1. Hukum Kosmis (Niyama)
"Ia yang menjadi sempurna oleh hukum kosmis, Ia yang mengajarkan hukum tersebut, Ia Sang Pelindung, dengan penghormatan demikian saya akan menguraikan hukum tersebut." (Niyama-dipani)
"Ia yang menjadi sempurna oleh hukum kosmis, Ia yang mengajarkan hukum tersebut, Ia Sang Pelindung, dengan penghormatan demikian saya akan menguraikan hukum tersebut." (Niyama-dipani)
Ungkapan "menjadi sempurna oleh hukum kosmis" berarti bahwa hukum ini termasuk hukum kosmis untuk para Buddha, di mana keadaan Kebuddhaan sepenuhnya dicapai. Hukum ini membawa pencapaian Bodhi oleh para Maha-Bodhisatta, yaitu sepuluh kesempurnaan yang masing-masing terdiri atas tiga tahapan, lima pengorbanan besar, tiga kewajiban, dan pada hari terakhir perjuangannya, hukum sebab-akibat, dan saat bermeditasi mencapai konsentrasi jhana dengan pernapasan, awal mula dan lenyapnya lima kelompok kehidupan. Dengan hal-hal ini para Buddha mencapai Kebuddhaan, karenanya hal-hal demikan disebut hukum tertib kosmis untuk para Buddha. Dengan ini kita simpulkan bahwa bukan dengan kesempatan ataupun kebetulan para Buddha menjadi sempurna.
"Ia yang mengajarkan hukum tersebut" bermakna bahwa Ia mengajarkan satu hukum tertib kosmis yang terdiri atas lima rangkaian hukum. Kelima unsur tersebut adalah:
a. Utu-niyama (hukum energi)
b. Bija-niyama (hukum pembenihan)
c. Kamma-niyama (hukum perbuatan)
d. Citta-niyama (hukum psikis)
e. Dhamma-niyama (hukum Dhamma)
Utu-niyama
Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur pathavi, apo, tejo, dan vayo. Unsur pathavi (secara harfiah berarti "tanah") merupakan unsur yang bersifat "luasan" dan liat, yang berfungsi menjadi basis unsur lainnya. Unsur kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk ikatan tersebut; unsur ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan bakar; unsur keempat tidak dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya; semua materi bahkan atom sekali pun membutuhkan unsur pathavi sebagai basisnya.
Unsur apo (secara harfiah berarti "air") merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.
Unsur tejo (secara harfiah berarti "api") merupakan unsur yang bersifat panas, yang memberikan fungsi panas dan dingin pada unsur lainnya. Karena unsur ini, semua materi dapat dihasilkan kembali untuk tumbuh dan berkembang setelah mencapai kematangan.
Unsur vayo (secara harfiah berarti "udara") merupakan unsur yang bersifat gerakan dan memberikan fungsi gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini membentuk kekuatan tarikan dan tolakan pada semua materi.
Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang tetap, dapat bertambah kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk bertambah, dan berkurang kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk berkurang. Misalnya, dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan gerak yang cukup sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat cair unsur panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya memberi sifat ikatan. Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam semesta.
Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena pada dunia materi dan merupakan bentuk awal dari unsur panas.
Hukum energi merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat rangkaian pembentukan, kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam semesta. Ia juga mengatur pergantian musim dan menentukan musim di mana tumbuhan menghasilkan bunga dan buah. Tidak ada yang mengatur kejadian-kejadian ini apakah manusia, dewa, atau Tuhan, kecuali hukum utu-niyama ini.
Bija-niyama
Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai bentuk.
Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan dan disebut bija-niyama.
Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok pencipta yang mengaturnya.
Kamma-niyama
Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali: "Para bhikkhu, kehendak itulah yang Ku-sebut perbuatan. Melalui kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan, atau pikiran" (Anguttara Nikaya, iii:415).
Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali: "Para bhikkhu, kehendak itulah yang Ku-sebut perbuatan. Melalui kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan, atau pikiran" (Anguttara Nikaya, iii:415).
Di sini kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). Dalam melakukan sesuatu, baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan langkah-langkah yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsi-fungsi ini terhadap objek yang diinginkan.
Dalam melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses mental lainnya yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam pengertian ia memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua aktivitas mental cenderung bergerak dalam satu arah.
