dan penghormatan. Mereka menghadapinya sama seprti menghadapi kehilangan dan celaan. Maha Govinda Sutta (D. II. 223) menuliskan bahwa dewa-dewa bergembira di dalam Buddha karena sikap-nya dalam menghadapi persembahan dan penghormatan. Sang Buddha telah menerima persembahan dan penghormatan, yang bila seorang raja menginginkannya membutuhkan waktu yang lama. Dengan tanpa jejak kegirangan sedikit pun beliau melwatinya. Dewa-dewa menyatakan bahwa tidak ada seorang guru seagung beliau. Teratai walaupoun tumbuh di rawa tetap tak bernoda, demikian pula Buddha dan Arahat muncul tak bernoda di atas segala kondisi kehidupan, seperti kemashyuran, gengsi, wibawa, kedudukan (Milinda, 375). Sang Buddha dipuja para dewa dan manusia, tapi beliau menrimanya bukan sebagai penghormatan. Inilah Buddha (Milinda, 95). Cullasubhadda, seorang upasika, melihat bahwa sementara dunia ini bergembira dan sedih karena persembahan kehilangan dan pengormatan celaan silih berganti, bhikkhu sejati tetap bersikap seimbang menghadapi keduanya.

Sang Buddha menyatakan bahwa ia telah mengetahui, melihat, dan mengerti (samam natam samam dittham samam viditam; itivuttaka, 74) bahwa yang sangat kegirangan (pariyadinnacitta) karena besarnya persembahan dan penghormatan dan juga mereka ayng bersedih karena kurangnya persembahan dan penghormatan, saat hancurnya tubuh ini akan terlahir dalam keadaan sengsara. Nafsu untuk terhormat dan terkenal sangatlah menggoda, bahkan orang yang biasanya jujur pun dapat dikalahkan olehnya. Melalui kemampuan batinnya Sang Buddha mengetahui bahwa ada yang tidak akan membungkuk terlalu rendah bila diceritakan tentang suatu kebohongan demi emas, perak, putri cantik, orang tua, anak, bahkan kehidupan, tapi ia akan tunduk sangat rendah bila imbalannya persembahkan dan penghormatan. Dengan kata lain ,upah, persembahan dan penghormatan mengalahkan upah yang lain. Begitulah ganas dan jahatnya perangkap persembahan dan penghormatan (S.II,224,243). Tidak persembahan dan penghormtan adalah salah satu pasukan inti Mara (Sn. 438-9), yang seharusnya sudah dikenal oleh semua yang ingin mengembangkan batinnya. 

VI MATAPENCAHARIAN DAN PENGEMBANGANNYA
Matapencaharian benar (samma ajiva) adalah ruas kelima dalam jalan mulia Beruas delapan. Sebagai suatu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, hal ini sangat penting bagai setiap individu, bhikkhu atau umat. Pengertian yang benar dari matapencahariaan benarnya, sehingga sudah selayaknya umat mendukungnya. Dalam tulisan ini, lebih jauh akan dibicarakan tentang matapencaharian benar bagi umat awam.
Matapencaharian benar berarti bahwa setiap orang harus menghindari dari mencari nafkah dengan cara yang tidak benar (niccha ajiva). Ke dalam hal ini termasuk ‘berdagang’ yang dapat mencelakakan makhluk lain baik secara langsung ataupun tidak, seperti berdagang daging, minuman keras, racun, senjata, dan budak; kesemuanya bertentangkan dengan Pancasila. 

Pengertian yang benar dari matapencaharian benar dapat menjadi salah jika dijalankan oleh orang yang serakah dan tidak jujur. Misalnya profesi yang sangat-sangat mulia, terkenal dengan sumpah Hipocrates-nya dokter bila dijalankan oleh orang yang serakah akan menjadi sangat-sangat tercela karena sang dokter hanya ingin mengeruk keuntungan dari pasiennya, bila pasien adalah orang miskin ia tidak bersedia mengobatinya. Atau profesi sebagai seorang pedagang sayur yang memasang pemberat dalam alat timbangnya. Jadi menjalankan dengan jujur tanpa dilandasi keserakan merupakan ciri-ciri utama matapencaharian benar. 

Buddha Dharma menekankan sikap sedikit keinginan (appicchata) dan puas dengan yang sedikit (santutthi). Sikap ini harus dilatih tidak hanya dalam hal konsumsi tapi juga produksi, terutama di jaman modern seperti sekarang di mana mengajar kepuasaan materiil merupakan hal utama seperti terungkap dalam motto “waktu adalah uang”. Produksi makin meningkat akibatnya konsumsi pun meningkat, demikian juga sebaliknya. Tapi harus diingat bahwa perlombaan produksi konsumsi dengan bahan yang tersedia di alam tidaklah seimbang , sehingga bila kelakuan seperti ini dibiarkan akan sangat membahayakan. Muncul efek biologis seperti berjangkitnya berbagai penyakit, efek psikologi seperti stress, efek sosial seperti kecemburuan sosial, dan efek ekologi seperti pengerusakan hutan. Dari segi fisik juga terlihat dengan jelas bahwa bencana akan timbul akibat polusi, baik udara, air maupun tanah. Jelas sekali ini membahayakan tidak hanya manusia tapi juga seluruh makhluk. Ini merupakan gambaran dari bahaya yang timbul akibat tingkah laku produksi dan konsumsi yang salah. 