Hukum perbuatan mengatur akibat-akibat dari suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai dalam berbagai sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula-Kamma-Vibhanga-Sutta: "Akibat dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan tidak melakukan pembunuhan menyebabkan umur panjang. Iri hati menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan kebaikan hati menghasilkan perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang, sedangkan kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan, sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. Pencurian menghasilkan kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran. Kesombongan berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan hati membawa kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan hilangnya kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari pergaulan dengan orang bijaksana."
Di sini pernyataan "membunuh menyebabkan umur pendek" mengandung makna bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau makhluk lainnya, perbuatan ini menyediakan akibat untuk terlahir kembali dalam keadaan menderita dengan berbagai cara. Selama masa ketika ia terlahir kembali sebagai manusia, perbuatan tersebut menyebabkannya berumur pendek dalam ribuan kelahiran. Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk pernyataan sebab akibat yang lain di atas.
Citta-niyama
Citta berarti "ia yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. Hal ini dinyatakan dalam kitab Pali: "Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok (nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam rendah (binatang, burung, dan seterusnya). Makhluk-makhluk alam rendah ini hanya berbeda dalam pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka ragam dibandingkan makhluk-makhluk ini" (Citten'eva cittikata. Samyutta-Nikaya, iii. 152).
Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga dikatakan "Pikiran menyenangi hal-hal yang buruk". Oleh sebab itu, mahkluk-makhluk di alam rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih beraneka ragam dibandingkan semua makhluk lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dikatakan dalam kitab Pali: "O, para bhikkhu, Aku akan menyatakan bagaimana dunia berasal, dan bagaimana dunia berakhir. Apakah asal mula dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran penglihatan. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Dikondisikan oleh telinga dan objek-objek... oleh hidung... oleh lidah... oleh tubuh, dan seterusnya... dikondisikan oleh indera pikiran dan benda-benda muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini adalah kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut asal mula dunia."
"Apakah akhir dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan.... Karena keinginan sepenuhnya berakhir, ketamakan berakhir; karena ketamakan berakhir, kemenjadian berakhir. Demikianlah akhir dari seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Demikian halnya juga berhubungan dengan telinga dan alat indera lainnya. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut akhir dunia" (Samyutta-Nikaya, iv 87).
Di sini ungkapan "dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul
kesadaran mata, dan seterusnya" menunjukkan bahwa di dunia ini kesadaran
dan proses pikiran orang-orang secara umum berbeda-beda dari momen ke
momen dan menjadi sebab kelahiran kembali mereka dalam bentuk-bentuk
yang berbeda dalam kehidupan berikutnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda pada kehidupan yang akan
datang dibuat dan diciptakan oleh pikiran pada kehidupan sekarang.
Karena perbedaan kesadaran, persepsi juga berbeda. Karena perbedaan
persepsi, keinginan berbeda, dan karena hal ini berbeda, maka perbuatan
(kamma) berbeda. Beberapa orang juga berpendapat bahwa karena kamma
berbeda, kelahiran kembali di alam binatang beraneka ragam.
Hukum psikis mengatur tentang pikiran atau kesadaran yang berbeda-beda dalam fungsi dan kejadian. Ini diulas dalam kitab Patthana pada bab "Hubungan yang Berurutan".
Dhamma-niyama
Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan (dhareti) sifat dasarnya sendiri, yaitu kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh aturan" (silakkhandha).
Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan (dhareti) sifat dasarnya sendiri, yaitu kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh aturan" (silakkhandha).
Di antara sutta-sutta, keseluruhan Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta membahas tentang Dhamma-niyama. Dalam salah satu sutta disebutkan: "Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada, yaitu pembentukan Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat (Dhammatthitata Dhammaniyamata). Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada hubungan sebab akibat yang saling bergantungan)" (Samyutta-Nikaya, ii. 25). Ia juga disinggung dalam ungkapan: "Semua hal yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku."
Dalam beberapa teks, niyama ini disebut Dhammata: "Sesuai dengan Dhammata (hukum), para bhikkhu, bahwa ketika seorang Bodhisatta turun dari surga Tusita, memasuki rahim ibunya, cahaya yang sangat cemerlang muncul di seluruh dunia, termasuk dunia para dewa dan brahma... dan seribu sistem dunia berguncang...." (Digha-Nikaya, ii. 12).
Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan: "Ketika itu ada, ini ada. Dari kemunculan itu maka ini muncul. Ketika itu tidak ada, ini tidak ada. Ketika itu berakhir, maka ini berakhir" atau dalam pernyataan: "Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang berkondisi: dapat dipahami perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat dipahami perubahannya ketika ia masih bertahan. Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami, kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan dan durasinya tidak dapat dipahami" (Anguttara-Nikaya, i 152).
Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang mengatur alam semesta. Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik yang mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan sebagai Dhamma-niyama.
Di sini kata Dhamma menunjuk pada semua hal mental maupun materi. Oleh sebab itu, bija, kamma, dan citta merupakan Dhamma, dan ia mengandung semua hal tersebut. Namun dalam klasifikasi niyama, nama-nama individual digunakan untuk keempat hal pertama untuk mengkhususkan dan membedakannya dari hal-hal lain, baik mental maupun materi, yang digolongkan di bawah nama umum "Dhamma". Karena alasan ini Dhamma-niyama tidak digunakan dalam penerapannya yang sepenuhnya, tetapi dibatasi pada hal-hal yang tidak termasuk keempat hal pertama. Ketika dibutuhkan untuk menggunakan utu sebagai niyama, seseorang tidak seharusnya menyebutnya Dhamma-niyama walaupun utu termasuk Dhamma, tetapi harus menggunakan nama individual yang sesuai dan menyebutnya sebagai utu-niyama.
2. Niyama dan Konsep Penciptaan
Dengan mempelajari dan memahami lima niyama ini, seseorang dapat sampai pada kesimpulan: "Tidak ada penguasa dunia ini, tidak ada pencipta yang menciptakan alam semesta, melainkan hukum tertib kosmis yang berunsur lima. Semua adalah hasil dari sebab dan akibat yang muncul dan lenyap setiap saat. Tidak ada yang berdiam di dunia yang bersifat sementara ini, oleh sebab itu tidak ada ketenangan abadi yang dapat ditemukan, tetapi pada sisi lain, dapat ditemukan pada dunia yang selalu berubah ini di mana tidak ada kemenjadian (jati) melalui ketiadaan sebab. Dan untuk mencapai tempat tersebut di mana ketenangan abadi berada kita harus menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menghubungkan dunia ini menuju jalan keluar. Ketika kita mendekati Nibbana, kita secepat mungkin menarik pijakan terakhir kita dari dunia ini, maka kita seketika naik menuju lokuttara-bhumi, kedamaian Nibbana."
Dengan mempelajari dan memahami lima niyama ini, seseorang dapat sampai pada kesimpulan: "Tidak ada penguasa dunia ini, tidak ada pencipta yang menciptakan alam semesta, melainkan hukum tertib kosmis yang berunsur lima. Semua adalah hasil dari sebab dan akibat yang muncul dan lenyap setiap saat. Tidak ada yang berdiam di dunia yang bersifat sementara ini, oleh sebab itu tidak ada ketenangan abadi yang dapat ditemukan, tetapi pada sisi lain, dapat ditemukan pada dunia yang selalu berubah ini di mana tidak ada kemenjadian (jati) melalui ketiadaan sebab. Dan untuk mencapai tempat tersebut di mana ketenangan abadi berada kita harus menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menghubungkan dunia ini menuju jalan keluar. Ketika kita mendekati Nibbana, kita secepat mungkin menarik pijakan terakhir kita dari dunia ini, maka kita seketika naik menuju lokuttara-bhumi, kedamaian Nibbana."