Bertani dikenal sebagai suatu matapencaharian yang mulia. Benarkah itu? Didesak oleh tingkat populasi dan teknologi, cara tardisional mengolah tanah ditanami dengan benih unggul hasil riset, diberi pupuk kimiawi, diberi pestisida dan insektisida. Hasilnya? Berlimpah ruah tapi harga tetap tinggi. Di beberapa Negara tertentu, begitu produksi berlebihan harga terancam turun sehingga untuk menghindarinya, sementara di belahan bumi lainnya orang-orang mati dilandasi keserakahan ini apakah bertani masih merupakan matapencaharian mulia? Dari sudut pandang Buddha Dharma, tingkah laku seperti ini menandakan erosi moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Penggunaan pestisida dan insektisida besar-besaran akibat pertanian besar-besaran itu pun pertanda erosi tersebut.  Masalah ekonomi nampaknya hanya menjadi kriteria yang mendorong manusia untuk melakukannya. Dibutakan oleh mengumpulkan uang banyak, manusia menutup mata terhadap akibat dari segala perbuatannya terhadap segala kehidupan yang ada di planet ini. Menimbulkan polusi terhadap tanah dan air sehingga mengganggu bakteri, serangga, dan ikan. Sementara beberapa bentuk kehidupan yang berguna untuk manusia mati, bentuk kehidupan lain yang berbahaya justru menjadi kebal terhadap insektisida dan pestisida. Kesuburan tanah dan keseimbangan organisme dalam tanah juga berkurang sebanding dengan pupuk kimia yang digunakan. 

Semua fakta-fakta ini jelas menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menguasai dan menundukkan alam. Dalam perlombaan yang lama, alam akan muncul sebagai pemenang dan manusia sebagai pecundang. Oleh karena itu, manusia harus bekerja sama dengan alam, manusia harus selaras dengan alam. Sang Buddha mengatakan bahwa di dalam mengumpulkan kekayaan manusia harus melakukannya seperti seekor lebah yang mengumpulkan madu, madu terkumpul dan bunga yang diisap madunya tidak rusak keindahannya, pun tidak merubah semerbak wanginya. Inilah salah satu kriteria matapencaharian benar bila pelaksanaannya adalah pemanfaatan sumber alam.

Konsep pembangunan modern di Negara-negara maju yang nampaknya tidak ada batasnya selain langit sendiri sebagai batasnya, bertentangan dengan Buddha Dharma. Buddha Dharma mengajarkan kita agar makan sesuai kebutuhan bukan sesuai keinginan, karenanya harus ditanamkan sikap appicchata dan satutthi tadi. Manusia membutuhkan kebutuhan-kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan) untuk melangsungkan hidupnya. Oleh karena itu manusia harus bekerja. Tapi pernyataan diatas bukan berarti kemalasan. Justru Buddha Dharma mendorong agar setiap orang bekerja dengan rajin dan bersungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhannya (utthanasampada), selain itu ia harus rajin agar mendapatkan penghasilan yang memungkinkan ia menabung (arakhasampada) dan menghindarkan diri dari dua sikap ekstrim: pelit dan foya-foya. Bila keempat sikap: appicchata (sedikit keinginan), santutthi (puas dengan yang sedikit), Utthanasampada (ketekunan), dan arakhasampada (kebiasaan menabung) tertanam dalam diri setiap orang maka pembangunan akan membuat hidup menjadi tenang dan aman, hubungan antar pribadi tetap harmonis karena tidak timbul kecemburuan sosial.

Konsep industrialisasi dalam skala besar juga tidak sejalan dengan Buddha Dharma. Suatu pabrik besar dengan peralatan serba mesin membuat tenaga manusia tidak terpakai, disamping itu pabrik besar seperti ini hanya membuat segelintir orang menjadi sangat kaya sementara jutaan lainnya sangat miskin. Tidak meratanya kemakmuran ini akan disusul oleh kejahatan sosial yang membuka jalan bagi kriminalitas. 

Konsep matapencaharian yang benar memandang manusia sebagai pusat perhatian dalam proses ekonomi, baik dalam produksi maupun konsumsi. Dalam hal produksi, manusia dituntut mengerjakan atau menghasilkan sesuatu sesuai dengan bakat dan ketrampilannya atau menghasilkan sesuatu sesuai dengan bakat dan karyanya. Sedangkan dalam hal konsumsi, selain harus mengganti biaya produksi ia juga harus merasa puas dalam menggunakannya. Sehingga disimpulkan bahwa matapencaharian benar bisa berlangsung untuk industry dalam skala kecil, yang bisa memanfaatkan kreativitas manusia, yang tidak semata-mata mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dengan demikian akan menjamin pemerataan kemakmuran dalam masyarakat. 

Karena matapencaharian benar adalah bila dijalankan dengan benar, maka akan mendatangkan ketenangan batin karena keserakahan,kebencian dan kebodohan tidak diberi kesempatan untuk menguasai kita. 

VII MENGHADAPI KEMATIAN TANPA RASA TAKUT
Kematian adalah suatu kepastian, tapi kematian adalah sesuatu yang paling kurang dipersiapkan. Kita biasa merencanakan dan mempersiapkan hal-hal lain, seperti ujian, pernikahan, transaksi bisnis, pembuatan rumah, tetapi kita tidak pernah dapat memastikan apakah rencana-rencana itu akan terwujud sesuai dengan keinginan kita. Sebaliknya, rencana persiapan untuk menghadapi kematian adalah bekal yang sangat berguna saat kematian menjelang. Ibarat cendawan timbul dari tanah dengan membawa sedikit tanah pada kopinya, demikian pula setiap makhluk hidup membawa kepastian kematian mulai dari kelahirannya. 

Anguttara Nikaya (IV,136) menggambarkan sifat kehidupan yang tidak pasti dengan beberapa kiasan. Kehidupan diibaratkan tetesan embun pada ujung sebatang rumput, yang dapat jatuh setiap saat dan sekalipun tidak jatuh, akan segera menguap setelah matahari terbit. Kehidupan juga secepat gelembung air yang terbentuk oleh hujan. Kalimat ini menjelaskan bahwa kehidupan berlari tak pernah berhenti kea rah kematian. Di dalam Dhammapada, kerapuhan tubuh disamakan dengan buih (Dh.40). Jadi dengan bermacam-macam kiasan, ketidakpastian dari kehidupan dan kepastian akan kematian selalu ditekankan berulang-ulang dalam Buddha Dharma. 

Kita takut akan kematian (sabbe bhayanti maccuno, Dhammapada.129) karena keterikatan dengan kehidupan. Kita juga takut pada yang tidak diketahui. Kita mengetahui sedikit sekali tentang kematian, sehingga kita takut mati. Adalah beralasan untuk berpendapat bahwa takut terhadap kematian atau takut pada sesuatu yang membahayakan kehidupan, bersembunyi dalam akar dari semua ketakutan. Oleh karena itu, setiap saat kita selalu takut, melarikan diri dari sumber ketakutan atau berjuang melawannya, melakukan segala usaha untuk mempertahankan kehidupan. Akan tetapi kita mampu melakukannya selama tubuh mampu melawan atau melarikan diri. Saat menjelang kematian, dan tubuh tidak kuat lagi membangkang, kita tidak mungkin akan menerima kematian dengan sikap batin yang pasrah. Kita akan berusaha keras untuk hidup lama. Karena hasrat untuk hidup (tanha) begitu kuat, kita aka “menyambar” (upadana) tempat lain untuk hidup terus. Suatu tempat, misalnya ovum yang terbuahi dalam rahim seseorang ibu, “disambar”, proses kelahiran (bhava) dan kehidupan akan berjalan kembali. Kelahiran (jati) akan terjadi pada waktunya. Proses ini merupakan suatu rantai: kecanduan menyebabkan ketamakan, ketamakan mengalami proses pertumbuhan, yang pada akhirnya kembali menyebabkan kelahiran. Jadi manusia yang takut mati akan memerlukan kelahiran lagi karena nafsu keinginannya untuk hidup masih ada. 

Setelah bangun tidur, indera kita mulai bekerja dengan objek-objeknya. Kita mulai tergoda, memilih-menolak setiap objek yang muncul. Dalam jaman modern ini, orang semakin memberi dan mencari perangsangan indera. Radio saku, permen karet, alat kecantikan, televisi adalah sedikit contoh perangsangan indera. Dalam pengejaran perangsangan indera ini, kita akhirnya mencari kekayaan dengan cara yang “gila”, yaitu dilandasi keserakahan dan buntutnya akan timbul persaingan, kebencian, irihati, kesombongan, egois, gengsi. Bukan hal mustahil bila dengan pekerjaan yang ada kita belum juga mendapatkannya, cara-cara brutal pun dijalankan, seperti korupsi pembunuhan, pencurian, fitnah dan sebagainya. Dan yang sangat menyedihkan, walaupun kita tahu hal itu tetap saja dijalankan, dengan memakai dalih demi anaklah, demi istrilah, demi inilah, demi itulah, sudah terlanjurlah ………………. Hal ini membuat kita kita menjadi terasing dengan diri kita sendiri, kita melupakan sifat dasar sejati diri kita sendiri, atau lebih tepatnya sifat dasar sejati dari pikiran kita. 