Terdapat dua jenis konsep penciptaan di dunia ini, yaitu issara-kutta dan brahma-kutta. Konsep penciptaan di mana orang-orang mempercayai adanya penguasa tertinggi seluruh alam semesta yang selamanya tinggal di surga dan menciptakan segalanya disebut issara-kutta atau issara-nimmana (diciptakan oleh issara/isvara atau Tuhan). Konsep di mana orang-orang mempercayai adanya brahma yang selamanya tinggal di surga yang menciptakan segalanya dan menguasai seluruh alam semesta disebut brahma-kutta. Di sini issara atau brahma hanya berbeda dalam istilah, namun keduanya menunjuk pada sosok penguasa dunia dan pencipta yang sama. Brahma merupakan nama yang dipakai oleh kaum brahmana dan telah menjadi gagasan umum yang diterima di alam manusia, dewa, dan brahma sejak awal dunia, sedangkan issara bukan gagasan yang umum melainkan adopsi imaginatif yang dibuat oleh mereka yang gagal mendapatkan pengetahuan tentang asal mula dunia dan sebab pertama segala hal dalam kehidupan. Untuk menghilangkan pandangan salah ini, para komentator kitab suci Tipitaka memaparkan hukum tertib kosmis ini.
Mahabrahma dapat menyinari lebih dari ribuan sistem dunia dengan pancaran cahayanya yang cemerlang. Ia dapat melihat segala sesuatu dalam dunia-dunia tersebut, mendengarkan suara-suara, pergi ke tempat mana pun dan kembali sekehendak hatinya dalam seketika, dan membaca pikiran para manusia dan dewa. Berhubungan dengan kekuatan menciptakan dan mengubah sesuatu, mahabrahma dapat menciptakan atau mengubah tubuhnya sendiri atau objek eksternal apa pun menjadi berbagai bentuk. Namun ini hanya bagaikan pertunjukan sulap di mana ketika ia menarik kembali kekuatannya, semuanya akan lenyap. Kenyataanya, ia tidak dapat menciptakan mahkluk hidup dan benda yang sesungguhnya, bahkan kutu atau telurnya sekalipun. Dalam menciptakan taman dan pepohonan dengan kekuatan batinnya, ia dapat menciptakan dan memperlihatkannya secara sementara, tidak substansial, tidak nyata, meniru dan menyerupai hal-hal yang diinginkan. Ia tidak dapat menciptakan sebuah pohon bahkan sehelai rumput sekalipun. Hal ini disebabkan karena kemunculan suatu fenomena, kemunculan suatu makhluk hidup, atau pertumbuhan tanaman bukan dalam jangkauan kekuatan batin, tetapi dalam jangkauan hukum kosmis, seperti Dhamma-niyama, kamma-niyama, dan bija-niyama. Benda-benda yang diciptakannya hanya bertahan ketika iddhi (kekuatan batin) sedang berperan dan akan lenyap segera setelah iddhi ditarik. Terjadinya musim panas, hujan, dan dingin merupakan proses alamiah dari hukum cuaca dan bukan kendali iddhi.
Mahabrahma dapat memindahkan ribuan manusia dalam kehidupan sekarang ke surga jika ia menginginkannya, tetapi ia tidak dapat membuat mereka tidak mengalami usia tua dan kematian, bahkan ia tidak dapat menghalangi dan menyelamatkan mereka dari kelahiran kembali di alam yang menderita. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur materi dan mental yang menyusun pribadi manusia berada dalam pengaruh hukum alam (Dhamma-niyama) dari kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia tidak dapat membuat manusia atau makhluk mana pun terlahir kembali di surga setelah mereka meninggal karena lahirnya kehidupan baru di alam yang baru setelah kematian bukan dalam lingkungan kendali iddhi melainkan dalam kendali kamma-niyama. Di dunia ini orang yang membunuh dan memakan unggas dan selalu mabuk minuman keras pasti jatuh ke alam yang menderita setelah kematian walaupun setiap hari rajin berdoa dan mengunjungi tempat ibadah. Mahabrahma atau Tuhan tidak dapat menyelamatkannya bagaimana pun, karena ini berada dalam jangkauan kamma-niyama dan bukan jangkauan iddhi. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mempercayai konsep issara-kutta dan brahma-kutta, yang menyakini hukum kamma dan menjauhi perbuatan buruk dan selalu mengembangkan perbuatan baik, pasti naik ke alam yang bahagia setelah kematiannya. Mahabrahma tidak dapat mencegahnya datang ke surga, karena pengaruh iddhi tidak dapat menolak jalannya hukum moral. Mahabrahma tidak dapat mempertahankan dan menyelamatkan bahkan dirinya sendiri dari kejatuhan ke alam rendah.