Apa yang terjadi pada saat kematian menjelang? Kita tentu sadar bahwa kematian adalah suatu proses dan bukan kejadian yang datang sekonyong-konyong (takdir). Ketika indera kehilangan kekuatannya satu persatu dan rangsangan pun terhenti, hambatan juga berkurang. Kedok yang kita pakai dalam berbagai tugas dibuang. Kita akhirnya berhadapan dengan diri kita sendiri dalam seluruh ketelanjangan. Pada saat itu jika kita jumpai adalah kebencian, kecemburuan, dan sebagainya, kita akan merasa bersalah, menyesal dan sedih. Ingatan kita sangat mungkin akan menjadi sangat tajam, karena seluruh perbuatan kita sendiri yang menjalankan kehidupan dengan baik atau tidak baik. Bila yang dijalankan tidak baik tentu kita akan merasa bersalah dan sedih (S.V.386), tetapi bila baik kita akan tenang. Dalam abhidammathasangaha dijelaskan tentang kamma atau kammanimitta pada pintu pikiran saat datangnya kematian. Timbul semacam “kebangkitan kembali” di dalam ingatan terhadap suatu perbuatan sejati atau perbuatan berkedok yang telah diperbuat. Dikatakan bahwa tumimbal lahir akan ditentukan oleh kondisi pikiran-pikiran yang muncul pada saat menjelang kematian.

Kematian adalah suatu kejadian sealamiah terbenamnya matahari, satu perwujudan dari hukum ketidakkekalan. Meskipun kita sangat tidak menyukainya, kita harus menyesuaikan diri untuk menerima sifatnya yang tidak dapat dielakkan. 

Ajaran Agama Buddha menganjurkan agar sering mengembangkan kesadaran akan kematian sehingga kita tidak akan lupa bila kematian datang menjemput. Untuk menghadapi kematian dengan tenang, seseorang harus mempelajari seni hidup yang penuh dengan kedamaian dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Satu metode yang dilakukan adalah mengingat sifat kematian yang tidak dapat dihindarkan, yang akan menghalangi seseorang dari perbuatannya yang tidak baik. Latihan meditasi merupakan cara yang terbaik yang akan memungkinkan seseorang hidup penuh ketenangan dengan diri sendiri dan orang lain, terutama meditasi cinta kasih (mettabhavana).

Di dalam salah satu sutta (A.III,293) Sang Buddha menjelaskan bagaimana bersiap-siap menghadapi kematian dengan penuh kedamaian. Seseorang harus mengatur kehidupannya dan melatih suatu sikap untuk tujuan ini, yaitu sebagai berikut:
1.     Seseorang sebaiknya tidak terlalu gemar terhadap kehidupan yang sibuk, terlibat dalam berbagai kegiatan.
2.     Seseorang sebaiknya tidak suka banyak bicara
3.     Seseorang sebaiknya tidak gemar tidur
4.     Seseorang sebaiknya tidak suka sekali mempunyai terlalu banyak teman
5.     Seseorang sebaiknya tidak terlalu banyak bergaul
6.     Seseorang sebaiknya tidak gemar melamun

Sutta yang lain (A.I,57-58) menjelaskan bahwa bila seseorang menjauhi perbuatan-perbuatan jahat melalui tubuh, ucapan dan pikiran, ia tidak perlu takut mati. Dalam Mahaparinibbana Sutta (D,II,85-86) dijelaskan bahwa orang-orang yang berwatak jahat menghadapi kematian dengan khayalan, sedangkan orang berbudi luhur menghadapi kematian bebas dari khayalan. Jadi bila seseorang menjalani suatu kehidupan saleh yang sederhana, ia tidak perlu takut mati. 

Suatu waktu Mahanama Sakkha (S.V,369) memperlihatkan kepada Sang Buddha bahwa ia cemas kemana akan dilahirkan kembali setelah ia mati akibat suatu kecelakaan dijalan. Sang Buddha menjelaskan bahwa barangsiapa yang telah lama sekali melatih sifat-sifat baik, jujur, setia, berpengetahuan, dermawan dan bijaksana, tidak perlu mempunyai ketakutan seperti itu. Untuk menguraikan keadaan lebih lanjut Sang Buddha menggunakan sebuah perumpamaan. Jika sebuah panic berisi minyak pecah di tempat yang dalam di sungai, pecahan-pecahan akan tenggelam ke palung sungai dan minyak akan naik ke permukaan air. Demikian pula, tubuh akan lepas dan mungkin dicabik oleh burung bangkai dan srigala, tetapi pikiran akan naik dan berkembang.

Cerita sakitnya ayah Nakula (A.III,295) merupakan peristiwa menarik lain berkenaan dengan sikap umat Buddha menghadapi kematian. Suatu waktu ayah Nakula sakit keras dan ia merasa gelisah. Istrinya memberitahukan bahwa mati dengan gelisah adalah hal yang kurang baik sesuai dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Oleh karena itu, ia harus menenangkan diri. Untuk menenangkan suaminya, sang istri mengatakan bahwa mungkin sang suami takut akan penghasilan dan mengurus keluarga dan kewajiban mendidik anak-anak setelah kematiannya. Sang istri meyakinkan suaminya bahwa ia sanggup memintal kapas dan wol sehingga ia dapat memperoleh penghasilan dan mengurus keluarga dan membesarkan anak-anak. Sang suami mungkin cemas bila sang istri akan menikah kembali setelah kematiannya. Sang istri mengatakan bahwa sang suami mengetahui dengan baik bahwa ia tidak pernah tidak setia terhadap sang suami sejak enam belas tahun pernikahan mereka, dan sang istri berjanji bahwa akan tetap setia pada sang suami juga setelah kematian suaminya. Mungkin sang suami khawatir mengenai perkembangan batin istrinya dan sang istri meyakinkannya bahwa ia akan bersungguh-sungguh memelihara kebajikan dan mengembangkan batinnya. Oleh karena itu, ayah Nakula harus menghadapi kematian dengan tidak gelisah. Demikianlah sang istri menenangkan suaminya yang menderita sakit. Dan akhirnya ayah Nakula memperoleh kembali ketenangan dirinya bahkan kesehatannya berangsur-angsur membaik. Hal ini dilaporkan kemudian kepada Sang Buddha dan Beliau memuji ibu Nakula atas kebijaksanaannya dan kesabarannya. 

Banyak sutta yang membicarakan manfaat-manfaat perenungan teratur tentang kematian (A.IV,46-48;S.V,344-408). Pikiran yang terlibat dengan kecintaan terhadap kehidupan, dan sementara mabuk dengan semangat hidup, akibatnya manusia melakukan berbagai kekejaman. Hal itu dapat dicegah dengan kebiasaan melatih kesadaran akan kematian. Bila kita ingat bahwa hidup di dunia ini bukan untuk selamanya, kita akan bersiap-siap menuju kehidupan yang lebih baik. Bila, ketika memeriksa, kita menemukan pikiran buruk seperti nafsu, kebencian dan iri hati, kita menemukan pikiran buruk seperti nafsu, kebencian dan iri hati, kita seharusnya segera bertindak untuk menghilangkan sebagaimana kita akan berusaha memadamkan api bila kepala kita terbakar (A.IV,320).

Jadi ajaran agama Buddha tak henti-hentinya mengulang pernyataan tentang manfaat perenungan yang teratur dari kematian yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini akan menolong seseorang untuk menjalani suatu kehidupan yang lebih baik dan juga menghadapi kematian (satu-satunya kejadian yang pasti di dunia) dengan ketenangan dan kepercayaan yang tak kenal takut.

VIII TUBUH MANUSIA
Tubuh manusia adalah mesin yang paling unik. Tubuh manusia unik, tidak hanya bentuk luar yang kelihatan tetapi juga dalam susunan biokimia, kepekaan panca indera, kekuatan melawan penyakit, kerentanan terhadap penyakit, dan lain-lain. Kita menyadari bahwa tubuh manusia adalah suatu yang istimewa. Orang-orang yang berkecimpung dengan tubuh manusia, misalnya dokter, akan lebih menyadari bahwa tubuh manusia adalah yang paling pelik. Begitupun dalam Buddha Dharma yang memandang tubuh ini sebagai suatu yang sangat berharga dalam arti bila disadari akan memberikan pengetahuan batin. Dalam sutta-sutta Sang Buddha mengatakan bahwa di dalam tubuh manusia dijumpai dunia, sumbernya, penghentiannya dan jalan menuju penghentiannya. Kurang lebih itu berarti bahwa pengalaman dunia ada di dalam tubuh manusia. Dalam arti lain berarti bahwa jika seseorang mengerti misteri tubuh manusia, maka sama dengan mengerti misteri dunia ini.
Hubungan antara tubuh dengan pikiran sukar dipahami.
 
Di dalam Samanaphala Sutta disebutkan bahwa hubungan ini hanya dapat dimengerti setelah pencapaian jhana keempat, ia kemudian dapat melihat kesadaran yang dibentuk dalam keadaan fisik bagaikan seorang yang dapat melihat seutas benang berwarna melintasi celah sebuah mutiara yang jernih. Sutta lain menjelaskan saling ketergantungan tubuh dan pikiran diibaratkan 2ikat alang-alang yang diletakkan bersilangan saling menyangga. Perubahan-perubahan emosi dalam pikiran akan mempengaruhi kimia tubuh, dan perubahan dalam kimia tubuh akan mempengaruhi pikiran. Sebagai contoh misalnya perasaan marah. Marah menggerakkan kelenjar pengeluaran yang akan mengubah kimia tubuh untuk menimbulkan perubahan-perubahan seperti ragu-ragu, takut, berkeringat, jantung berdebar, panas dan sebagainya. Disamping itu perubahan-perubahan dalam kimia tubuh misalnya akibat masuknya alcohol atau narkotika mempengaruhi pikiran untuk menilbulkan perubahan-perubahan suasana hati yang cocok, perasaan melayang dan berkhayal. 