Terdapat beberapa orang yang berpikir bahwa hanya ada satu dunia dan tidak mempercayai bahwa ada banyak siklus dunia pada masa lampau dan sejumlah tak terhingga dunia akan mengikuti dunia yang sekarang pada masa yang akan datang. Mereka mempercayai bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir. Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah sang pencipta, mahabrahma, atau Tuhan. Pada sisi lain, agama Buddha mengajarkan bahwa banyak siklus dunia telah terbentuk di masa lampau dan banyak lagi yang lain akan mengikuti siklus dunia yang sekarang secara bergantian. Ia juga mengajarkan bahwa dunia memiliki awal dan akhir serta terdapat sebab yang disebut hukum alam atas pembentukan dan kehancuran setiap dunia, dan hukum alam ini ada selamanya dan terus berjalan dalam ruang waktu yang tak terhingga. Oleh sebab itu umat Buddha seharusnya tidak menganut pandangan salah tentang penciptaan baik issara-kutta ataupun brahma-kutta.
3. Kesimpulan
Segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini (31 alam kehidupan) baik yang bersifat fisik maupun batiniah dikendalikan oleh hukum kosmis (niyama) yang terdiri atas lima kategori:
a. Hukum energi (utu-niyama) yang mengatur proses pembentukan dan kehancuran dunia serta pergantian musim dan perubahan cuaca.
b. Hukum pembenihan (bija-niyama) yang mengatur proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sejak dari benih hingga menghasilkan buah.
c. Hukum perbuatan (kamma-niyama) yang mengatur hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan suatu individu.
d. Hukum psikis (citta-niyama) yang mengatur tentang pikiran dan kesadaran makhluk-makhluk.
e. Hukum Dhamma (Dhamma-niyama) yang mengatur segala suatu yang tidak termasuk dalam empat kategori di atas, termasuk hubungan sebab-akibat dan hukum kesunyataan yang diajarkan Sang Buddha serta kejadian-kejadian ajaib saat kelahiran terakhir Bodhisatta ke dunia.
Segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini (31 alam kehidupan) baik yang bersifat fisik maupun batiniah dikendalikan oleh hukum kosmis (niyama) yang terdiri atas lima kategori:
a. Hukum energi (utu-niyama) yang mengatur proses pembentukan dan kehancuran dunia serta pergantian musim dan perubahan cuaca.
b. Hukum pembenihan (bija-niyama) yang mengatur proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sejak dari benih hingga menghasilkan buah.
c. Hukum perbuatan (kamma-niyama) yang mengatur hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan suatu individu.
d. Hukum psikis (citta-niyama) yang mengatur tentang pikiran dan kesadaran makhluk-makhluk.
e. Hukum Dhamma (Dhamma-niyama) yang mengatur segala suatu yang tidak termasuk dalam empat kategori di atas, termasuk hubungan sebab-akibat dan hukum kesunyataan yang diajarkan Sang Buddha serta kejadian-kejadian ajaib saat kelahiran terakhir Bodhisatta ke dunia.
Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya. Mahabrahma yang umum dianggap orang sebagai sang pencipta dengan kekuatan batinnya tidak dapat mengubah jalannya hukum alam walaupun yang berkenaan dengan dirinya sendiri. Hal ini membuktikan tidak adanya sosok pencipta tunggal yang berada di balik semua fenomena di alam semesta ini.
Namun demikian, ini bukan berarti agama Buddha tidak meyakini adanya Tuhan. Ini menyatakan bahwa agama Buddha tidak mempercayai bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh sosok adikuasa yang disebut Tuhan. Agama Buddha juga mengajarkan bahwa keselamatan bergantung pada diri sendiri, bukan diperoleh dari pertolongan Tuhan. Konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak seperti dalam kebanyakan agama lainnya yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok pribadi yang maha kuasa. Ketuhanan dalam agama Buddha bersifat non-personfikasi (tidak diwujudkan dalam suatu pribadi), Yang Mutlak, Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjadi, dan Yang Tidak Tercipta seperti yang diungkapkan dalam Udana, viii. 3. Mengenai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha ini dapat dibaca lebih lanjut dalam artikel "Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha" oleh Cornelis Wowor, M. A.
Sumber: The Niyama-Dipani: The Manual of Cosmic Order (THE NIYAMA DIPANI / ledinyma.htm)