Di dalam satu sutta (A.IV,385) disebutkan bahwa semua pikiran diwujudkan ke dalam perasaan (Sabbe Dhamma Vedanasamosarana). Ini menunjukkan betapa besar pikiran mempengaruhi tubuh. Buddha Dharma jelas menerima saling ketergantungan ini dan menggunakan pengetahuan ini sebagai jalan menuju pembebasan. Tubuh didisiplinkan melalui kesusilaan (sila) lalu dipelihara pada suatu tingkat biokimia yang sehat. Pikiran didisiplinkan dengan meditasi (bhavana) untuk menghasilkan perubahan-perubahan psikologis yang sehat dengan cara demikian memperkuat kembali komposisi biokimia tubuh yang lebih sehat. Proses perubahan dan saling mempengaruhi ini berlangsung sampai pencapaian Arahat, dimana susunan biokimia telah mencapai suatu perubahan radikal, suatu perubahan besar-besaran, fungsi-fungsi fisiologis tertentu dari seorang Arahat dikatakan sudah “mati” dan tidak lagi mempengaruhi perkembangan batinnya, seperti yang biasa dialami manusia dalam contoh di atas. 

Ditinjau dari segi fisik, tubuh manusia merupakan temapt menampung kotoran. Bayangkan bila kita tidak mandi, maka bagian luar tubuh ini penuh daki, belum lagi bagian dalamnya yang lebih menjijikkan. Dalam agama Buddha diuraikan 32 bagian dari tubuh, yang merinci mengenai unsur-unsur pokok material yang kotor. Wajah mengeluarkan begitu banyak kotoran dari 9 lubangnya dan dari pori-pori. 

Tubuh juga tempat bersarangnya berbagai penyakit bakteri dan parasit. Kita harus memberi makan tubuh dengan tekun sepanjang hidup. Bagaimanapun baiknya tubuh ini diberi makan, rasa lapar tidak pernah hilang. Rasa lapar adalah salah satu penyakit yang paling buruk seperti dikatakan dalam Dhammapada. Perut itu seperti sebuah luka terbuka yang memerlukan pembalut setiap hari. Di samping makanan, tubuh juga harus dilindungi dari panas, dingin, hujan dan kuman yang berbahaya. Kita harus selalu waspada untuk melindungi tubuh dari sumber-sumber bahaya. Dari alas an-alasan ini maka dikatakan bahwa tubuh adalah suatu sumber dari kegelisahan besar (bahudukkho ayam kayo). Sungguh besar penderitaan semua manusia yang harus merawat tubuh ini bersih, sehat, agar dapat melangsungkan hidupnya. 

Bila kita perhatikan tubuh dalam berbagai sikap, berdiri, duduk, berjalan, merebahkan diri, akan kita sadari bahwa tubuh dapat bertahan untuk waktu yang sangat singkat. Sekalipun duduk di kursi yang paling enak, kita dapat bertahan hanya sesaat. Kemudian kita bergerak-gerak menyesuaikan posisi badan agar lebih menyenangkan lagi. Tetapi kesenangan ini pun berumur pendek. Demikianlah, tubuh ini adalah sumber kesengsaraan, tetapi kita lebih suka menutup mata terhadap kenyataan ini dan melekat pada kesenangan-kesenangan yang berlalu dengan cepat dan menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa tidak ada keraguan sedikitpun terhadap kesenangan (appasada), tetapi kesengsaraan yang diakibatkannya jauh lebih besar dari kesenangan ini (bahudukkha). Tubuh juga seperti sebuah gerobak tua yang dapat terus jalan diperbaiki.
Meskipun tubuh ini adalah suatu sumber penderitaan besar, kita tidak mampu membencinya. Agar memiliki sikap yang sehat terhadap tubuh, kita seharusnya menghindari kedua ekstrim, memanjakannya dan membencinya. Sifat metta harus dimiliki, suatu sikap bersahabat dengan tubuh. Mengerti sifat dasarnya sesuai dengan kenyataan, kita seharusnya menghindari penyalahgunaan tubuh hanya sebagai suatu alat kesenangan. Kita seharusnya sangat berhati-hati tidak membentuk kebiasaan-kebiasaan yang berbahaya bagi tubuh, seperti merokok, minum minuman keras, dan kegemaran yang berlebihan dalam hal kesenangan indera.

Tubuh menjadi sasaran penyakit-penyakit akibat perbuatan sendiri jika kita lalai melatih suatu sikap bersahabat terhadapnya. 

Ada orang yang berkata, “Saya tinggi, saya gemuk, saya adil, saya cantik”. Ini maksudnya bahwa tubuh mempunyai sifat-sifat ini. Akan tetapi karena digunakan kata ganti “saya”, orang terjebak di dalam subyek dari kalimat itu. Oleh karena itu, terbentuk suatu hubungan hubungan tubuh dengan pemiliknya yaitu “saya”. Sang Buddha membuktikan bahwa jika tubuh benar-benar milik “saya”, tubuh seharusnya berkelakuan menuruti keinginan “saya”. Tubuh seharusnya tetap muda, sehat, cantik, dan kuat sebagaimana selalu diinginkan setiap orang. Kenyataannya tubuh tidak berkelakuan sesuai dengan kehendak seperti di atas. Hal ini dijelaskan Sang Buddha bahwa tubuh benar-benar bukan milik “saya”, benar-benar bukan diri kita maupun bagian dari diri kita. Kita seharusnya melepaskan ikatan terhadapnya. Pelepasan terhadap tubuh menghasilkan banyak kegembiraan dan kedamaian. Untuk itu harus ditanamkan dalam pikiran kita tentang sifat tubuh yang menjijikkan dan asing, sehingga perubahan yang terjadi pada tubuh tidak menimbulkan perubahan pada ketenangan pikiran kita. Pengamatan dari sifat tubuh kita yang menjijikkan dan sumber penderitaan secara berulang-ulang, adalah salah satu jalan untuk mendapatkan pandangan yang benar. Ini adalah jalan untuk mendapatkan pandangan yang benar. Ini adalah jalan keluar dari penderitaan. 

IX PEMERINTAHAN
Adanya peraturan dan yang diatur akan membentuk suatu Negara, yang dikepalai oleh raja atau pemerintah. Dua bentuk pemerintahan telah tertulis dalam kitab-kitab Buddhis, yaitu kerajaan dan republik. Terlepas dari semua itu, tujuan terbentuknya Negara adalah untuk meningkatkan keamanan, sosial, ekonomi, dan stabilitas moral bagi rakyatnya. 

Menurut catatan-catatan Buddhis, Negara bararti kerajaan. Dengan pemimpinnya, raja, dipilih oleh rakyatnya, dan ia memerintah sesuai dengan keinginan rakyatnya, bukan atas kekuasaan pihak lain. Berbeda dengan kitab-kitab Brahmana yang menyebutkan bahwa raja diciptakan oleh Maha Brahma dan dibekali dengan segala kekuatan, sehingga otomatis ia harus bekerja menuruti perintah penciptanya. 

Oleh karenanya, memilih raja mutlak diperlukan, seperti dikatakan dalam Ummadanti Jataka tidak ada Negara yang berdiri tanpa adanya raja. Jika raja tidak jujur dan tidak mampu untuk mempertahankan nilai moral dalam melaksanakan tugasnya ia akan hancur dalam kekuasaannya. Buddha Dharma menegaskan bahwa kekuatan raja tidak hanya pada kekuatan militer atau keberhasilan politik tapi juga kejujurannya.

Dhammaraja Sutta (A.II,74) menuliskan “bila raja tidak jujur (Adhammiko), maka mentri-mentri, umat beragama, dan rakyatpun menjadi tidak jujur. Bila orang-orang tidak jujur, matahari dan bulan tidak berjalan sesuai dengan jalurnya. Juga bintang dan planet lain; siang dan dalam, musim dan tahun bergerak di luar jalurnya, angin bertiup tidak sesuai dengan musimnya. Akibatnya, hujan turun tidak sesuai dengan musim, panen pada musim yang tidak cocok. Ketika panen terjadi pada musim yang salah, orang-orang menjadi tidak sehat, lemah, sakit-sakitan, berumur pendek.” 

Di sini Sang Buddha menjelaskan bagaimana seluruh negeri kacau balau bila rajanya, mentrinya, dan rakyatnya tidak jujur. Ini salah satu bukti bahwa Sang Buddha tidak hanya memperdulikan aspek spiritual tapi juga memikirkan aspek-aspek yang berhubungan dengan ketentraman sosial dan kemakmuran ekonomi masyarakat. 

Demikian pula dikatakan, “Bhikkhu, jika raja jujur, mentrinya pun jujur, umat beragama dan rakyat pun jujur, maka matahari dan bulan bergerak sesuai dengan orbitnya; siang dan malam, musim dan tahun berlangsung teratur; angin bergerak sesuai musimnya. Maka panen akan tiba tepat pada musimnya, dan orang-orang menjadi hidup sehat, kuat, dan panjang umur.” (J.II,85).

Jataka lainnya (J.II,367) menyebutkan, pemimpin yang jujur bahkan dapat mengendalikan kekuatan-kekuatan jahat dari alam seperti kemarau, kelaparan, penyakit dan lain-lain. 

Jika ada ketenangan dalam pikiran (ajjhata santi) setiap rakyatnya maka tidak aka nada kehidupan yang harmonis (sama cariya), dan inilah penyebab sifat tidak jujur. Oleh karenanya pemimpin harus mengikuti jalan kebenaran dalam tindakannya dengan menjauhkan diri dari prasangka, memihak, kebencian, ketakutan, dan kebodohan.

Raja atau pemerintah harus menegakkan hukum dan menjaganya dari rongrongan pihak lain, dengan demikian akan mendapat kepercayaan dan dukungan rakyat. Ia harus menyokong rakyat, melatih dirinya murah hati (dana), ramah (piyavacana), berguna (atthacariya), dan tidak memihak (samanattata). Demikian juga tugas tersebut adalah tugas rakyat agar tercipta kerjasama yang baik dengan pemerintah.

Kuku Jataka (J.III,319) mengatakan jika pemimpin tidak jujur, rakyat menjadi gelisah; kelaparan, penyakit, kejahatan, hujan turun tidak pada musimnya dan rakyat sangat tertekan. 

Jataka lainnya (J,334) menuliskan bahwa buah ara, minyak, madu, air tebu, akar, buah-buahan semuanya terasa manis jika raja memerintah dengan jujur.

Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa raja atau kepala pemerintahan bertanggung jawab atas keamanan atau situasi gawat dalam suatu Negara. Dalam suatu Negara dimana pemimpin dan rakyatnya membentuk hubungan yang saling menguntungkan tidak akan terjadi kekacauan, kejahatan dan rakyat akan berbahagia di dalam Negara yang makmur.
Ada 10 kewajiban seorang raja yang tertulis dalam Jataka (I,260,229; II,400; III,274,320; IV,119,378), yaitu:
1.     Dana, dermawan murah hati, agar tidak terikat dengan kekuasaan dan kekayaan
2.     Sila, dengan menjalankan pancasila yang terdiri dari berusaha untuk tidak membunuh, mencuri, melakukan seks yang salah, berbohong, ketagihan
3.     Pariccaga, mengorbankan diri sepenuhnya untuk kepentingan rakyat
4.     Ajjhava, seimbang dan tanpa prasangka dalam menjalankan tugasnya dan tidak memihak
5.     Maddava, memiliki sifat seorang ksatria
6.     Tapa, hidup dengan mengendalikan diri dan sederhana
7.     Akkodha, tidak membenci, bebas dari keinginan untuk memperbudak atau menjajah
8.     Avihimsa, tanpa kekerasan terhadap semua makhluk, termasuk di dalamnya juga pencegahan kekerasan dan kekacauan.
9.     Khanti, kesabaran dalam menghadapi setiap kesulitan
10.                        Avirodha, tiada keragu-raguan dalam mempersembahkan yang terbaik untuk rakyat dan tidak menimbulkan permusuhan dan kesulitan.
Menurut Cakkavattisihanada Sutta dari Digha Nikaya (26) kewajiban Negara tidak hanya melindungi rakyatnya tapi juga binatang-binatang yang ada dinegara itu.
Asoka, raja agung di india yang beragama Buddha (abad 3 SM) yang menjalankan sepenuhnya kewajibannya sebagai raja sesuai dengan ajaran Sang Buddha, menuliskan, “Jangan ada satupun makhluk hidup disembelih atau dikorbankan.” (R.N Mukharjee, Asoka, 128).














1 komentar:

  1. KABAR BAIK UNTUK SEMUA ORANG DI SINI. BACALAH
    Halo teman-teman, saya punya kabar baik untuk berbagi dengan Anda semua. Saya tidak bisa menjelaskan betapa bahagianya aku sekarang. Akhirnya, saya hanya mendapat pinjaman dari lembaga kredit internasional Islam di seluruh dunia. Teman saya mengarahkan saya kepada mereka. Saya telah mencari pemberi pinjaman swasta online asli selama bertahun-tahun di mana saya bisa meminjam uang untuk memulai bisnis saya, tapi semua usaha saya untuk mendapatkan pinjaman asli perusahaan gagal. Semua yang saya telah datang dalam kontak dengan semua penipuan. Sejujurnya, pada awalnya, saya pikir organisasi pinjaman Islam adalah salah satu dari penipuan sampai mereka membawa sukacita bagi hidup saya hanya beberapa hari kembali. Aku mencoba dan melihat sendiri, setelah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan, saya terkejut bahwa mereka benar-benar ditransfer pinjaman saya $ 80.000 amerika serikat dolar ke rekening bank saya. Persyaratan yang sangat sederhana. Tidak ada jaminan yang diperlukan dari saya. Tidak ada biaya tersembunyi. Semua yang saya lakukan adalah untuk mendapatkan asuransi PPI untuk mengamankan pinjaman. Saya sangat senang sekarang karena Tuhan telah menggunakan organisasi ini untuk memberkati saya tahun ini. Dear teman jika Anda ingin tahun ini menjadi tahun Anda kebebasan finansial dan bahagia seperti saya, cepat dan menghubungi mereka sekarang. Email mereka melalui (frb228815@gmail.com) Saya harap informasi penting ini akan mengubah hidup Anda tahun ini. Saya berharap Anda semua yang terbaik.......

    BalasHapus